Jaga Kesehatan Mental untuk Hidup Berkualitas
Kesehatan mental kian jadi perhatian dalam keseharian hidup. Kualitas hidup juga ditentukan dari sehat mental.
Kehidupan yang sehat dan sejahtera jadi dambaan setiap orang. Untuk meraih kesehatan fisik, kita perlu menaruh perhatian pada kesehatan jiwa. Hal ini tidak hanya terkait masalah manajemen orang dengan gangguan jiwa, tetapi berkaitan dengan kualitas hidup, produktivitas, dan wajah generasi masa depan anak bangsa.
Di masa pandemi Covid-19, kesadaran untuk mulai memerhatikan masalah kesehatan jiwa mulai mendapat tempat. Kesadaran perlunya mengarusutamakan kesehatan jiwa pun muncul di dalam keluarga, sekolah, dunia kerja, dan kehidupan sehari-hari. Dengan membangun sistem kesehatan jiwa yang baik, berarti mengupayakan kualitas hidup yang lebih baik, lebih maju dan produktif.
Ketua Center for Public Mental Health (CPMH), Fakultas Psikologi, Universitas Gadjah Mada, Diana Setiyawati, yang dihubungi dari Jakarta, Jumat (7/7/2023), mengatakan, kesehatan jiwa menjadi urusan semua orang, termasuk kelompok lanjut usia (lansia). Meskipun bermain dengan cucu, misalnya, para lansia juga bisa beresiko mengalami kesepian karena tapi tidak nyambung.
Ketika nalar tidak jalan, sesorang menjadi tidak mampu berpikir dan membuat keputusan. Kesehatan mental pun jadi rapuh.
Sementara di kalangan anak muda, ujar Diana, gangguan depresi makin banyak ditemukan. Salah satu perilaku yang cukup menonjol ialah menyakiti diri sendiri akibat depresi. ”Gempuran bagi generasi muda sekarang ini luar biasa. Pascapandemi Covid-19, masalah kesehatan mental juga disorot terkait dengan perkembangan dunia digital,” ujar Diana.
Sila baca buku ini: Psikologi Positif
Pengaruh dunia digital
Terkait dunia digital ini, Pusat Studi Kesehatan Mental UGM, mulai 12-26 Juli nanti menggelar seri kuliah daring musim panas (online summer lecture series) 2023 bertema Kesehatan Mental di Dunia Digital. Secara umum, orang-orang kini selalu terhubung, bahkan berlebihan dengan dunia digital. Relasi yang sudah terjalin di dunia nyata, juga terus terhubung di dunia maya.
”Apa pun jadi tahu tentang orang lain, selalu terhubung dengan yang dilakukan orang lain. Bahkan, sampai orang lain makan soto pun tahu karena diposting di media sosial,” ujar Diana.
Diana menuturkan, keterhubungan yang berlebihan dengan media sosial dapat memengaruhi kesehatan mental. Ada kliennya anak muda laki-laki, katanya, yang terobsesi menjadi cowok macho. Saat melihat melihat foto laki-laki muda dengan penampilan yang gagah di depan mobil yang dilihatnya di media sosial, muncul gangguan psikomastis yang membuat rasa cemas berlebihan sehingga dia bisa puluhan kali tiap hari menimbang badan.
Di era digital ini, kesehatan mental remaja dapat menjadi berbahaya jika mereka hidup dengan pendampingan pengasuhan orangtua yang tidak sesuai dengan tumbuh kembang mereka. Sebab, di era digital ini, keterampilan sosial media memberikan berbagai macam informasi jauh lebih cepat dan beragam dibandingkan orangtua. Bahkan, dengan algoritma semakin disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan tiap orang.
Banyak anak yang menghabiskan waktu lebih lama di media sosial atau online daripada dunia nyata dan orangtua. Akibatnya, konsep-konsep yang tidak benar bisa diyakini benar dan nyata adanya.
Baca juga: Jaga Kesehatan Mental Anak Muda Indonesia
Banyak anak muda yang di rumah jarang ngobrol dengan orangtua. Namun, bisa dengan leluasa mengeluarkan sumpah serapah di dunia maya, seperti Twitter.
Kini, makna kesuksesan di kalangan anak muda bisa lebih kompleks dibandingkan generasi sebelumnya. Sebagai contoh, di masa dulu bayangan sukses terbatas ingin seperti BJ Habibie yang terkenal sebagai ilmuwan pembuat pesawat terbang. Di masa tersebut, informasi cita-cita masih terbatas.
Berbeda di zaman digital ini, makna kesuksesan tergantung apa yang dilihat di media sosial. Ada yang mau jadi artis atau punya Rp 100 juta pertama di usia 20 tahun atau Rp 1 miliar pertama di usia 30 tahun.
”Banyak sekali isu yang berkembang dengan dunia digital yang sebelum pandemi kita anggap disrupsi. Sekarang bukan disrupsi lagi, tetapi ya sudah jadi bagian hidup. Banyak hal positif, tetapi banyak juga negatif, salah satunya FOMO, merasa cemas karena punya parmameter salah dari dunia maya, tidak tahu benar salah,” kata Diana.
Secara terpisah, pendiri Yayasan Semai Jiwa Amini (Sejiwa), Diena Haryana, mengatakan, masalah kesehatan mental yang mencemaskan di kalangan remaja saat ini yaitu munculnya adiksi internet atau adiksi gawai. Di awal tahun 2020 ketika awal pandemi, berdasarkan penelitian Klinik Adiksi RSCM-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dari riset di 34 provinsi, hampir 20 persen remaja menunjukkan adiksi internet. Satu dari lima remaja mengalami kecanduan internet. Remaja laki-laki lebih banyak kecanduan gim online, sedangkan yang perempuan kecanduan media sosial.
Remaja yang adiksi, khususnya internet, menjadi terdiskoneksi atau terlepas dari lingkungan dekat (keluarga dan teman-teman), juga terdiskoneksi dari kesukaan sebelumnya. ”Minat-minat yang dimiliki sebelumnya terlupakan, otak hanya terfokus pada gawai. Dia jadi penyendiri karena tidak bisa lepas dari gadget. Lapar juga tidak terasa. Bahkan, sampai ada yang tidak sadar pipis di celana,” kata Diena.
Jika remaja sudah adiksi, nalar sudah tidak jalan. Fisik yang seharusnya bergerak, tidak semangat untuk bergerak. Ketika nalar tidak jalan, sesorang menjadi tidak mampu berpikir dan membuat keputusan. Kesehatan mental pun jadi rapuh.
Baca juga: Menjauhkan Remaja dari Kecanduan Gawai
Diena mengatakan, dalam rangka mewujudkan sosok remaja dan semua orang yang wellbeing di era digital, Sejiwa terus mengampanyekan resep PCE (play, connect, dan explore). Sebagai sosok seorang manusia, tetap butuh bermain (play) dan olahraga atau kegiatan fisik lainnya. Manusia juga butuh terhubung (connect) dengan masih bisa mengobrol, mendengarkan, dan masih menyambung saat berinteraksi dengan orang lain di sekitarnya. Lalu, menjelajahi sekeliling (explore), entah hobi, alam, atau hal lain.
”Kampanye PCE ini mengajak semua orang untuk benar-benar merasakan hidup yang sesungguhnya. Jangan hanya hidup dengan gawai. Jika terus melakukan PCE nalar jadi sehat, fisik juga sehat karena tidak duduk atau di tempat tidur terus. Ekspresi manusia bisa berfungsi baik kalau berkomunikasi dengan orang lain,” kata Diena.
Ketidaksanggupan mengontrol diri dalam penggunaan gawai bisa membuat tidur terganggu. Kesehatan mental juga terganggu karena mood yang terus-menerus negatif akibat kurang tidur. Jika terjadi dalam usia pertumbuhan, dapat memengaruhi perkembangan otak. Anak yang tidak bergerak akan mengalami degradasi atau penurunan kualitas kerja otak.
”Lalu nalar tidak jalan, ketidakmampuan terkoneksi dengan masalah dunia. Ya, kualitas hidupnya sangat berkurang, mudah emosional, marah, sedih, karena kondisinya tidak baik. Bagaimana kita berharap generasi dengan wellbeing jika ini yang terjadi? Sebaliknya, jika mood selalu baik, terkoneksi dengan manusia di sekitar dan melakukan banyak hal, hidup jadi bersemangat,” kata Diena.
Layanan digital
Ketika kesadaran tentang kesehatan mental dipicu dari perbincangan yang terjadi di dunia digital, pemanfaatan layanan secara digital semestinya juga makin baik. Banyak manfaat positif dari digital dengan telehealth dan kesadaran orang meningkat pada masalah kesehatan mental, tetapi pemerintah dinilai belum banyak memanfaatkan untuk membangun sistem layanan kesehatan jiwa.
”Akhirnya bergantung pada komunitas atau siapa saja yang peduli. Namun, tidak sedikit yang miskonspesi atau konsep-konsep yang disampaikan belum tentu benar,” kata Diana.
Baca juga: Dunia Pendidikan Mulai Tak Berjarak dengan Isu Kesehatan Mental
Di era serba digital, kata Diana, pemerintah dan komunitas ahli kesehatan mental harus lebih semangat dan sistemik memanfaatkan teknologi untuk menjadi saluran yang menyediakan layanan kesehatan mental dan memberi edukasi yang benar. Jangan sampai kalah dengan pihak lain yang belum tentu menyampaikan konsep benar hanya karena disampaikan oleh orang yang populer/ternama, tetapi bukan ahlinya.
Sebagai contoh, di UGM disiapkan chatbot robot yang bisa jadi garda depan unutk mahasiswa yang perlu bantuan, butuh, curhat, hingga yang merasa mau bunuh diri. Layanan aplikasi Lintang Bot ini memanfaatkan teknologi robot dengan kecerdasan buatan. Siapa pun bisa chatting dulu. Nanti kalau robot memutuskan perlu pertolongan, maka akan direkomendasikan bertemu dengan psikolog atau konselor.
Diana mencontohkan, istilah-istilah yang kini popular di jagat maya terkait kesehatan mental. Salah satunya pembahasan tentang toxic parenting. Sebenarnya yang perlu diperkuat yaitu konsep yang benar tentang bagaimana remaja berhubungan atau berhadapan dengan orangtua dan sebaliknya.
“Namunn kini lebih berkembang jadi label yang tumbuh di media sosial dan viral. Sebaiknya pihak-pihak yang bertanggung jawab, terutama pemerintah, memanfaatkan teknologi digital sebagai layanan kesehatan,” kata Diana.
Ada juga istilah healing atau self love yang tren di kalangan anak muda dan masyarakat. ”Sebenarnya oke saja, jangan berlebihan. Tetapi kalau mudah untuk healing, nanti jadi rapuh. Jangan misalnya lagi ada banyak tugas yang dirasa sulit, lalu mengatakan butuh healing. Harus ada konsep jelas untuk mampu mengatasi atau coping menghadapi tumpukan tugas yang banyak. Orang perlu diajar untuk paham mengelola emosi,” ujar Diana.
Baca juga: Platform Digital untuk yang ”Kena Mental” Bermunculan
Hal lain seperti inner child, juga banyak beredar. ”Ada cerita klien, suami memukuli dirinya. Ketika si istri protes, suami bilang itu karena inner child di dalam dirinya. Si istri terus memaklumi. Ini kan jadi orang menangkapnya sepotong-sepotong,” ujar Diana.
Selain itu, di tingkat layanan kesehatan primer seperti puskesmas juga perlu menyediakan layanan psikolog. Akses yang mudah dan murah membuat masyarakat bisa mendapatkan layanan pada professional secara tepat.
Adanya psikolog di puskemas untuk promosi prevensi dan kurasi. Kehadirannya tidak hanya untuk memberikan konseling tetapi melakukan promosi dengan meningkatkan literasi kesehatan mental kepada orangtua, ibu-ibu PKK, dan membuat program yang sifatnya mencegah. Dengan demikian, masyarakat benar-benar bisa memanfaatkan layanan jika sudah merasa terganggu produktivitasnya dan memerlukan pertolongan ahlinya.
Di tahun 2021, Yayasan Kemitraan Indonesia Sehat (YKIS) bersama CPMH Fakultas Psikologi UGM, dengan dukungan dari Unicef, membantu Kementerian Kesehatan untuk memetakan kondisi sistem kesehatan jiwa Indonesia. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memberikan rekomendasi prioritas pembangunan. Penelitian melibatkan dinas kesehatan kabupaten/kota se-Indonesia.
Beberapa hal yang dapat disimpulkan, yaitu ada faktor-faktor yang secara umum dapat memperbesar resiko pengembangan gangguan jiwa, antara lain kemiskinan dan pendidikan yang rendah, atau lebih tepatnya literasi kesehatan jiwa yang rendah. Hal ini erat berhubungan atau dapat mengakibatkan pola asuh orangtua yang tidak berorientasi pada kesejahteraan psikis anak. Kekerasan terhadap anak di rumah menjadi salah satu resiko besar. Kekerasan antaremaja dan bullying di sekolah juga merupakan faktor resiko lainnya. Kemudian semua hal itu dapat berhubungan atau meninggikan resiko bunuh diri.
Baca juga: Bahagia Menjadi Diri Sendiri
Diana mengatakan, orang sehat mental utamanya dipengaruhi peran keluarga. Sebab, dari banyak fungsi keluarga, funsgi memberikan kebutuhan psikis yang dasar bagi anaknya, yakni dicintai apa adanya, ingin diterima, dan dihargai, sangat bermakna besar. Ketika komunikasi di dalam keluarga di rumah tidak terbangun dengan nyaman, mendalam, dan hangat yang membuat remaja merasa aman bercerita apa saja pada orangtua, si remaja jadi lebih mudah terbawa ke media sosial.
”Punya keluarga yang bisa menjadi penyeimbang, membuat para remaja yang rujukannya ke media sosial, bisa kembali ke keluarga. Sebab, di dunia maya terkadang benar salah bukan memakai paradigma benar salah tetapi karena algoritma. Itulah sebabnya anak-anak sekarang dijuluki generasi stroberi atau rapuh karena mudah disetir,” kata Diana.
Diana mengatakan, kesenjangan masih cukup kentara dalam literasi kesehatan mental antarorang-orang yang bergerak di sistem kesehatan di berbagai wilayah Indonesia. Aturan dan distribusi bantuan terkait dukungan untuk tenaga kesehatan jiwa belum merata, baik berupa pendanaan maupun fasilitas/infrastruktur (termasuk pemerataan rumah sakit jiwa/RSJ).
Akses bantuan ke puskesmas terdekat bagi masyarakat terkadang masih sulit dan mahal di beberapa wilayah di Indonesia. Begitupun belum semua puskesmas di wilayah Indonesia memiliki pelayanan kesehatan jiwa karena minimnya sumber daya manusia yang terlatih dan kompeten dalam kesehatan jiwa.