Gen Z dan Milenial Justru Paling Rentan Tertipu Berita Palsu
Remaja ternyata lebih rentan dalam mengidentifikasi berita palsu. Semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang untuk berselancar di internet, semakin besar kemungkinan mereka terkecoh berita palsu.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Penelitian terbaru menemukan, remaja dan anak muda lebih buruk dari pada orang yang lebih tua dalam mengidentifikasi berita palsu. Semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang untuk berselancar di internet, semakin besar kemungkinan mereka terkecoh dengan berita keliru.
Temuan ini didapatkan dari serangkaian eksperimen tentang ”tes kerentanan misinformasi” yang dikembangkan para psikolog Univeristy of Cambridge. Hasil studi yang melibatkan lebih dari 8.000 peserta selama dua tahun ini diterbitkan dalam jurnal Behavior Research Methods, dan polling dirilis di situs web YouGov AS pada 28 Juni 2023.
Dalam ”tes kerentanan misinformasi” pertama yang divalidasi dan disebut ”MIST”, para peneliti membuat kuis cepat dua menit untuk mengidentifikasi 20 artikel sebagai berita fakta atau palsu. Peneliti meminta publik menguji diri mereka sendiri di laman https://yourmist.streamlit.app/.
Orang-orang muda semakin beralih ke media sosial untuk mencari tahu tentang dunia, tetapi saluran ini dibanjiri informasi yang salah.
Untuk membuat berita yang salah tetapi seolah-olah kredibel dan membingungkan, mirip dengan misinformasi yang biasa beredar, peneliti menggunakan bantuan kecerdasan buatan, yaitu ChatGPT. Sebuah komite internasional yang terdiri dari para ahli misinformasi kemudian menyeleksi tajuk berita yang benar dan salah. Variasi survei kemudian diuji secara ekstensif dalam eksperimen yang melibatkan ribuan peserta di Inggris dan AS.
Hasilnya ditemukan, rata-rata warga Amerika Serikat dewasa mengklasifikasikan dengan benar dua pertiga (65 persen) dari berita fakta atau palsu. Namun, jajak pendapat menemukan bahwa orang yang lebih muda lebih buruk daripada orang dewasa dalam mengidentifikasi berita palsu. Semakin banyak waktu yang dihabiskan seseorang untuk berselancar di internet, semakin rentan mereka terkecoh dengan berita keliru.
Hasil ini cenderung bertentangan dengan anggapan publik yang kerap menilai ”boomer” yang lebih tua dan kurang paham digital lebih mungkin tertipu oleh berita palsu.
”Misinformasi adalah salah satu tantangan terbesar yang dihadapi demokrasi di era digital,” kata Sander van der Linden, penulis senior studi MIST, dan Kepala Lab Pengambilan Keputusan Sosial Cambridge. ”Kami melihat bagaimana kepalsuan daring menciptakan sistem kepercayaan yang terpolarisasi di negara-negara besar.”
Menurut survei ini, dalam hal usia, hanya 11 persen dari anak usia 18-29 tahun yang mendapat skor tinggi (lebih dari 16 berita utama yang benar), sementara 36 persen mendapat skor rendah (10 berita utama atau kurang benar). Sebaliknya, 36 persen dari mereka yang berusia 65 tahun atau lebih mendapat skor tinggi, sementara hanya 9 persen orang dewasa yang lebih tua mendapat skor rendah.
Selain itu, semakin lama seseorang menghabiskan waktu online untuk bersenang-senang setiap hari, semakin besar kerentanan mereka terhadap informasi yang salah. Sekitar 30 persen dari mereka yang menghabiskan 0–2 jam rekreasi daring setiap hari mendapat skor tinggi, dibandingkan dengan hanya 15 persen dari mereka yang menghabiskan 9 jam atau lebih untuk online.
Survei tersebut juga menganalisis saluran yang digunakan responden untuk menerima berita. ”Media warisan” keluar sebagai yang teratas. Misalnya, lebih dari 50 persen dari mereka yang mendapatkan berita dari Associated Press, atau media arus utama (mainstream) lain meraih skor tinggi.
Media sosial memiliki audiens berita yang paling rentan terhadap informasi yang salah. Sekitar 53 persen dari mereka yang mendapat berita dari Snapchat menerima skor rendah, dengan hanya 4 persen yang mendapat skor tinggi. Truth Social berada di urutan kedua, diikuti oleh Whatsapp, Tiktok, dan Instagram.
”Orang-orang muda semakin beralih ke media sosial untuk mencari tahu tentang dunia, tetapi saluran ini dibanjiri informasi yang salah. Pendekatan literasi media, serta algoritma dan desain platform, memerlukan pemikiran ulang yang mendesak,” sebut tim peneliti.
Bantuan kecerdasan buatan
Untuk memahami di mana dan bagaimana cara terbaik untuk memerangi kesalahan informasi, para peneliti berupaya mencari cara terpadu untuk mengukur kerentanan terhadap berita palsu. ”Itulah yang diberikan oleh pengujian kami,” kata van der Linden.
Tim Cambridge mengembangkan alat penilaian yang memungkinkan mereka menentukan tingkat yang tepat dan campuran antara berita utama palsu dan asli untuk menghasilkan hasil yang paling dapat diandalkan.
”Saat kami membutuhkan serangkaian headline (berita utama) yang meyakinkan namun salah, kami beralih ke teknologi GPT. AI menghasilkan ribuan headline palsu dalam hitungan detik. Sebagai peneliti yang berdedikasi untuk melawan informasi yang salah, itu membuka mata dan mengkhawatirkan,” kata Rakoen Maertens, penulis utama MIST.
Namun, penelitian terbaru lainnya oleh tim yang sama menggunakan GPT untuk menghasilkan pertanyaan yang berguna untuk berbagai survei psikologis. ”Kami mendorong sesama psikolog untuk merangkul AI dan membantu mengarahkan teknologi ke arah yang bermanfaat,” kata salah satu penulis MIST, Friedrich Götz.