Selama ini, hal-hal yang bersifat pribadi biasanya disimpan untuk konsumsi pribadi saja. Namun, sekarang berbeda. Yang pribadi seolah tidak ada lagi karena cukup banyak orang memviralkan kisah-kisah pribadinya.
Oleh
KRISTI POERWANDARI
·4 menit baca
Mungkin pembaca mengikuti juga, adanya beberapa artis yang belakangan ini memviralkan kisah pribadinya, utamanya terkait perselingkuhan dari pasangan. Sedemikian rupa sehingga warganet mengetahui potongan-potongan cerita dari perselingkuhan tersebut. Lalu orang memanfaatkan cerita tersebut dengan menyebarkannya kembali dengan sedikit atau banyak bumbu untuk dapat menghasilkan uang dari berita itu. Demikian seterusnya. Warganet berkubu-kubu memberikan penilaiannya dengan cara halus hingga komentar yang paling pedas, nyinyir, dan sangat menyakitkan hanya berdasarkan potongan gambar atau tulisan pendek yang kemudian disimpulkan sendiri.
Sementara itu, di kalangan orang biasa juga terjadi orang menceritakan kisah-kisah pribadinya di dunia maya. Kisah positif umumnya juga diberitakan, tetapi mungkin lewat begitu saja kurang memperoleh perhatian. Yang negatif biasanya memperoleh lebih banyak tanggapan dan disebar ulang oleh orang lain sedemikian rupa sehingga menjadi tanda. Jika si “X“ disebut, orang ingatnya, misalnya, tentang, “Oh yang suaminya selingkuh itu, ya, yang sewa kamar hotel dibayari selingkuhannya itu.“
Mengapa sampai orang memviralkan cerita pribadinya yang paling sensitif sekalipun? Alasannya dapat bermacam-macam. Ada yang telah mencoba demikian bersabar dengan perilaku pasangannya, tetapi tidak ada perubahan apa pun. Akhirnya ia berpikir bahwa satu-satunya jalan untuk menyelesaikan masalahnya adalah dengan membuka hal itu ke publik. Ada yang merasa bingung, kacau, sendirian, dan tidak memiliki dukungan di dunia nyata sehingga menceritakan kisahnya lewat media sosial dengan harapan memperoleh bantuan.
Yang lainnya mungkin demikian sakit hati dan ingin menghukum dengan mempermalukan pasangannya tersebut. Ada pula sebagian dari kita yang mungkin sangat senang menjadi pusat perhatian sehingga tidak lagi berpikir mana yang pribadi dan mana yang bukan. Bagi orang seperti ini, hidup adalah “menampilkan pertunjukan“. Kesemuanya umumnya tidak berpikir panjang mengenai dampak tindakannya, baik pada diri sendiri, pada keluarga, pada pasangan, maupun dampak lainnya.
Demikianlah internet telah sedemikian mengubah perilaku kita. Dahulu kita cukup memahami bahwa jika kita ingin menyelesaikan masalah dengan baik-baik, apalagi jika masih ingin mempertahankan hubungan, lebih baik hanya sesedikit mungkin orang saja yang tahu. Tujuannya agar persoalan tidak melebar, agar orang lain yang tidak mengetahui secara mendalam persoalannya tidak perlu ikut campur tangan sekaligus untuk menjaga perasaan pihak-pihak yang langsung terkait. Sekarang, orang menyangka masalahnya dapat diselesaikan bila kisah hidupnya dibuka ke publik.
Ada yang memviralkan cerita sekadar karena tak dapat lagi menahan kegundahannya. Ia tidak berpikir panjang tentang dampak tindakannya. Di sisi lain, ada pula yang memang ingin menghukum dan mempermalukan pasangan, mau tampil menjadi pemenang dan memperoleh simpati dari publik.
Ada baiknya kita membayangkan apa yang terjadi pada pasangan atau orang lain yang sedang bermasalah dengan kita bila kita menyebarluaskan persoalan di dunia maya. Bila itu terjadi pada kita sendiri, kira-kira apakah yang akan kita rasakan?
Apapun kesalahan yang dilakukan oleh pihak lain, mengungkap perilakunya di media sosial dapat dilihat sebagai tindakan menelanjangi, membuka aib, mempermalukan, menghukum, bahkan membunuh nama baik orang tersebut. Apalagi reaksi warganet sama sekali tidak terduga, cerita dapat melebar kesana-kemari tak terkendali, dan penghakiman massa di dunia maya tersebut dapat sangat mengejutkan, menghadirkan rasa malu, kemarahan, bahkan kehancuran.
Di dunia digital ini, tampaknya memang kita perlu belajar kembali untuk tidak hanya menggunakan perspektif pribadi melainkan menempatkan diri dalam posisi orang lain.
Bila kita masih berharap untuk dapat memperbaiki dan mempertahankan hubungan, atau emosi masih turun naik kadang merasa sangat marah kadang ingin berbaikan kembali, akan jauh lebih baik menghindar dari berbagi cerita di media sosial. Tampaknya kurang masuk akal untuk mengharapkan seseorang yang sudah dijadikan pecundang di depan khalayak ramai untuk bersedia kembali, merajut lagi hubungan yang terlanjur sudah koyak-koyak. Bila pun ia sebelumnya sangat mencintai kita, tindakan tersebut sudah menghancurkan semua yang ada, bahkan bisa jadi memunculkan kemarahan dan kebencian yang kuat kepada kita.
Jejak digital itu terus ada. Boleh jadi, belakangan seseorang yang membagi ceritanya di media sosial baru menyadari bahwa tindakannya kurang bijaksana. Atau baru belakangan pula ia tiba-tiba merasa malu bahwa kisahnya yang sangat pribadi (dan dalam artian negatif) dapat diakses oleh semua orang yang punya koneksi internet. Penyesalan selalu datang terlambat, dan menyesali diri itu dapat terasa sangat menyakitkan.
Di dunia digital ini, tampaknya memang kita perlu belajar kembali untuk tidak hanya menggunakan perspektif pribadi melainkan menempatkan diri dalam posisi orang lain. Untuk menghela nafas sejenak dan berpikir sebelum mengambil tindakan. Memahami apa yang pantas dan tidak pantas, apa yang bijak dan kurang bijak, agar tidak menyesali tindakan yang telah kita lakukan, dan tidak menghadirkan kerugian bagi diri sendiri dan orang lain.