”Metaverse” dan Jurnalisme
Sebelum kita merasakan kegembiraan yang luar biasa dengan penemuan metaverse ini, Pavlik mengingatkan bahwa ada sejumlah isu yang masih harus didalami terkait dengan penemuan teknologi baru ini.
Sejak Mark Zuckerberg, pemilik Facebook, mengumumkan penggantian nama perusahaannya menjadi Meta, sejak saat itu kosakata metaverse menjadi kata kunci dalam aneka pembicaraan ataupun tulisan populer atau ilmiah. Metaverse (dunia lain berbasis teknologi virtual) menjadi pengembangan dari universe (dunia yang tunggal).
Dengan metaverse, kita bisa membayangkan adanya kegiatan perbankan, kegiatan keagamaan, pendidikan, dan lain-lain bisa dilakukan secara virtual. Banyak perusahaan atau investor mulai melirik dunia yang awalnya banyak dipergunakan dalam permainan (gaming) jadi suatu realitas tersendiri.
Nilai tambah atau ancaman?
Bagaimana arti perkembangan itu semua bagi kegiatan jurnalistik? Seberapa mungkin metaverse bekerja dalam ranah jurnalisme? Apakah ia menjadi penambah makna atau penambah nilai baru, atau sebaliknya menjadi suatu ancaman, baik kepada orang yang bekerja di media maupun kepada orang yang mengonsumsi media?
Mari kita cermati. John H Pavlik, seorang guru besar jurnalisme dan studi media di School of Communication and Information, Rutgers University, tiga tahun lalu menulis buku Journalism in the Age of Virtual Reality: How Experiential Media are Transforming News (2019).
Buku ini menggambarkan bagaimana sejumlah penemuan teknologi baru perlahan-lahan masuk ke dalam jurnalistik dan perlahan-lahan ia juga mengubah wajah jurnalistik.
Pavlik sebelumnya juga pernah menulis sejumlah buku, seperti Journalism and New Media (2001), Media in Digital Age (2008), dan Digital Technology and The Future of Broadcasting: Global Perspectives (2016).
Kemunculan realitas virtual (virtual reality/VR) dan kecerdasan buatan (artificial intelligence/AI) jadi penemuan terkini yang perlahan-lahan memengaruhi dunia jurnalisme.
Dengan metaverse, kita bisa membayangkan adanya kegiatan perbankan, kegiatan keagamaan, pendidikan, dan lain-lain bisa dilakukan secara virtual.
Buat Pavlik, teknologi baru ini berguna tidak saja bagi para pekerja media, tetapi juga para konsumen media yang hari ini juga ingin mencicipi lebih jauh atau merasakan lebih dalam pengalaman berada dalam pemberitaan yang diproduksi oleh media (experiential stories). Muncullah istilah immersive journalism, yang mengajak pembaca ikut serta dalam liputan yang dilakukan jurnalis.
Salah satu bentuknya adalah penggunaan kamera 360 yang membuat konsumen media bisa merasakan atmosfer di sekeliling jurnalis yang meliput suatu peristiwa. Ada juga bentuk visualisasi seperti augmented reality yang menghias sejumlah tayangan televisi untuk menggambarkan reka ulang suatu peristiwa ataupun memberikan ilustrasi dari suatu peristiwa yang kompleks.
Sebelum kita merasakan kegembiraan yang luar biasa dengan penemuan ini, Pavlik mengingatkan bahwa ada sejumlah isu yang masih harus didalami terkait dengan penemuan teknologi baru ini.
Sejumlah isu itu menyangkut masalah regulasi (termasuk hukum dan etika) terutama yang terkait dengan soal privasi, masalah ekonomi (tak semua media sanggup berinvestasi pada teknologi baru ini), juga masalah yang terkait dengan kekayaan intelektual, serta yang menyangkut masalah infrastruktur jaringan pendukung.
Lebih jauh soal privasi (dan juga soal data pribadi) sudah diingatkan oleh Shoshana Zuboff dalam bukunya, The Age of Surveillance Capitalism (2019).
Baca juga : Tak Lama Lagi Kita Bakal Hidup di Dua Dunia
Kim Bui, Direktur Breaking News, Audience and Innovation pada Arizona Republic, juga mengingatkan kita agar kita tidak termakan ”sindrom benda yang berkilauan” (shiny things syndrome) sehingga kita bisa lupa siapa diri kita, dan dampak besarnya adalah kita mengalami distraksi dari fungsi utama jurnalistik (dalam Julie Posetti, Time to step away from ’bright, shiny things’? Towards a sustainable model of journalism innovation in an era of perpetual change, 2018).
Kalimat ini merujuk pada perkembangan teknologi yang sedemikian pesat dalam dunia jurnalistik dan kita seolah ternganga dengan perkembangan-perkembangan baru ini.
Fungsi jurnalistik
Shelly Fan menyodorkan pendapat yang lebih netral. Pandangan kita apakah AI akan menggantikan manusia, menurut dia, itu sangat tergantung bagaimana kita melihat perkembangan teknologi. Apakah dilihat sebagai sebuah ancaman, dengan kecurigaan, atau sebaliknya jika kita melihat AI sebagai suatu kemajuan dan suatu cara untuk membantu hidup manusia jadi lebih baik, maka kita akan melihat AI sebagai salah satu kemajuan yang bisa diterima (Will AI Replace Us?, 2019).
Fan juga menegaskan bahwa di balik kemajuan AI, semuanya itu adalah otak manusia yang mengerjakannya. AI diberi data dan program untuk melakukan fungsinya, tetapi AI tidak akan bisa melakukan segala hal dalam mesin yang sama.
Taylor Owen dalam salah satu artikel di Columbia Journalism Review (”Can Journalism be Virtual?”, Musim Gugur/Musim Dingin 2016) sudah mempertanyakan banyak konsep terkait antara jurnalisme dan dunia virtual. Paling tidak, menurut Owen, ada tiga tantangan besar dunia virtual terkait dengan tiga konsep utama dalam dunia jurnalistik: representasi, kesaksian, dan akuntabilitas.
Owen mengatakan, terutama realitas virtual adalah ilusi bahwa seseorang sedang mengalami sesuatu yang sebenarnya tidak dia alami. Dengan caranya, seseorang yang menggunakan VR akan merasakan pengalaman yang sebenarnya ia tidak alami sendiri. Dalam VR, tugas utama jurnalistik ialah menyadarkan pengguna tadi akan adanya batas abu-abu dari representasi kerja jurnalistik.
Owen yang juga asisten profesor Digital Media and Global Affairs di Universitas British Columbia, Kanada, mengatakan, VR menantang kemampuan jurnalis untuk menjadi saksi dari peristiwa-peristiwa yang terjadi dalam dunia yang virtual tersebut.
Apa yang hendak diamati, disaksikan sebagai peristiwa dalam dunia virtual tersebut yang merupakan perpaduan dari intervensi manusia dan kontrol dari algoritma.
Poin terakhir yang disebutkan Owen sangat krusial. Owen mengatakan, masalah akuntabilitas menjadi persoalan besar dalam VR tersebut. Segera setelah VR banyak disebut-sebut, akan banyak bermunculan perusahaan yang mendukungnya, instansi keuangan yang menopangnya, tetapi justru akuntabilitasnya menjadi suatu tanda tanya besar.
Apa yang sudah terbuka belakangan ini terkait karakter perusahaan seperti Facebook yang mengedepankan profit di atas algoritma kebencian yang dihasilkannya, maka pertanyaan akan masalah akuntabilitas menjadi sangat penting untuk diajukan.
Owen mengatakan, masalah akuntabilitas menjadi persoalan besar dalam VR tersebut.
Dengan demikian, yang hendak disampaikan di sini adalah bahwa AI, VR, dan berbagai teknologi yang muncul silakan diperiksa baik-baik keuntungan dan juga kekurangannya saat diterapkan dalam konteks jurnalistik.
Fungsi jurnalistik yang paling mendasar memberikan informasi, memberikan pengetahuan bagi manusia untuk bisa survive dengan kondisi di sekitarnya. Nah, apakah VR masih ada dalam ranah fungsi tersebut? Apakah ada sesuatu yang lebih ditawarkan dari VR untuk fungsi dasar jurnalistik ini?
Teknologi baru selalu akan diterima dengan segala pro dan kontranya, tetapi yang penting adalah kekaguman akan teknologi perlu sedikit direm agar kita pun melihat apa dampak- dampak yang akan dihasilkannya.
Demikian pula metaverse. Belum ada regulasi yang menyangkut soal metaverse, tetapi bukan berarti ia akan mudah dipergunakan dan diterima sebelum memeriksa lebih dalam kegunaannya yang signifikan bagi dunia jurnalistik.
Ignatius Haryanto Pengajar Jurnalistik di Universitas Multimedia Nusantara, Serpong