Konsumsi minuman manis perlu dikontrol karena asupan gula berlebih akan berujung pada gangguan organ tubuh, salah satunya pankreas yang memproduksi hormon insulin untuk mengolah gula dalam darah.
Oleh
YOESEP BUDIANTO/LITBANG KOMPAS
·4 menit baca
SEKAR GANDHAWANGI
Seorang pedagang menjual minuman berpemanis di Jakarta, Senin (9/3/2020). Pemerintah berwacana untuk mengenakan cukai pada produk minuman berpemanis, plastik, dan kendaraan beremisi karbon. Ada dua kelompok minuman berpemanis yang akan dikenakan cukai. Keduanya adalah minuman berpemanis gula dan pemanis buat siap konsumsi, serta minuman berpemanis dalam bentuk konsentrat yang perlu diencerkan, seperti kopi saset dan minuman berenergi bubuk.
Konsumsi minuman manis masih menjadi kegemaran masyarakat Indonesia, meski kekhawatiran terhadap risiko penyakit akibat berlebihan mengonsumsi minuman manis, terbilang tinggi.
Sesuai definisinya, minuman manis merupakan produk yang diberikan tambahan gula atau pemanis buatan, seperti sukrosa, sirup, konsentrat buah, dan lainnya untuk menambahkan rasa manis dalam minuman. Persoalan yang muncul adalah bagaimana menjaga kadar gula yang masuk ke dalam tubuh sesuai kebutuhan. Konsumsi gula berlebih hanya akan memicu penyakit hingga berisiko kematian.
Apalagi Indonesia menjadi salah satu negara dengan konsumsi gula terbesar di dunia, termasuk minuman berpemanis tambahan. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi masyarakat yang mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali dalam sehari mencapai 61,27 persen. Sementara 30,2 persen masyarakat mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu.
Tingginya angka konsumsi minuman manis juga terekam dalam jajak pendapat Kompas, sedikitnya sembilan dari 10 responden mengonsumsi minuman berpemanis tambahan saat beraktivitas. Hanya 7 persen responden mengaku telah berhenti mengonsumsi gula atau minuman manis.
Dari sisi jender, terpantau perempuan berusia muda lebih berisiko mengonsumsi gula berlebih dari minuman manis dibandingkan laki-laki. Sementara dari kategori usia, yang mendominasi konsumsi minuman manis adalah responden berusia 24 tahun hingga 39 tahun.
Obesitas
Konsumsi minuman manis perlu dikontrol karena asupan gula berlebih akan berujung pada gangguan organ tubuh, salah satunya pankreas yang memproduksi hormon insulin untuk mengolah gula dalam darah. Gangguan tersebut berakibat munculnya diabetes dan risiko penyakit lainnya.
Dalam kurun waktu lima tahun saja, prevalensi penyakit tidak menular karena kadar gula berlebih di Indonesia meningkat cukup tajam, mulai dari diabetes, gagal ginjal, hingga stroke. Prevalensi diabetes tahun 2013 sebesar 1,5 per mil (per seribu), kemudian naik 2 per mil tahun 2018. Apabila dikonversi dengan 270 juta penduduk, sedikitnya 540.000 orang menderita diabetes. Hal serupa terjadi pada prevalensi gagal ginjal yang naik menjadi 3,8 per mil atau 1,02 juta jiwa dan penderita stroke meningkat hingga 10,9 per mil atau 2,9 juta jiwa.
Kementerian Kesehatan juga melaporkan bahwa prevalensi obesitas pada penduduk usia lebih dari 18 tahun meningkat. Prevalensi obesitas tahun 2013 sebesar 28,7 persen, kemudian meningkat menjadi 33,5 persen pada tahun 2016. Efek bawaan dari obesitas adalah munculnya penyakit metabolik, seperti kolesterol dan tekanan darah.
Risiko munculnya penyakit akibat asupan gula berlebih dari minuman berpemanis tersebut sudah menjadi kekhawatiran 74,2 persen responden. Sayangnya, konsumsi minuman manis juga tetap tinggi.
Separuh responden mengaku mengonsumsi minuman manis lebih dari lima botol atau kemasan selama seminggu. Bahkan, 16 persen di antaranya mengonsumsi lebih dari 10 botol atau kemasan. Pola konsumsi tersebut belum mempertimbangkan minuman manis yang dibuat di gelas atau dari makanan. Artinya, konsumsi gula berlebih sangat kecil dihindari.
KOMPAS/DEFRI WERDIONO
Kit diagnostik ini merupakan produk pertama Universitas Brawijaya dan alat medis pertama yang diproduksi di dalam negeri untuk mengetahui potensi diabetes melitus tipe 1 serta Latent Autoimmune Diabetes in Adult (potensi diabetes akibat autoimun pada orang dewasa)
WHO merekomendasikan asupan gula harian maksimal 50 gram atau setara dengan 10 sendok teh, sementara untuk anak usia 1-3 tahun sebesar 30 gram, usia 4-6 tahun 35 gram gula, dan usia 7-10 tahun 42 gram gula.
Kendalikan asupan
Jajak pendapat Kompas menemukan, minuman coklat, kopi, susu, atau teh manis adalah jenis minuman manis paling populer di masyarakat. Apabila diperhatikan, banyak minuman kaleng varian coklat, kopi, susu, dan teh dengan kandungan gula lebih dari 25 gram per kalengnya, lebih dari separuh batasan maksimal harian gula bagi tubuh manusia.
Dibutuhkan usaha lebih serius untuk mengendalikan asupan gula harian melalui minuman manis. Keseriusan individu membatasi asupan gula berperan penting. Berdasarkan hasil jajak pendapat, enam dari 10 responden memilih membiasakan minum air mineral saat haus sebagai langkah membatasi konsumsi minuman manis.
Langkah lainnya adalah mengurangi konsumsi minuman manis secara bertahap, termasuk membawa botol air minum mineral saat beraktivitas. Artinya, keberadaan air mineral harus selalu dekat dan tersedia agar tidak ada keinginan meminum minuman manis.
Upaya pembatasan konsumsi minuman oleh individu makin serius dilakukan karenanya dibutuhkan penguatan pemerintah melalui skema regulasi yang menjamin kesehatan warga negara. Skema pertama adalah menerapkan pajak produk minuman berpemanis. Pungutan pajak dapat digunakan untuk peningkatan akses masyarakat terhadap produk makanan yang lebih sehat dan edukasi anak usia dini agar bijak mengonsumsi minuman. Sejumlah negara telah menerapkan pajak minuman berpemanis, seperti Irlandia, Meksiko, Amerika Serikat, Perancis, Inggris, dan Malaysia.
Skema kedua adalah mewajibkan semua produsen dan penjual minuman berpemanis untuk mencantumkan komposisi minuman tersebut. Salah satu komposisi utama yang harus diberi keterangan adalah kandungan gula per sajian.
Terakhir, edukasi tentang minuman manis memiliki urgensi lebih besar agar ke depannya prevalensi penyakit yang disebabkan oleh gula dapat ditekan.
Keseriusan individu untuk membatasi konsumsi minuman manis adalah bentuk investasi kesehatan di masa mendatang, dan pemerintah turut memiliki andil besar dalam mewujudkan masyarakat yang sehat.