Sekitar 45 persen pekerja perempuan berhenti menyusui setelah kembali bekerja. Dukungan di tempat kerja berperan penting untuk memastikan keberhasilan dalam menyusui.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kembali bekerja dari cuti melahirkan sering kali menjadi penyebab ibu berhenti menyusui. Itu terjadi karena dukungan menyusui di tempat kerja yang kurang. Berbagai upaya pun harus dilakukan untuk mendukung ibu menyusui, setidaknya sampai anak usia dua tahun.
Ketua Satuan Tugas ASI Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Naomi Esthernita F Dewanto dalam kegiatan temu media terkait Pekan Menyusui Sedunia 2023, di Jakarta, Senin (7/8/2023), menuturkan, 45 persen perempuan pekerja di Indonesia berhenti menyusui karena kembali bekerja. Tantangan yang dihadapi di tempat kerja menjadi alasan paling umum bagi perempuan yang bekerja untuk tidak menyusui atau berhenti menyusui lebih dini.
”Perempuan tidak seharusnya memilih antara menyusui anaknya dan pekerjaan mereka. Itu harus berjalan bersama agar perempuan bisa bekerja, tetapi juga tetap bisa menyusui, terlepas dari tempat bekerjanya, sektor apa ia bekerja, ataupun tipe dan kontrak pekerjaannya. Dukungan untuk menyusui diperlukan di mana pun perempuan bekerja,” katanya.
Dukungan menyusui bagi perempuan bekerja, antara lain, dengan pemberian cuti melahirkan dan menyusui. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) telah merekomendasikan agar pemberian cuti melahirkan minimal 18 minggu atau berkisar 4-5 bulan dengan waktu ideal lebih dari enam bulan. Jangka waktu ini merujuk pada lamanya pemberian ASI eksklusif selama enam bulan. Namun, pada 2018 dilaporkan hanya 12 persen negara yang menerapkan aturan cuti melahirkan selama 18 minggu.
Di Indonesia, dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan mengatur, pekerja berhak mendapatkan cuti selama tiga bulan dengan ketentuan 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Melalui Rancangan Undang-Undang Kesehatan Ibu dan Anak, cuti melahirkan didorong untuk diperpanjang menjadi minimal enam bulan dengan ketentuan pemberian gaji secara penuh pada tiga bulan pertama dan 73 persen pada bulan berikutnya.
Perempuan tidak seharusnya memilih antara menyusui anaknya dan pekerjaan mereka. Itu harus berjalan bersama agar perempuan bisa bekerja, tetapi juga tetap bisa menyusui.
Naomi mengatakan, kebijakan cuti melahirkan memiliki dampak positif pada kualitas dan durasi menyusui pada perempuan pekerja. Perempuan yang mendapatkan cuti melahirkan setidaknya selama tiga bulan memiliki potensi 50 persen lebih untuk menyusui dalam jangka waktu yang lebih lama dibandingkan dengan perempuan yang kembali bekerja sebelum tiga bulan.
Mengutip hasil studi di Brasil, ibu yang mendapatkan cuti melahirkan memiliki prevalensi ASI eksklusif sebanyak 91 persen lebih tinggi daripada ibu bekerja tanpa cuti melahirkan. Dari studi itu disebutkan, pekerjaan ibu tidak menghambat pemberian ASI eksklusif, tetapi adanya cuti melahirkan dinilai lebih berpengaruh pada pemberian ASI secara eksklusif.
Naomi menambahkan, selain cuti melahirkan, fasilitas yang tersedia di tempat kerja juga berpengaruh pada keberhasilan menyusui bagi seorang ibu, khususnya ketika ibu harus kembali bekerja. Dukungan di tempat kerja tersebut, antara lain, berupa ruang laktasi yang layak serta pemberian waktu khusus bagi perempuan untuk menyusui. Jam menyusui yang disediakan harus dihitung sebagai waktu kerja sehingga tidak ada pemotongan upah.
”Untuk ruang laktasi perlu juga disediakan tempat yang layak. Ruang laktasi adalah area yang eksklusif dan layak untuk ibu menyusui, memerah, dan menyimpan ASI. Ruang harus bersih, nyaman, aman, dan menjadi privasi ibu,” ujarnya.
Niat menyusui
Secara terpisah, Direktur Medik dan Keperawatan RSUP Dr Kariadi Semarang Agoes Oerip Poerwoko dalam acara seminar kesehatan daring yang diikuti dari akun Youtube resmi RS Kariadi mengatakan, kunci keberhasilan menyusui perlu diawali dengan niat dari seorang ibu untuk menyusui sejak masa kehamilan. Niat tersebut harus didukung melalui pemberian konseling yang baik dari tenaga kesehatan selama proses pemeriksaan kehamilan (ANC).
Selain melalui konseling ketika melakukan pemeriksaan kehamilan, ibu hamil juga dapat menambah literasi terkait keberhasilan menyusui melalui komunitas yang ada di masyarakat. Dukungan suami dan keluarga pun sangat diperlukan agar ibu lebih siap menyusui ketika bayinya lahir.
Ketua Departemen Bagian Ilmu Kesehatan Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro-RSUP dr Kariadi Semarang yang juga konsultan laktasi, Yetty Movieta Nency, menyampaikan, kurangnya persiapan juga banyak menjadi kendala dalam menyusui pada ibu bekerja. Persiapan harus dilakukan sebelum cuti melahirkan habis saat ibu harus kembali bekerja di kantor.
Persiapan yang kurang tersebut, antara lain, ketika berat badan bayi belum ideal ketika ibu harus kembali bekerja, tabungan ASI perah (ASIP) yang kurang, kurangnya persiapan untuk bisa memerah asi pada saat jam kerja, serta adanya kendala penyimpanan asi di tempat kerja. Kendala lain yang sering dialami pada ibu bekerja yakni kurangnya pemahaman mengenai manajemen ASI perah.
Yetty mengatakan, persiapan yang harus diperhatikan sebelum ibu kembali bekerja, yaitu belajar untuk memerah ASI serta mulai menyimpan ASI setidaknya satu bulan sebelum masuk kerja. Keluarga ataupun pengasuh bayi pun perlu mulai disiapkan untuk bisa memberikan ASI perah pada bayi. Disarankan untuk tidak memberikan ASI melalui dot karena bisa berisiko menyebabkan ”bingung puting” pada bayi. ASI perah bisa diberikan menggunakan media lain, seperti sendok, cup feeder, gelas sloki, atau pipet.
Persiapkan pula tempat untuk menyimpan ASI sewaktu ibu mulai bekerja. Ibu juga diharapkan bisa berkomunikasi terlebih dahulu dan memiliki kesepakatan dengan pimpinan di tempat kerja mengenai waktu yang diperlukan untuk memerah ASI di tempat kerja.
”Manajemen ASI harus diperhatikan juga. Idealnya ibu memerah ASI sesuai dengan jadwal menyusui sebelumnya. Pada saat pulang kerja di malam hari atau di hari libur, ibu harus menyusui secara penuh. Ini diperlukan karena hormon oksitosin yang berfungsi merangsang produksi ASI bisa berhenti jika ibu tidak menyusui langsung,” tutur Yetty.