Pemanis Aspartam Kemungkinan Memicu Kanker
Badan Internasional untuk Penelitian Kanker diprediksi menetapkan pemanis buatan aspartam sebagai zat yang bisa memicu kanker. Kondisi ini mulai memicu perdebatan ilmuwan dan industri serta kebingungan masyarakat.
Aspartam adalah pemanis buatan yang paling banyak digunakan di dunia. Namun, Badan Internasional untuk Penelitian Kanker (IARC) diprediksi mengumumkan aspartam sebagai bahan tambahan pangan yang bisa memicu kanker. Putusan resmi IARC itu akan diumumkan pada 14 Juli 2023, tetapi bocoran informasi itu sudah memunculkan kekhawatiran global.
Aspartam adalah pemanis buatan dengan tingkat kemanisan 200 kali lebih manis dari gula, tetapi nol kalori. Produk ini pertama kali dibuat tahun 1965 dan mulai digunakan secara luas oleh industri tahun 1980-an setelah Badan Pengawas Obat dan Makanan Amerika Serikat (FDA) menyetujui penggunaannya pada makanan tahun 1981.
Produksi aspartam global pada tahun 2021 diperkirakan 3.000 ton sampai 5.000 ton per tahun. Saat ini, diperkirakan ada 6.000 produk yang menggunakan aspartam, mulai dari pemanis pengganti gula, aneka minuman soda yang dicap zero calorie, minuman dalam kemasan, permen karet, yoghurt, makanan siap saji, hingga sejumlah obat-obatan.
Perdebatan soal apakah aspartam bisa memicu kanker sudah berlangsung selama beberapa tahun terakhir. Philip J Landrigan dan Kurt Straif dalam Environmental Health, 12 April 2021, menyebut isu ini muncul setelah studi peneliti dari Institut Ramazzini, Italia, pada 2006 dan 2007 menemukan penggunaan aspartam meningkatkan risiko munculnya tumor ganas alias kanker pada tikus dan mencit, khususnya kanker terkait darah, yaitu leukemia dan limfoma.
Padahal, tikus dan mencit itu hanya diberikan aspartam dosis rendah yang mendekati jumlah asupan harian yang diperbolehkan (ADI) oleh sejumlah lembaga pengawasan pangan. Bahkan, paparan aspartam pada janin dalam jumlah lebih rendah daripada dosis untuk orang dewasa juga meningkatkan munculnya keganasan kanker pada anak tikus dan mencit.
Temuan itu memicu kontroversi dengan gugatan terbesar terfokus pada akurasi diagnosis tumor yang dilakukan. Namun, evaluasi lanjutan yang dilakukan peneliti tetap konsisten bahwa aspartam adalah bahan karsinogen kimiawi pada tikus dan mencit serta paparan aspartam pada janin meningkatkan risiko kanker pada turunan hewan pengerat.
Namun, sifat karsinogenik aspartam itu, seperti dikutip BBC, 30 Juni 2023, tidak ditemukan pada hewan non-pengerat. Artinya, risiko kanker dari penggunaan aspartam itu tidak terjadi pada hewan lain sehingga hubungan antara aspartam dan kanker darah dianggap belum konsisten.
Selain itu, studi kohort yang dilakukan Charlotte Debras dan rekan terhadap 102.865 orang dewasa di Perancis dan dipublikasikan di PLOS Medicine, 24 Maret 2022, menemukan penggunaan pemanis buatan, khususnya aspartam dan asesulfam-K, meningkatkan risiko kanker.
Meski demikian, pembandingan antara kelompok yang mengonsumsi dan tidak mengonsumsi pemanis buatan itu dianggap tidak setara. Di antara kedua kelompok tersebut memiliki banyak perbedaan kondisi kesehatan dan gaya hidup sehingga hasil studinya juga dianggap kurang sahih.
Evaluasi
Beberapa studi itu menjadi landasan yang membuat IARC sebagai bagian dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menilai ulang potensi efek karsinogenik dari aspartam pada 6 Juni-13 Juni 2023. Bahkan, IARC mengklaim telah mempelajari lebih dari 1.300 penelitian tentang aspartam selama penilaian ulang tersebut.
Setelah itu, Komite Pakar Bersama WHO dan Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) untuk Bahan Tambahan Pangan (JECFA) akan memperbarui panduan ADI dari penggunaan aspartam yang pembahasannya dilakukan pada 27 Juni-6 Juli 2023.
Dalam IARC Monographs Volume 134 disebutkan hasil evaluasi aspartam itu akan diumumkan pada 14 Juli 2023 bersamaan dengan dipublikasikannya secara daring temuan JECFA di jurnal The Lancet Oncology. Namun, hasil evaluasi IARC itu telah bocor dan langsung menimbulkan kontroversi.
Kantor berita Reuters pada 29 Juni 2023 melaporkan bahwa IARC akan menyatakan aspartam sebagai bahan yang kemungkinan kecil (possibly) bisa memicu kanker pada manusia. Informasi ini tentu mengagetkan banyak pihak karena aspartam telah banyak digunakan untuk diet, pembatasan kalori, dan mencegah kegemukan tetapi tetap bisa menikmati manisnya rasa gula.
Penting bagi masyarakat untuk terus memantau perkembangan yang terjadi, bukan untuk menambah kekhawatiran dan kepanikan, tetapi untuk senantiasa waspada dan mendorong hidup yang lebih sehat.
Salah seorang juru bicara IARC mengatakan, hasil evaluasi IARC itu akan menjadi ”langkah mendasar pertama untuk memahami karsinogenitas”. Sementara ”penilaian ulang risiko yang dilakukan JECFA akan menentukan seberapa besar jenis bahaya tertentu bisa terjadi sesuai kondisi dan tingkat paparan (aspartam) terjadi” akan melengkapi tinjauan IARC.
Meski belum diumumkan secara resmi, kekhawatiran global pun sudah bermunculan. Bukan hanya dari kalangan industri dan regulator keamanan pangan, masyarakat pun mulai waswas akan penggunaan aspartam. Terlebih, pada Mei 2023, WHO juga mengumumkan bahwa penggunaan pemanis buatan untuk mencegah obesitas tidak efektif menurunkan berat badan dan justru meningkatkan sejumlah risiko kesehatan.
Seorang pejabat Kementerian Kesehatan, Tenaga Kerja, dan Kesejahteraan Jepang Nozomi Tomita berkirim surat kepada Wakil Direktur Jenderal WHO Zsuzsanna Jakab pada 27 Maret 2023 yang isinya meminta agar kedua badan (IARC dan JECFA) mengoordinasikan upaya mereka dalam meninjau ulang aspartam guna menghindari kebingungan dan kekhawatiran di masyarakat.
Sementara Direktur Eksekutif Dewan Asosiasi Minuman Internasional (ICBA) Kate Loatman menilai otoritas kesehatan masyarakat seharusnya prihatin dengan kebocoran informasi tersebut karena bisa menyesatkan konsumen sehingga mereka mengonsumsi lebih banyak gula daripada memiliki produk yang bebas atau rendah gula.
Baca juga: Unicef Desak Indonesia Segera Terapkan Cukai Minuman Berpemanis
Tidak terlalu kuat
IARC mengelompokkan zat-zat yang bersifat karsinogenik dalam empat kategori, yaitu grup 1 untuk bahan yang secara pasti bersifat karsinogenik pada manusia. Ada pula grup 2A untuk zat yang kemungkinan besar (probably) bersifat karsinogenik bagi manusia dan grup 2B untuk materi yang kemungkinan kecil (possibly) karsinogenik untuk manusia. Kelompok terakhir, grup 3, dikhususkan bagi zat yang tidak dapat diklasifikasikan.
Profesor statistik di Universitas Terbuka, Inggris, Kevin McConway, menegaskan, pengategorisasian IARC itu tidak memberi tahu kepada masyarakat tentang seberapa besar risiko zat tersebut memicu kanker. Pengelompokan ini hanya untuk memberi tahu masyarakat seberapa kuat atau seberapa banyak bukti untuk mendukung pengelompokan tersebut.
Berdasar pengklasifikasian itu, aspartam diduga akan dimasukkan dalam grup 2B, yaitu kemungkinan kecil (possibly) memicu kanker pada manusia. Kelompok ini menunjukkan terbatasnya bukti bahwa aspartam bisa memicu kanker pada manusia atau hewan. ”Jika bukti yang dimiliki kuat, dia akan dimasukkan dalam grup 1 atau 2A,” katanya.
Zat-zat lain yang masuk dalam grup 2B itu antara lain solar, bedak untuk perineum (lapisan kulit tipis antara lubang vagina dan anus), nikel, lidah buaya, dan sayur acar.
Klasifikasi IARC itu telah menimbulkan kebingungan dan memunculkan alarm yang tidak perlu di masyarakat. Di masa lalu, pengelompokan ini telah menimbulkan kerancuan, saat daging merah olahan di kelompokkan dalam grup 2A atau kemungkinan besar bersifat karsinogenik. Pengelompokan ini membuat daging merah olahan disamakan dampaknya bagi kesehatan dengan rokok.
Di sisi lain, penggunaan aspartam telah disetujui sejumlah lembaga pengawas makanan di banyak negara. Demikian pula batasan ADI atau jumlah asupan harian yang diperbolehkan. Bahkan, Frances Hunt-Wood dari Asosiasi Pemanis Internasional (ISA) menyebut sudah lebih dari 90 badan keamanan pangan di seluruh dunia menyatakan aspartam aman dikonsumsi.
Dikutip dari situs Perkumpulan Kanker Amerika (American Cancer Society/ACS), FDA menegaskan ”penggunaan aspartam sebagai pemanis secara umum ... aman”. Sedangkan otoritas Keamanan Pangan Eropa (EFSA) menyebut ”penelitian tidak menunjukkan peningkatan risiko yang terkait dengan konsumsi aspartam untuk....leukimia, tumor otak, atau berbagai jenis kanker, termasuk kanker otak, limfatik, dan kanker hematopoietik (darah)”.
Selain itu, FDA menetapkan batasan aman jumlah konsumsi maksimum per orang per hari atau ADI untuk aspartam sebesar 50 miligram (mg) per kilogram (kg) berat badan per hari. Sementara EFSA merekomendasikan ADI lebih sedikit, yaitu 40 mg per kg berat badan per hari.
Batasan ADI, FDA, dan EFSA itu sebenarnya termasuk tinggi jika dilihat dari pola konsumsi manusia. Sebagai gambaran, jika seseorang yang memiliki berat badan 60 kg dan mengganti semua gula tambahan dalam makanan dan minumannya dengan aspartam, maka orang tersebut hanya mengonsumsi aspartam sebesar 9 mg per kg berat badan per hari atau jauh lebih rendah dari batasan ADI.
Sementara jika menggunakan batasan ADI EFSA, untuk mencapai paparan 40 mg per kg berat badan per hari, seseorang dengan berat badan 60 kg harus minum 12 kaleng minuman ringan diet per hari dan masing-masing kaleng mengandung aspartam sesuai batas tertinggi yang diperbolehkan. Nyatanya, aspartam yang digunakan minuman kaleng umumnya lebih rendah dari ADI sehingga seseorang bisa mengonsumsi hingga 36 kaleng minuman diet, sesuatu hal yang jarang terjadi.
Meski aman dikonsumsi dalam jumlah tertentu, memang tidak semua orang bisa mengonsumsi aspartam. Tubuh penderita fenilketonuria (PKU), yaitu kelainan genetik langka yang terjadi sejak lahir, tidak bisa memecah fenilalanin, yaitu asam amino yang ada di banyak makanan dan aspartam.
Bagi orang yang ingin menghindari aspartam, cara termudah yang disarankan ACS adalah dengan mencari peringatan atau memeriksa label makanan dan minuman sebelum membeli atau mengonsumsi produk tersebut. Kandungan aspartam dalam makanan umumnya akan dicantumkan dalam produk-produk tersebut.
Namun di tengah ketidakpastian ini, pandangan ahli keamanan pangan Hong Kong, seperti dikutip dari South China Morning Post, 30 Juni 2023, mungkin bisa diterapkan, yaitu tidak panik atau khawatir saat mengonsumsi aspartam. Meski demikian, konsumsi aspartam itu diharapkan tidak berlebihan atau seperlunya.
Baca juga: Cukai Minuman Berpemanis Untungkan Warga Berpenghasilan Rendah
Bagaimanapun, sains akan selalu berkembang. Riset dan penemuan bukti-bukti baru terus diperlukan untuk meningkatkan pemahaman kita tentang dampak sebuah zat bagi kesehatan manusia secara keseluruhan. Karena itu, penting bagi masyarakat untuk terus memantau perkembangan yang terjadi, bukan untuk menambah kekhawatiran dan kepanikan, melainkan untuk senantiasa waspada dan mendorong hidup yang lebih sehat.