Demi konten di media sosial, seorang perempuan meninggal karena tergantung pada seutas kain di rumah kontrakannya di Desa Cibeber, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat.
Ide W (20) membuat konten pura-pura bunuh diri bermula dari obrolan lepas bersama temannya melalui panggilan video. W pun mempersiapkan semua peralatan, seperti kursi dan kain, serta posisi untuk beraksi.
Di sebarang panggilan video, teman-temannya sudah menunggu melihat aksi W. Sembari itu, W juga siap merekam aksinya untuk konten di medsos.
Saat memeragakan gantung diri, kaki korban terpeleset dari kursi yang menjadi pijakannya. Niat membuat konten pura-pura gantung diri demi konten di media sosial pada Rabu (1/3/2023) sekitar pukul 21.30 justru berakhir tragis.
”Korban ditemukan tak bernyawa dalam posisi tergantung pada seutas kain yang terikat di atas ventilasi pintu. Nah, teman-temannya yang menyaksikan itu panik langsung menuju lokasi dan menghubungi kami,” kata Kepala Kepolisian Sektor Leuwiliang Komisaris Agus Supriyanto, Kamis (9/3).
Baca Juga: ”Rojali” dan Ruang Berbahaya Bermain di Media Sosial
Dari hasil pemeriksaan, kata Agus, tidak ditemukan dugaan kekerasan atau W sungguh berniat gantung diri karena suatu masalah. Namun, dugaan itu masih perlu didalami lagi.
Media sosial yang semu
Sosiolog Universitas Negeri Jakarta, Rakhmat Hidayat, menjelaskan, berbagai peristiwa unik di luar logika belakangan kerap menghiasi isi media sosial.
Peristiwa yang dialami W dengan konten ”berbeda” menambah fenomena unik lainnya, seperti Citayam Fashion Week, Rojali yang nekad menghadang laju truk, aksi mandi tengah malam, dan konten lainnya yang membuat orang terheran-heran.
Berbagai fenomena dalam konten di media sosial itu tak melulu berakhir tragis. Ada pula yang meraih sukses dan menjadi ruang interaksi sosial baru hingga mendapatkan keuntungan finansial. Kesuksesan itu pula mendorong publik berlomba-lomba menjadi seorang konten kreator, bahkan terobsesi menjadi konten kreator.
Sialnya, demi mendapatkan keuntungan finansial dan menjadi terkenal, para konten kreator berpikir untuk melakukan cara atau hal unik, tak biasa, berbeda yang bahkan bisa membahayakan orang lain dan diri sendiri.
”Media sosial jadi ruang sosial yang semakin cair, terbuka, dan semua orang bisa melakukan referensi perilaku apapun, aksesibilitas tinggi, sesuai dengan kapasitas pemikiran, passionnya. Konten kreator pun menjadi profesi,” katanya.
Tidak adanya batasan ruang serta kemampuan visualisasi digital membuat publik merasa media sosial menjadi ruang aktual dan faktual, meski menunjukkan interaksi irasional. Seperti pada kasus W, jika berpikir rasional teman-teman W seharusnya bisa melarang atau menghentikan aksi W.
Oleh karena itu, media sosial menjadi dunia yang absurd dan semu karena tidak ada aturan, nilai, norma, regulasi atau batasan.
Harapan bahwa dengan media sosial itu bisa bisa mendongkrak mobilitas sosial vertikal mereka.
”Ketika sekarang orang pada satu frame medsos, seolah-olah realitas sosial. Kalau realitas sosial maka akan terpikir nilai, risiko, dan berpikir jangka panjang. Orang sekarang berpikirnya (di media sosial) kreatif lalu viral kemudian viewer-nya banyak dapat adsense (iklan) dan cuan,” ujar Rakhmat
Dari peristiwa W, Rojali menghadang truk, mandi tengah malam, didapati pemahaman publik yang keliru. Pemahaman tersebut, yaitu bagi sang aktor semakin konten itu berbeda, menantang, nyeleneh, dan unik, maka mereka berekspektasi bahwa itu akan mendongkrak popularitas dan menghasilkan pundi rupiah. Ekspetasi itu mereka konstruksi sendiri dari pengalaman dan menyaksikan kesuksesan para youtuber, seleb tweet, tiktoker, dan pemengaruh media sosial lainnya.
Baca Juga: Mari Berdayakan Media Sosial dengan Baik
Muncul sebuah hipotesa, meski hipotesa ini tidak bisa digeneralisasi, bahwa mereka yang melakukan hal itu di media sosial merupakan kaum kelas menengah ke bawah yang punya harapan dan ekspektasi dengan menjadi konten kreator. Dari seorang yang bukan siapa-siapa berubah menjadi seseorang yang populer dan dibicarakan.
”Harapan bahwa dengan media sosial itu bisa bisa mendongkrak mobilitas sosial vertikal mereka,” ujarnya.
Padahal, lanjut Rakhmat, ”Media sosial yang mereka lakukan itu absurd, semu, instan, sesaat, dan tidak permanen, karena mereka hanya mengubah wajah realitas sosial ke wajah virtual. Sesaat yang tidak permanen dia akan tenggelam oleh konten-konten sensasi lagi. Memang mendongkrak mereka, tetapi setelah itu tidak terdengar akhirnya menjadi semu dan kembali ke dunia realitas mereka lagi.”