Menangkal Hoaks di Kalangan Mahasiswa Perguruan Tinggi
Mahasiswa perlu berpikir secara lateral dalam menerima informasi dengan cara mengakses berbagai referensi untuk memvalidasinya. Mahasiswa yang membaca internet secara vertikal berpotensi besar untuk ditipu berita palsu.
Oleh
WILLY MEDI CHRISTIAN NABABAN
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banjir informasi membuka ruang berita bohong atau hoaks untuk masuk ke masyarakat, tak terkecuali di kalangan mahasiswa. Semakin banyak berita hoaks berseliweran, maka kian penting pula peningkatan kapasitas literasi digital seseorang.
Merujuk laporan Profil Internet Indonesia 2022 oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII), tingkat penetrasi internet di Indonesia mencapai 77,02 persen atau sebanyak 210.026.769 orang dari total 272.628.600 penduduk Indonesia yang telah terkoneksi dengan internet. Pada pelajar dan mahasiswa, penetrasinya mencapai 99,26 persen.
Rektor Universitas Pertamina I Gusti Nyoman Wiratmaja Puja menyatakan, masyarakat, termasuk mahasiswa, dapat dengan mudah terpapar berita hoaks di era banjir informasi. Literasi digital dinilai penting untuk dimasukkan dalam pembelajaran kuliah mereka agar dapat diterapkan sehari-hari.
”Secara umum, seminar-seminar mengenai literasi digital dapat digalakkan untuk meningkatkan pengetahuan dan etika mahasiswa di dunia maya,” ujarnya di hadapan sekitar 500 mahasiswa dalam seminar literasi digital ”Labirin Informasi, Tersesat atau Melesat?” di Universitas Pertamina, Jakarta, Kamis (12/1/2023).
Fokus pembelajaran, lanjut Wiratmaja, memang untuk mahasiswa program studi komunikasi dan hubungan internasional. Walakin, ilmu literasi digital akan tetap disebarkan kepada semua mahasiswa sebagai pemimpin masa depan. Dengan literasi digital yang memadai, calon pemimpin masa depan ini dapat mengambil keputusan yang bagus.
Menurut Redaktur Pelaksana Harian Kompas Adi Prinantyo, hal terkait literasi digital penting dan menjadi tanggung jawab semua pihak. Setiap informasi yang diproduksi untuk masyarakat harus dapat dipertanggungjawabkan oleh pembuat konten.
”Informasi yang dihadirkan itu memiliki dampak untuk publik. Oleh karena itu, tercipta tanggung jawab sosial yang harus dipenuhi oleh kreator konten. Hingga kini, tanggung jawab itu baru melekat pada perusahaan pers,” ucapnya.
Literasi digital dasar yang perlu dimiliki untuk menangkal berita hoaks adalah pengetahuan konten, literasi media, dan pemikiran kritis.
Informasi hoaks jauh lebih banyak ketimbang yang benar. Gelombang hoaks ini belum dapat ditanggulangi secara signifikan karena dapat diproduksi oleh mesin atau robot (bot) dengan tujuan-tujuan tertentu.
Sebagai bentuk pertanggungjawaban atas hal itu, pemerintah dan perusahaan media, kata Adi, perlu melaksanakan sosialisasi mengenai pentingnya literasi digital kepada semua elemen masyarakat, termasuk mahasiswa. Hal ini kemudian dapat ditindaklanjuti oleh masyarakat untuk menyeleksi informasi yang mereka terima dengan konsep saring sebelum sharing (membagikan).
Selain itu, ke depan masyarakat akan menerima informasi dari sumber yang jelas dan tidak hanya dari satu sisi, tetapi dari semua sudut pandang pihak-pihak yang terlibat dalam pemberitaan. Hal tersebut sudah menjadi tujuan dan ciri khas Kompas sebagai media arus utama.
Secara terpisah, Ketua Umum APJII Muhammad Arif Angga menuturkan, status pendidikan bukan jaminan bagi seseorang untuk menerima berita hoaks. Dia menyinggung penelitian Sekolah Pascasarjana Pendidikan Stanford pada 2016 tentang pemikiran kritis dan internet, yang menyimpulkan bahwa siswa sering tertipu oleh konten bersponsor dan terpancing bias politik.
”Dalam menerima informasi, mahasiswa harus berpikir secara lateral, yakni menggunakan berbagai referensi untuk memvalidasi informasi. Mahasiswa yang membaca internet secara vertikal lebih besar kemungkinan untuk ditipu oleh berita palsu karena fokus pada sumber tunggal,” kata Arif.
Literasi digital dasar yang perlu dimiliki untuk menangkal berita hoaks, menurut Arif, adalah pengetahuan konten, literasi media, dan pemikiran kritis. Hal ini mengingat pemberitaan hoaks sering kali melalui konten media sosial dan pemberitaan. Sementara itu, dalam laporan Profil Internet Indonesia 2022, konten media sosial sering diakses 89,15 persen masyarakat, sedangkan portal berita sebesar 11,98 persen.