Media Sosial dan Risiko Gangguan Konsentrasi pada Anak
Semakin lama konsumsi media sosial, maka semakin tinggi pula potensi tingkat gangguan konsentrasi dapat terjadi pada anak. Mengapa hal itu terjadi dan apa yang dapat dilakukan untuk mencegahnya?
Oleh
Yulius Brahmantya Priambada
·4 menit baca
Masalah kesehatan mental tidak luput dialami remaja dan anak-anak. Pada anak dan remaja, ada petunjuk bahwa tingkat konsumsi media sosial dapat meningkatkan risiko gangguan konsentrasi. Peran keluarga menjadi semakin krusial dalam melindungi anak dari problem kesehatan mental.
Menyongsong era Indonesia Emas 2045, pemerintah perlu menyiapkan generasi muda berkualitas untuk mengakselerasi pembangunan nasional yang berkelanjutan. Generasi muda yang kini berada di bangku sekolah kelak akan mengisi formasi kepemimpinan Indonesia dengan 70 persen penduduk usia produktif.
Namun, bonus demografi yang diperkirakan terjadi pada momentum 100 tahun kemerdekaan Indonesia ini mendapat tantangan pengelolaan yang tidak mudah. Proporsi penduduk yang mayoritas berusia produktif tidak akan berarti banyak apabila tidak dibarengi dengan kualitas manusianya.
Pembangunan kualitas manusia ini terdiri dari berbagai aspek, salah satunya kesehatan mental. Kesehatan mental adalah satu dari sejumlah syarat utama untuk dapat menghadapi berbagai tekanan dan tuntutan zaman yang semakin beragam. Namun, data terkini menunjukkan adanya masalah kesehatan mental generasi muda yang masih membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan masyarakat.
Berdasarkan riset Indonesia-National Adolescent Mental Health Survey 2022, diperkirakan setidaknya satu dari tiga anak usia 10-13 tahun memiliki masalah kesehatan mental. Proporsi yang sama juga terjadi pada remaja usia 14-17 tahun. Apabila dibedah berdasarkan jenisnya, setidaknya 10,6 persen responden generasi muda mengalami masalah terkait dengan pemusatan perhatian atau hiperaktivitas (ADHD). Ini adalah masalah kesehatan mental nomor dua terbesar yang dialami anak dan remaja setelah kecemasan.
Sejumlah riset menunjukkan, ada kaitan antara konsumsi media sosial dan risiko timbulnya masalah pemusatan perhatian. Hubungan kedua variabel ini diuji Litbang Kompas berdasarkan data Profil Anak 2020 yang disusun Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kementerian PPPA).
Hasil analisis Pearson yang dilakukan terhadap variabel tingkat gangguan konsentrasi pada anak dan variabel tujuan mengakses internet untuk media sosial pada anak 7-17 tahun dari 34 provinsi menunjukkan angka 0,358 dengan nilai korelasi rho sebesar 0,037 pada tingkat signifikansi 0,05. Hal ini menggambarkan ada korelasi positif antara dua variabel tersebut.
Temuan ini dapat dimaknai bahwa semakin tinggi konsumsi media sosial, maka semakin tinggi pula potensi tingkat gangguan mengingat atau berkonsentrasi pada anak di provinsi tersebut. Fenomena ini sejalan dengan survei dari McKinsey Health Institute pada 2022 yang mengatakan adanya hubungan antara durasi penggunaan media sosial dan kesehatan mental yang memburuk.
Temuan survei McKinsey ini memberikan catatan pada responden generasi Z (usia kurang dari 24 tahun). Tak kurang dari 31 persen responden generasi Z yang menggunakan media sosial lebih dari dua jam per hari merasakan dampak negatif pada kesehatan mental. Hanya 24 persen responden dengan durasi penggunaan media sosial kurang dari dua jam per hari merasakan dampak negatif yang sama.
Meskipun demikian, nilai korelasi semata belum cukup untuk menjelaskan penyebab gangguan mental pada anak. Ada banyak faktor lainnya yang memengaruhi munculnya masalah kesehatan mental karena persoalan mental health merupakan persoalan yang kompleks. Meski demikian, temuan ini setidaknya dapat menjadi petunjuk perlunya memberikan perhatian terhadap penggunaan media sosial pada anak.
Di Indonesia, terdapat indikasi tingginya tingkat kebergantungan warga terhadap media sosial. Berdasarkan survei yang dilakukan Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet pada Januari 2023, media sosial menjadi alasan paling penting bagi para responden dalam menggunakan internet.
Secara khusus, sebanyak 41,4 persen responden mengaku menghabiskan waktu lebih dari dua jam untuk bermedia sosial. Dari jumlah tersebut, sedikitnya 18,9 persen di antaranya bermedia sosial lebih dari empat jam sehari.
Peran keluarga
Fenomena ini dirasa semakin relevan menilik hasil jajak pendapat Litbang Kompas pada 19-21 Juni 2023. Tak kurang 50,1 persen atau separuh responden menyatakan persoalan paling sulit yang tengah dihadapi oleh anak di keluarga mereka ialah mengatasi kecanduan gawai, seperti media sosial, gim, dan menonton video.
Menghadapi situasi demikian, keluarga dapat menjadi ujung tombak untuk melakukan pendampingan penggunaan media sosial. Keluarga menjadi benteng pertahanan dalam mencegah risiko munculnya masalah kesehatan mental pada anak dan remaja.
Hanya saja, berdasarkan laporan Indeks Kualitas Keluarga 2021, persentase rumah tangga di Indonesia dengan anggota berusia 0-17 tahun yang melakukan aktivitas bersama dalam mengakses internet baru mencapai 15,3 persen.
Kondisi itu menunjukkan masih banyak keluarga di Indonesia yang belum melakukan pendampingan dan pengawasan kepada anak dalam menggunakan internet. Kondisi ini dapat menjadi celah masuknya masalah kesehatan mental seperti gangguan konsentrasi.
Kendati demikian, bukan berarti keluarga tak memiliki kesempatan untuk mengubah situasi ini. Langkah awal dapat dimulai dari proses evaluasi internal di dalam keluarga terkait dengan penggunaan media sosial. Pembiasaan penggunaan internet secara bersama antara orangtua dan anak dapat dilakukan untuk mengajarkan keterampilan literasi digital seperti memilah informasi yang bertebaran di media digital.
Dari situ, anak dimungkinkan mampu lebih selektif mengonsumsi konten-konten media sosial dan melindungi diri dari dampak negatif yang dapat ditimbulkannya. Dibarengi dengan kebijakan terpadu untuk meningkatkan kualitas kesehatan mental secara utuh, bukan tidak mungkin Indonesia dapat dengan optimistis menyambut masa keemasannya pada 2045 bersama generasi yang sehat. (LITBANG KOMPAS)