Orang yang mengalami tuberkulosis memerlukan dukungan penuh dari lingkungan untuk mencapai keberhasilan pengobatan. Dukungan tersebut termasuk dari tempat ia bekerja. Perusahaan pun punya peran untuk mendukung itu.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·5 menit baca
Dukungan bagi pasien tuberkulosis sangat penting untuk memastikan pengobatan bisa dilakukan hingga tuntas. Dukungan itu termasuk dari tempat kerja. Dengan dukungan yang kuat, pasien tuberkulosis bisa sembuh dan dapat beraktivitas kembali. Penularan pun bisa dihentikan.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2022 tentang Penanggulangan Tuberkulosis di Tempat Kerja juga telah mengamanatkan hal tersebut. Pengusaha dan pengurus tempat kerja wajib melaksanakan penanggulangan tuberkulosis di tempat kerja, meliputi penyusunan kebijakan penanggulangan tuberkulosis, sosialisasi dan edukasi tuberkulosis, penemuan kasus, penanganan kasus, dan pemulihan kesehatan.
Dalam kebijakan penanggulangan tuberkulosis di tempat kerja yang disusun oleh pengusaha dan pengurus perusahaan diamanatkan setidaknya memuat komitmen untuk penanggulangan tuberkulosis serta penghapusan stigma dan diskriminasi pada pekerja atau buruh yang menderita tuberkulosis. Lewat upaya ini diharapkan penanganan tuberkulosis bisa lebih optimal serta mendukung capaian eliminasi tuberkulosis pada 2030 di Indonesia.
Pentingnya dukungan tempat kerja dalam keberhasilan pengobatan pasien tuberkulosis terbukti dari pengalaman Tasya Apriliana Rachman (28). Warga Jakarta Utara tersebut pertama kali terdiagnosis tuberkulosis pada usia 18 tahun. Saat itu, ia masih bekerja sebagai pegawai di sebuah minimarket.
Pada awal masa perawatan, ia diminta untuk beristirahat di rumah dan tidak bekerja terlebih dahulu. Tasya beruntung, perusahaan tempat ia bekerja memperbolehkannya menjalani perawatan di rumah dengan tetap memberikan gaji. Pada 1-3 bulan pertama masa perawatan, ia bahkan masih mendapatkan gaji penuh. Setelah 4-6 bulan kemudian, gaji yang didapatkannya sebesar 75 persen dan pada 7-8 bulan masa perawatan sebesar 25 persen dari gaji pokoknya. Perusahaan memberikan kesempatan bagi dia untuk kembali bekerja setelah sembuh.
Setelah delapan bulan menjalani perawatan, dokter memperbolehkannya kembali bekerja dengan mematuhi protokol kesehatan. Pada saat itu, kuman penyebab tuberkulosis pada tubuhnya sudah tidak aktif sehingga tidak berisiko menular ke orang lain.
”Keputusan tempat saya bekerja ini sangat membantu saya untuk bisa fokus pada pengobatan. Selama digaji saya tidak terlalu khawatir. Saya bisa minum obat tepat waktu hingga tuntas. Dari atasan ataupun teman juga tidak ada stigma,” kata Tasya.
Pengalaman yang dialami Tasya merupakan praktik baik dari dukungan perusahaan terhadap pasien tuberkulosis. Namun sayangnya, tidak banyak perusahaan yang menerapkan upaya penanggulangan tuberkulosis yang baik di tempat kerja. Stigma, diskriminasi, perlakuan tidak adil, hingga pemutusan hubungan kerja banyak dialami oleh pekerja ketika tertular tuberkulosis.
Padahal, jumlah pasien tuberkulosis yang bekerja sebagai buruh dan pegawai tidak sedikit. Data Kementerian Kesehatan pada 2022 menunjukkan, 54.887 kasus tuberkulosis sensitif obat bekerja sebagai buruh, 37.235 kasus sebagai pegawai swasta/pegawai BUMN/pegawai BUMD, dan 4.778 kasus sebagai pegawai negeri sipil (PNS). Selain itu, 635 kasus tuberkulosis resisten obat bekerja sebagai buruh, 564 kasus sebagai pegawai swasta/BUMN/BUMD, dan 136 kasus merupakan PNS.
Tuberkulosis sensitif obat berarti bakteri penyebab tuberkulosis, Mycobacterium tuberculosis, yang ada pada tubuh pasien masih sensitif terhadap obat antituberkulosis yang biasanya diberikan. Sementara pada tuberkulosis resisten obat, bakteri sudah kebal dengan obat sehingga pengobatan menjadi lebih sulit dan lebih lama.
Tuberkulosis merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penularannya melalui udara atau percikan dahak ketika penderita batuk, bersin, berbicara, ataupun meludah. Saat ini, Indonesia menjadi negara dengan jumlah kasus tuberkulosis terbanyak kedua di dunia setelah India.
Diperkirakan ada 969.000 orang dengan tuberkulosis di Indonesia. Namun, baru 75 persen kasus yang dilaporkan ke Kementerian Kesehatan pada 2022. Kelompok usia yang paling banyak terinfeksi tuberkulosis pada usia produktif berkisar 15-54 tahun. Hal ini menjadi persoalan sebab tuberkulosis menimbulkan dampak bagi para pekerja. Data Stop TB Partnership pada 2011 menunjukkan, pekerja yang mengalami tuberkulosis kehilangan pekerjaan dan pendapatannya selama rata-rata 3-4 bulan.
Untuk itu, penanganan tuberkulosis di masyarakat, termasuk tuberkulosis pada pekerja harus menjadi perhatian yang serius. Upaya pencegahan, penanganan, hingga pengobatan perlu dilakukan secara serius sehingga pekerja dengan tuberkulosis bisa tetap berdaya dan menuntaskan pengobatannya hingga sembuh.
Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Kesehatan dan Pembangunan Kependudukan Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Yohanes Baptista Satya Sananugraha dalam acara Arifin Panigoro Dialog seri ke-6 di Jakarta, Selasa (25/7/2023), mengatakan, persoalan tuberkulosis tidak sekadar menanggulangi penyakit yang dialami, tetapi juga dampak lain yang ditimbulkan, seperti masalah sosial dan ekonomi.
Persoalan tuberkulosis tidak sekadar menanggulangi penyakit yang dialami, tetapi juga dampak lain yang ditimbulkan, seperti masalah sosial dan ekonomi.
Dukungan sosial dan ekonomi pun diperlukan untuk memastikan pasien bisa berhasil dalam pengobatannya. ”TBC (tuberkulosis) dapat menjadi penyumbang bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia,” katanya.
Itu pula yang menjadi dasar atas diterbitkannya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan tentang Penanggulangan TBC di Tempat Kerja. Menteri Ketenagakerjaan Ida Fauziyah menyampaikan, stigma dan diskriminasi masih menjadi tantangan dalam upaya penanganan tuberkulosis di tempat kerja. Stigma membuat perusahaan maupun pekerja merasa malu sehingga penularan tuberkulosis jutsu ditutupi. Hal itu yang dapat menghambat akses perawatan juga pencegahan tuberkulosis.
”Yang harus dilakukan sekarang adalah sinergi dari semua stakeholder untuk mengatasi TBC. Penyakit TBC ini akan sangat merugikan kita semua, terutama dari sisi produktivitas, baik bagi penderita, perusahaan, dan juga masyarakat pada umum,” katanya.
Tuberkulosis bisa disembuhkan, asal diobati dengan cepat dan tepat sampai tuntas. Itu sebabnya, dukungan dari berbagai pihak sangat diperlukan oleh penderita tuberkulosis. Jangan ada stigma baik dari diri penderita maupun lingkungan di sekitarnya. Seluruh pihak berperan untuk membantu pasien tuberkulosis untuk berhasil menuntaskan pengobatannya.
Pasien tuberkulosis perlu mengonsumsi berbutir-butir obat dalam sehari bahkan bisa mencapai lebih dari 15 butir sehari. Itu pun harus dikonsumsi minimal selama enam bulan. Dengan adanya dukungan dari lingkungan, termasuk tempat bekerja, setidaknya bisa mengurangi pasien tuberkulosis dari ”rasa sesak”, baik sesak secara fisik maupun batin. Akhirnya, pengobatan bisa berhasil dan penularan bisa dicegah.