Bijak Memilih dan Mengonsumsi Pemanis
Aspartam bisa memicu kanker. Namun, pemanis buatan ini tetap boleh dikonsumsi maksimal 40 miligram per kilogram berat badan per hari. Potensi kanker akan muncul jika batas aman asupan harian itu terlampaui.
”Orang yang tidak bernilai hidup hanya untuk makan dan minum, orang yang bernilai akan makan dan minum untuk hidup.” (Socrates, 469 SM-399 M)
Pemanis buatan aspartam telah ditetapkan sebagai bahan tambahan pangan yang kemungkinan bisa memicu kanker. Meski demikian, konsumsi aspartam tetap diperbolehkan dalam batas tertentu. Kini, pilihan dikembalikan kepada konsumen, apakah akan mengonsumsi aspartam, memilih pemanis lain, atau mengurangi konsumsi gula dan pemanis.
Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) sebagai bagian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada 14 Juli 2023 secara resmi mengumumkan hasil penilaian mereka bahwa pemanis buatan aspartam bersifat karsinogenik pada manusia. Aspartam masuk dalam kelompok 2B atau kemungkinan kecil (possibly) memicu kanker akibat terbatasnya bukti.
Meski demikian, aspartam tetap boleh dikonsumsi dalam batas tertentu. Seiring pengumuman IARC, Komite Pakar Bersama WHO dan Organisasi Pangan dan Pertanian Perserikatan Bangsa-Bangsa (FAO) untuk Bahan Tambahan Pangan (JECFA) juga memaklumatkan bahwa batas aman konsumsi harian (ADI) aspartam sebesar 40 miligram (mg) per kilogram (kg) berat badan.
Selama patuh pada batas asupan yang diperbolehkan dan sesuai kondisi atau kesehatan tubuh, aspartam aman diasumsi.
Penilaian IARC itu langsung ditolak oleh Badan Pangan dan Obat Amerika Serikat (FDA). Aspartam termasuk salah satu bahan tambahan pangan (BTP) yang paling banyak dipelajari. Karena itu, aspartam tidak memiliki masalah keamanan sepanjang dikonsumsi dalam batas yang telah disetujui.
Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM) sebagai regulator di Indonesia juga tetap mengizinkan penggunaan aspartam sebagai pemanis buatan dalam produk pangan. Aturan BPOM itu mengacu pada Codex General Standard for Food Additives (Codex GSFA) sebagai standar umum penggunaan BTP yang diizinkan WHO-FAO.
Dalam pernyataannya pada Selasa (25/7/2023), BPOM belum akan mengubah regulasi penggunaan aspartam pada pangan olahan. Namun, BPOM tetap akan memonitor perkembangan lebih lanjut tentang kajian keamanan aspartam oleh IARC dan JECFA.
Meski dari penilaian IARC aspartam bersifat karsinogenik, Ketua Umum Perhimpunan Pakar Gizi dan Pangan Indonesia (Pergizi Pangan) Hardinsyah mengingatkan bahwa itu tidak berarti orang yang mengonsumsi aspartam otomatis akan langsung terkena kanker.
Situasi serupa sama seperti saat kita mengonsumsi sate atau makanan yang dibakar terlalu lama hingga menimbulkan lapisan gosong atau hitam yang tebal. Meski lapisan gosong itu dipastikan karsinogenik, sekali memakannya juga tidak otomatis menjadi kanker.
Baca juga: Pemanis Aspartam Kemungkinan Memicu Kanker
”Aspartam akan bersifat berkarsinogenik setelah dikonsumsi melebihi batas aman yang diperbolehkan, seberapa sering dan seberapa banyak batasan ADI dilampaui. Selama patuh pada batas asupan yang diperbolehkan dan sesuai kondisi atau kesehatan tubuh, aspartam aman diasumsi,” katanya.
Asupan harian pemanis buatan
Ditulis The Washington Post, 12 Juli 2023, ADI aspartam dan pemanis buatan lain ditetapkan berdasar studi toksikologi pada tikus. Dari studi itu, pakar akan menetapkan paparan aspartam tertinggi yang terbukti tidak menunjukkan efek buruk pada tikus.
Dari batasan tertinggi untuk tikus itu, tim ahli kemudian menurunkan 10 kali lipat batasan tersebut demi memperhitungkan perbedaan dampak BTP pada hewan pengerat dan manusia. Selanjutnya, batasan yang tinggal sepersepuluh dari batas aman untuk tikus itu diturunkan lagi sampai 10 kali lipat untuk memberi bantalan keselamatan yang lebih besar pada manusia. Dengan demikian, ADI aspartam untuk manusia itu sekitar seperseratus dari batas aman konsumsi untuk tikus.
Batas aman konsumsi harian aspartam sebesar 40 mg per kg berat badan per hari itu sebenarnya masih cukup tinggi. Sebagai gambaran, kandungan aspartam minuman bersoda di pasaran AS berkisar antara 75 mg-188 mg per kaleng.
Dengan berat rata-rata penduduk Indonesia mencapai 61,4 kg untuk laki-laki dan 56,2 kg untuk perempuan serta kandungan aspartam tertinggi dalam minuman diasumsikan sebanyak 200 mg per kemasan, orang Indonesia laki-laki bisa mengonsumsi 12 kaleng minuman soda dan 11 kaleng untuk perempuan setiap harinya.
Nyatanya, jarang orang bisa minum minuman kemasan sebanyak itu setiap hari. Namun, konsumsi dalam produk pangan lain tetap perlu diwaspadai mengingat aspartam di Indonesia bukan hanya ditemukan di minuman kemasan produk industri yang memiliki nomor atau kode BPOM, tetapi juga minuman dan jajanan pinggir jalan, termasuk di depan sekolah. Selain tanpa label kemasan, makanan-minuman berpemanis itu juga bebas dijual tanpa izin Pangan Industri Rumah Tangga (P-IRT) dari dinas kesehatan setempat.
Karena itu, untuk anak-anak perlu perhatian ekstra dari orangtua dalam mengonsumsi minuman berpemanis buatan mengingat berat badan mereka yang rendah, tetapi jumlah konsumsi makanan dan minuman manisnya cukup besar. Kondisi ini membuat batas konsumsi harian mereka terhadap pemanis buatan jauh lebih rendah dari orang dewasa. Selain itu, kendali emosi anak atas makanan-minuman manis yang ingin mereka konsumsi juga belum baik.
Baca juga: Cukai Minuman Berpemanis Menurunkan Biaya Kesehatan Masyarakat
Pola penyalahgunaan bahan tambahan untuk pangan pun beragam. Dari pelanggaran yang selama ini terjadi, sejumlah usaha makanan-minuman masih menggunakan bahan yang sejatinya dilarang digunakan pada produk pangan, mulai dari formalin hingga pewarna tekstil. Ada pula yang menggunakan BTP yang diizinkan oleh BPOM tetapi jumlahnya melebihi ketentuan yang diperbolehkan.
Hardinsyah mengingatkan pentingnya peran semua pihak dalam pengawasan produk pangan olahan dan kemasan yang beredar di pasaran. Selain BPOM dan dinas kesehatan setempat, badan atau dinas ketahanan pangan di setiap daerah juga perlu aktif mengontrol keamanan pangan yang beredar.
”Semua pihak harus menegakkan aturan (keamanan pangan) sesuai kewenangan masing-masing,” katanya.
Non-aspartam
Aspartam mengandung dua jenis asam amino, yaitu asam aspartat dan fenilalanin. Kedua asam amino ini merupakan penyusun protein di dalam tubuh manusia sehingga banyak ahli menegaskan bahwa aspartam aman. Selain pada aspartam, fenilalanin juga ditemukan pada berbagai sumber protein, seperti susu, telur, daging, ikan, dan kedelai.
Meski demikian, tidak semua orang bisa mengonsumsi aspartam. Orang dengan gangguan fenilketonuria yaitu gangguan genetik bawaan lahir yang membuat tubuhnya tidak bisa menguraikan fenilalanin dilarang mengonsumsi aspartam. Ketidakmampuan tubuh mengurai fenilalanin membuat zat tersebut menumbuk di tubuh hingga bisa memicu kerusakan otak.
Karena aspartam memiliki banyak pro dan kontra, mengganti aspartam dengan pemanis lain sepertinya bisa menjadi solusi singkat. Terlebih di pasaran, pemanis non-gula selain aspartam, baik yang alami maupun buatan, banyak ditemukan.
Pemanis alami sorbitol dan glikosida steviol banyak dipakai untuk pemanis meja rendah kalori. Sedang pemanis buatan asesulfam-K (asesulfam potasium) banyak digunakan untuk pemanis obat sirop atau sejumlah suplemen multivitamin.
Namun, tidak semua jenis pemanis itu cocok digunakan untuk semua produk karena tiap jenis pemanis memiliki kelebihan dan kekurangan. Kesesuaian itu sangat bergantung pada proses pengolahan makanan, nilai keekonomian, hingga rasa yang diminati masyarakat.
Aspartam tidak cocok digunakan untuk makanan atau minuman yang harus dipanaskan dalam suhu tinggi. Proses pemanasan aspartam, baik dengan dimasak atau dipanggang, akan mengubah susunan protein aspartam hingga menimbulkan rasa pahit. Aspartam dan pemanis buatan lain juga tidak disarankan dikonsumsi anak di bawah 5 tahun, ibu hamil dan ibu menyusui.
Baca juga: Unicef Desak Indonesia Segera Terapkan Cukai Minuman Berpemanis
Meski demikian, mengganti aspartam dengan pemanis lain nyatanya tidaklah mudah. PepsiCo pada 2015 mengganti penggunaan aspartam pada minuman Diet Pepsi akibat tingginya kontroversi soal dampak kesehatan aspartam. Namun, upaya ini justru menimbulkan protes konsumen karena rasa minuman menjadi berbeda hingga akhirnya perusahaan tersebut kembali menggunakan aspartam.
Mengubah perilaku konsumen juga tidak mudah. IARC pada 2015 juga mengeluarkan peringatan yang menetapkan daging merah dan daging olahan sebagai bahan yang bersifat karsinogenik pada manusia pada kelas 2A atau kemungkinan besar (probably). Nyatanya, peringatan ini juga tidak efektif meski daging olahan bisa memicu kanker kolorektal atau usus besar. Konsumsi masyarakat AS terhadap bacon dan hotdog di negara itu tetap tinggi.
Selain itu, mengganti aspartam dengan pemanis lain sepertinya juga bukan langkah tepat. WHO pada Mei 2023 melarang penggunaan pemanis buatan dari jenis apa pun untuk mengontrol berat badan. Pemakaian pemanis buatan nyatanya tidak hanya membantu menurunkan timbangan badan, tetapi juga meningkatkan risiko diabetes, jantung, dan kematian dini.
Direktur departemen gizi untuk kesehatan dan perkembangan WHO Francesco Branca menyarankan untuk menghindari mengonsumsi pemanis buatan dan juga pemanis gula. ”Pemanis dari gula bukan termasuk diet sehat,” katanya.
Tingginya asupan gula, terutama gula meja, dikaitkan dengan berbagai risiko kesehatan. Sejumlah bahan pangan yang dikonsumsi manusia, sejatinya sudah mengandung gula. Untuk itu dengan pertimbangan kesehatan, banyak ahli menyarankan membatasi atau tidak mengonsumsi gula tambahan serta tidak menggantinya dengan pemanis buatan.
”Mengurangi gula adalah ide yang baik, tetapi menggantinya dengan pemanis non-gula atau pemanis buatan bukanlah strategi yang baik,” kata profesor ilmu olahraga dan ilmu gizi di Sekolah Kesehatan Masyarakat Institute Milken, Universitas George Washington, AS, Allison Sylvetsky.
Kontroversi
Pro dan kontra terhadap penggunaan aspartam bukan kali ini muncul. Sejak ditemukan tahun 1965 dan disetujui penggunaannya oleh FDA tahun 1981, kontroversi pemanis buatan ini seperti tidak pernah berhenti, termasuk di Indonesia. Tak heran jika aspartam menjadi pemanis yang paling banyak diuji dan dipelajari.
Dalam catatan Kompas, pembahasan soal dampak aspartam di Indonesia sudah ada sejak tahun 1990, khususnya terkait aspek keamanan dan proses penyerapan aspartam dalam tubuh. Perdebatan berlanjut hingga muncul selebaran gelap pada 2009 tentang dampak buruk 10 pemanis, termasuk siklamat dan aspartam, pada sejumlah obat, camilan, dan minuman yang sudah dibantah BPOM.
Setiap jenis makanan pasti memiliki risiko.
Seiring berkembangnya media sosial, disinformasi dan hoaks tentang aspartam juga menyebar di dunia maya, seperti yang terjadi pada 2010, 2011 dan 2014. Sering kali, informasi yang menyebar itu mencatut nama sejumlah lembaga otoritatif di bidang kesehatan dan pengamanan pangan.
Selain sudah dibantah BPOM, Kementerian Komunikasi dan Informatika pada 2019 juga mengelompokkan informasi yang menyebut aspartam bisa memicu pengerasan otak dan sumsum tulang belakang itu sebagai hoaks.
Bukan hanya pemanis, hampir semua BTP sering kali mengundang perdebatan di masyarakat. Dalam kehidupan modern yang dituntut serba cepat, praktis, dan ekonomis, kehadiran BTP sebagai buah dari ilmu dan teknologi pangan sangat membantu masyarakat sekaligus menjadi peluang bagi industri.
Namun, perdebatan di antara ahli cukup kuat. Di satu sisi, ahli kesehatan dan medis umumnya mengkhawatirkan dampak dari berbagai BTP tersebut, terutama jika dikonsumsi secara terus-menerus dan berlebihan. Namun, ahli pangan dan gizi menganggap pangan hasil teknologi aman selama dikonsumsi dalam batas tertentu.
Sesuai Peraturan BPOM Nomor 11 Tahun 2019 tentang BTP, ada 27 jenis BTP, mulai dari pemanis, pengawet, pengembang, perisa, antibuih hingga sekuestran untuk meningkatkan stabilitas dan kualitas pangan. Semua BTP itu memiliki batasan baik untuk digunakan industri maupun dikonsumsi masyarakat umum.
”Setiap jenis makanan pasti memiliki risiko,” ujar Hardinsyah.
Untuk meminimalkan risiko penyalahgunaan BTP, BPOM dan lembaga pengawasan pangan terkait lainnya perlu memastikan bahwa produk pangan yang dihasilkan industri maupun usaha rumahan sudah sesuai aturan dan batas yang diatur. Masyarakat pun perlu sadar dengan apa yang akan dimakannya, berapa jumlahnya, seberapa sering memakannya, dan tentu dengan kondisi kesehatannya.
Baca juga: Hidup Lebih Sehat dengan Batasi Minuman Manis
Bahan makanan yang cocok dikonsumsi orang lain, termasuk makanan segar seperti makanan laut atau telur, belum tentu sesuai dengan tubuh kita. Demikian pula dengan makanan yang mengandung BTP. Saat seseorang tidak bisa mengonsumsi BTP tertentu, bukan berarti semua orang tidak akan cocok. Karena itu, kendali diri atas makanan penting dimiliki.
Meski demikian, dokter dan ahli kesehatan senantiasa mengingatkan pentingnya memakan makanan sealami mungkin, tanpa mengalami proses pengolahan rumahan maupun industri yang panjang. Kandungan aspartam pada makanan dan minuman menandakan bahwa produk pangan tersebut telah mengalami proses berlebihan atau ultra-processed.
Sejumlah studi membuktikan bahwa makanan yang diproses berlebihan akan mendorong orang mengonsumsinya secara berlebihan pula. Akibatnya, sering kali tanpa disadari mereka telah memasukkan kalori secara berlebih ke dalam tubuh hingga meningkatkan berat badan dan kadar lemak di tubuh. Kondisi ini akan meningkatkan risiko penyakit jantung, diabetes, dan penyakit kronis lainnya.
Karena itu, makanan olahan atau makanan yang mengandung BTP harus dikonsumsi secara terbatas. Jika memungkinkan, model makanan ini harus dihindari. Kalaupun terpaksa mengonsumsi makanan dengan proses berlebihan itu, usahakan tetap diimbangi dengan pola makan yang berimbang, memiliki kandungan gizi beragam, aneka warna, serta kaya akan sayur dan buah.
Karena itu, penting bagi setiap orang untuk menjaga makanan yang dikonsumsinya bersama keluarga. Bahan pangan berkualitas terbaik yang sejatinya baik pun jika dikonsumsi berlebihan justru akan berdampak buruk bagi tubuh.
”Sesuatu yang berlebihan atau juga kekurangan, termasuk dalam urusan makanan, tidak baik bagi kesehatan,” pungkas Hardinsyah.