Unicef Desak Indonesia Segera Terapkan Cukai Minuman Berpemanis
Pemerintah Indonesia sudah banyak membuat program untuk mengatasi masalah kelebihan berat badan dan obesitas, tetapi belum berhasil. Penerapan cukai bagi produk pangan berpemanis bisa menjadi solusi.
Oleh
STEPHANUS ARANDITIO,
·4 menit baca
KOMPAS/AHMAD ARIF
Seorang ibu dan anak di pedalaman Kampung Saga, Sorong Selatan, Papua Barat Daya, membeli makanan instan di jolor-jolor atau warung di atas perahu. Tren global menunjukkan tingkat obesitas lebih tinggi di perdesaan dibandingkan di perkotaan, salah satunya karena kemudahan akses mendapatkan makanan instan.
JAKARTA, KOMPAS — Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Anak-anak atau Unicef mendesak Pemerintah Indonesia memperhatikan gizi masyarakat karena orang yang kelebihan berat badan atau obesitas meningkat 10 kali lipat dalam satu dekade terakhir. Pemerintah diminta segera menerapkan cukai pada produk minuman berpemanis demi kesehatan masyarakat.
Data Riset Kesehatan Dasar Kementerian Kesehatan tahun 2018 menunjukkan, 1 dari 5 anak usia sekolah 5-12 tahun (20 persen atau 7,6 juta), 1 dari 7 remaja (14,8 persen, atau 3,3 juta), dan 1 dari 3 orang dewasa (35.5 persen, atau 64.4 juta) di Indonesia hidup dengan kelebihan berat badan atau obesitas. Menurut ahli gizi Unicef di Indonesia David Colozza, kondisi ini sudah masuk kategori berbahaya.
Kelebihan berat badan dan obesitas dapat berdampak langsung pada kesehatan dan perkembangan psikososial seseorang. Selain itu juga dapat menyebabkan peningkatan risiko penyakit tidak menular di kemudian hari, seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, stroke, dan beberapa jenis kanker.
”Kelebihan berat badan dan obesitas telah menambah tiga beban masalah gizi selain masalah gizi kurang dan kekurangan zat gizi mikro,” kata David dalam diskusi Hari Obesitas Sedunia 2023, Selasa (21/3/2023).
KOMPAS/HENDRA A SETYAWAN
Siswa sebuah sekolah dasar di Tangerang Selatan, Banten, mengikuti mata pelajaran pendidikan jasmani olahraga dan kesehatan di lapangan sekolah, Kamis (24/1/2019). Olahraga merupakan salah satu kegiatan luar ruang di sekolah yang bisa mengontrol obesitas pada anak.
Prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia lebih banyak terjadi pada perempuan daripada laki-laki, dengan rincian 15,9 persen di antaranya remaja perempuan dan remaja laki-laki 11,3 persen. Kemudian, hal serupa terjadi pada 44,4 persen perempuan dewasa dan 26,6 persen pria dewasa.
Kelebihan berat badan dan obesitas di Indonesia justru terjadi pada kelompok masyarakat miskin dan perdesaan, termasuk di daerah dengan tingkat tengkes yang tinggi. Hal itu disebabkan peredaran produk makanan dan minuman berpemanis tinggi.
Gula, garam, dan lemak yang dikonsumsi masyarakat tidak terkontrol. Ketergantungan pada bahan-bahan makanan tidak sehat itu menurunkan kesadaran masyarakat untuk mengonsumsi penganan sehat, seperti sayur-sayuran dan buah-buahan.
Menurunkan konsumsi minuman berpemanis dengan cukai telah berhasil diterapkan di sejumlah negara, seperti Meksiko dan Inggris.
Hal itu diperparah dengan pertumbuhan gerai makanan cepat saji dan ritel makanan modern, minimnya akses terhadap air minum yang aman, dan promosi produk makanan serta minuman berpemanis yang terlalu masif di media massa, juga periklanan.
”Lingkungan tersebut membuat makanan dan minuman tinggi gula, garam, dan lemak secara mudah tersedia dan terjangkau. Hal ini membatasi kesempatan untuk mengakses alternatif yang lebih sehat dan mempertahankan gaya hidup aktif,” ucapnya.
Titi Wati (37), wanita penderita obesitas dengan berat lebih dari 300 kilogram, digotong tim pemadam kebakaran Kota Palangkaraya, Kalimantan Tengah, menuju ruangannya di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Doris Sylvanus Palangkaraya, Jumat (11/1/2019). Titi akan menjalani operasi bariatrik.
Pemerintah Indonesia sudah banyak membuat program untuk mengatasi masalah kelebihan berat badan dan obesitas. Beberapa kebijakan baik yang sudah ada, antara lain, target nasional pencegahan obesitas dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2020-2024, program Gerakan Nusantara Tekan Angka Obesitas (Gentas) dan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas), kontrol pada minuman beralkohol, dan pelabelan kandungan gizi pada bagian depan kemasan produk.
Namun, kebijakan yang secara gagasan baik belum diimplementasikan dengan baik pula oleh pemerintah. Kebijakan penerapan cukai minuman berpemanis gula atau makanan tinggi gula, garam, dan lemak belum dilakukan, serta kebijakan memperbaiki pangan di lingkungan sekolah juga belum maksimal.
”Terapkan cukai pada minuman berpemanis gula. Tegakkan aturan pemasaran makanan dan minuman yang ada. Pemerintah Indonesia harus memprioritaskan pencegahan kelebihan berat badan dan obesitas dan menerapkan kebijakan dan program yang ambisius untuk memastikan terciptanya perubahan jangka panjang dan skala besar,” ujar David.
Wakil Menteri Kesehatan Dante Saksono Harbuwono menyebut, angka obesitas yang sudah tinggi tersebut terjadi dalam kondisi skrining yang masih rendah, artinya masih banyak orang yang belum terdeteksi. Saat ini, kata Dante, cakupan deteksi dini untuk penyakit tidak menular, seperti tuberkulosis, diabetes, dan obesitas, hanya 25 persen dari target 97 juta orang usia produktif dan lansia pada 2022.
”Ini harus menjadi perhatian dan mendapatkan dukungan dari seluruh sektor agar terjadi percepatan penanggulangan obesitas di Indonesia,” katanya.
Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2M) Maxi Rein Rondonuwu menjelaskan, pemerintah sebenarnya sudah melakukan upaya pencegahan melalui Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. Namun, dia sepakat pencegahan penyakit tidak menular, seperti diabetes, harus ditegaskan melalui cukai minuman dan makanan berpemanis.
”Lebih bagus lagi kalau usulan kami dari Kementerian Kesehatan ke Kementerian Keuangan untuk menjadikan produk mengandung gula, garam, dan lemak masuk ke dalam cukai, terutama gula. Itu akan sangat efektif,” kata Maxi.
Menurunkan konsumsi minuman berpemanis dengan cukai telah berhasil diterapkan di sejumlah negara, seperti Meksiko dan Inggris. Di Meksiko, jumlah pembelian minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) menurun 19 persen dengan penerapan cukai sebesar 10 persen. Sementara di Inggris, kebijakan cukai minuman berpemanis telah mendorong industri mengurangi kadar gula dalam produk minumannya sebesar 11 persen.