Pencarian eksistensi dan jati diri mendorong sebagian anak muda mengikuti tren di media sosial. Namun, tidak semua tren berdampak positif bagi pengikutnya.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·4 menit baca
SEKAR GANDHAWANGI
Seorang warga yang melihat akun media sosialnya melalui ponsel pintar di Jakarta, Rabu (24/3/2021). Media sosial jadi salah satu kanal bagi warga untuk terhubung satu sama lain.
Sebagian orang memanfaatkan media sosial untuk berjejaring, mencari hiburan, menyusun ”curriculum vitae” digital, berdagang, atau membekukan memori. Ada juga yang bermedia sosial untuk mencari identitas dan perhatian publik. Apa pun tujuannya, bermedia sosial hendaknya dibarengi dengan kebijaksanaan memilah dan memilih konten serta pengetahuan etika digital. Tanpa itu, pengguna media sosial rawan terjebak tren tanpa makna.
Puluhan pelajar suatu sekolah di Kabupaten Bengkulu Utara, Bengkulu, melukai tangan mereka dengan benda tajam. Melansir laman Kepolisian Resor (Polres) Bengkulu Utara pada Senin (13/3/2023), kejadian itu diketahui beberapa hari lalu oleh salah satu guru setelah melihat sejumlah siswi memiliki luka yang sama di lengan kiri.
Kejadian ini memperoleh perhatian kepolisian, dinas pendidikan, serta dinas pemberdayaan perempuan dan perlindungan anak setempat. Kepala Polres Bengkulu Utara Ajun Komisaris Besar Andy P Wardana mengatakan, kejadian ini tidak berkaitan dengan kegiatan geng. Sebaliknya, kejadian itu diduga karena anak-anak terpengaruh konten di dunia maya.
”Tidak ada indikasi yang mengarah ke hal negatif lainnya. Mereka hanya mengikuti tren yang ada di Youtube,” ucap Andy.
KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO (TOK)
Warga menggunakan telepon selulernya untuk memantau media sosial di kawasan Menteng, Jakarta, Jumat (10/6/2022). Tanggal 10 Juni diperingati sebagai Hari Media Sosial. Hari Media Sosial di Indonesia pertama kali diperingati dan digagas pada 10 Juni 2015.
Sementara itu, pada awal Maret 2023, W (20), seorang perempuan di Desa Cibeber, Kecamatan Leuwiliang, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, tewas setelah memeragakan adegan gantung diri. Ia terpeleset saat beraksi (Kompas.id, 9/3/2023).
Kejadian tersebut bermula saat W dan teman-temannya mengobrol melalui panggilan video. Dari obrolan itu, muncul ide membuat konten pura-pura bunuh diri. W lantas menyiapkan alat-alat yang dibutuhkan lalu bersiap merekam aksinya. Sementara itu, teman-teman W menonton aksinya dari panggilan video. Namun, adegan yang seharusnya pura-pura malah memakan korban betulan.
Pada 2022, ada pula anak muda yang tewas terlindas truk demi konten media sosial. Mereka menghadang truk untuk menunaikan tantangan (challenge) malaikat maut. Siapa yang sukses membuat truk berhenti tanpa terluka akan diakui keberanian dan keberhasilannya. Namun, challenge itu malah memakan korban setidaknya di Banten dan Jawa Barat.
Belum matang
Menurut psikolog klinis Anna Surti Ariani, kejadian-kejadian tersebut bisa terjadi karena bagian otak yang memproses pikiran rasional (prefrontal korteks) pada anak dan remaja belum matang. Sementara itu, bagian otak yang memproses emosi sudah cukup matang. Hal ini mendorong anak dan remaja cenderung bertindak berdasarkan emosi.
”Karenanya, saat ada suatu hal, mereka jadi emosional, tidak berpikir dengan lebih pelan, lebih bijak. Itu karena kecepatan memproses emosinya jauh lebih baik dibandingkan dengan kecepatan memproses (hal) rasional,” ucap Anna yang juga Ketua Ikatan Psikolog Klinis (IPK) wilayah Jakarta itu.
Anak usia remaja umumnya sedang mencari identitas diri. Ini membuat mereka ingin terhubung dengan hal-hal populer, disukai orang, atau dianggap keren.
Di sisi lain, anak usia remaja umumnya sedang mencari identitas diri. Ini membuat mereka ingin terhubung dengan hal-hal populer, disukai orang, atau dianggap keren. Adapun patokan ”keren” biasanya diperoleh anak muda dari media sosial. Itu sebabnya, anak muda cenderung mengikuti tren, baik tren yang positif maupun tidak. Peran orang dewasa untuk mendampingi anak saat bermedia sosial pun dibutuhkan.
Namun, pemahaman anak muda akan hal yang ”baik” dan ”buruk” berbeda dengan pemahaman orang dewasa. Menurut Anna, ini karena pemahaman moral kedua pihak berbeda. Pemahaman moral orang dewasa lebih ”maju” dibandingkan dengan anak muda.
Karena titik tolak pemahamannya berbeda, pembicaraan orang dewasa dan anak muda rawan tidak nyambung. Dalam skenario terburuk, kedua pihak bisa merasa lawan bicaranya ndablek alias keras kepala. Tujuan untuk mendampingi anak bermedia sosial pun jadi tidak tercapai.
”Daripada langsung diberi nasihat, ajak dia (anak) berpikir. Jika langsung dinasihati, akan ada penolakan dan ketidaknyamanan, dan itu tidak menstimulasi perkembangan prefrontal korteks. Akan berbeda jika anak diajak berpikir, diterima pendapatnya, di-challenge dengan ide yang berbeda. Itu mendorong dia berpikir kritis,” papar Anna.
KOMPAS/SEKAR GANDHAWANGI
Dwi Hermawan (34) mengawasi anaknya, Ghifari Arkanata (8), saat memainkan gawai di rumah mereka di Desa Keseneng, Kecamatan Mojotengah, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah, Sabtu (25/2/2023).
Sementara itu, pakar komunikasi digital Universitas Indonesia, Firman Kurniawan, menjelaskan bahwa tren di media sosial adalah kompetisi untuk menciptakan impresi. Perhatian publik dinilai sebagai mata uang sosial untuk menunjukkan eksistensi diri.
Ia menambahkan, eksistensi seseorang akan diakui jika ia memiliki sesuatu. ”Sesuatu” itu bisa berupa apa saja, misalnya kepintaran, prestasi, dan keberanian.
”Keberanian termasuk material untuk diakui. Makanya, ada yang melukai diri hingga menabrakkan diri ke truk,” kata Firman. ”Orang di luar tren melihat ini sebagai kekonyolan dan tidak masuk akal. Namun, dengan social currency, mereka mendapat pengakuan bahwa dia berani dan hebat,” tuturnya.
Untuk menekan penyebaran tren nirfaedah, publik disarankan meminimalkan engagement dengan konten media sosial itu, baik dengan menonton, menyukai, atau membagikan konten. Dengan demikian, media sosial tidak menjadi ruang yang berisiko bagi mereka yang masih mencari jati diri.