Menjauhkan Remaja dari Kecanduan Gawai
Situasi pandemi Covid-19 membuat penggunaan gawai meningkat pesat. Jika tidak dikontrol dengan baik, anak-anak dan dewasa muda rentan terjerat pemakaian gawai berlebihan hingga memicu persoalan kesehatan mental.
Tanpa diduga, situasi pandemi Covid-19 yang melanda dunia membuat semua orang harus berinteraksi melalui internet. Sebagian besar aktivitas pun membutuhkan gawai untuk belajar, bekerja, hiburan, dan banyak urusan lain. Tiada hari tanpa berselancar di dunia maya.
Pada awal pandemi, bandwith internet menjadi lebih tinggi. Penetrasi internet di Asia meningkat, termasuk Indonesia. Penggunaan internet di Indonesia tertinggi ke-8 di dunia, sedangkan penggunaan media sosial ke-9 di dunia.
Oleh karena itu, menemukan keseimbangan dari penggunaan gawai menjadi penting. Ibarat pisau bermata dua, pemakaian gawai memiliki dampak positif, tetapi di sisi lain memiliki dampak negatif. Akan tetapi, sebagian orang belum dapat melakukan hal itu.
Anak-anak usia remaja dan dewasa muda yang berada dalam tahap pencarian jati diri menjadi salah satu kelompok yang bisa terseret pada penggunaaan gawai berlebihan. Hal itu pada akhirnya bisa menggiring remaja dan dewasa muda kecanduan atau adiksi gawai dan internet.
Baca juga : Kecanduan Internet pada Anak Sama Buruknya dengan Kecanduan Narkoba
”Bukan tidak boleh remaja menggunakan internet, karena ini sarana yang menyenangkan. Namun, itu harus dimainkan secara terkontrol,” kata Kristiana Siste dari Klinik Adiksi Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo, Jakarta.
Kristiana menyampaikan hal itu dalam acara peluncuran program Jauhkan Adiksi Gawai Optimalkan Potensi Anak (Jagoan) yang digagas Yayasan Sejiwa. Klinik Adiksi ini khusus untuk mengatasi kecanduan internet, gim, judi online, narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, hingga pornografi.
Kencaduan internet terjadi ketika seseorang menggunakan internet secara berlebihan. Seseorang yang mengalami kecanduan tersebut tidak bisa melepaskan pikiran dari penggunaan internet secara terus-menerus dan akhirnya membuat masalah dalam kehidupannya.
Beberapa persoalan yang muncul, antara lain, perilaku agresif, depresi karena tidak mau kalah dari orang lain, atau unggahan di media sosial tidak disukai, masalah relasi dengan orangtua, makan di kamar, hingga melalaikan sekolah.
Kecanduan internet ini menjadi salah satu masalah kesehatan jiwa yang perlu diperhatikan serius di kalangan para remaja. Apalagi, Indonesia yang menggaungkan generasi emas bangsa 2045 tentu hanya bisa diwujudkan dengan anak-anak muda yang sehat fisik dan mental. Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa.
”Masalah kesehatan jiwa di era digital di kalangan anak-anak muda seperti remaja, salah satunya kecanduan gawai atau kecanduan internet,” tuturnya.
Baca juga : Meminimalkan Candu Selancar Gawai
Berdasarkan penelitian Klinik Adiksi RSCM-Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia pada remaja di DKI Jakarta pada 2019, sekitar 31,4 persen remaja di Jakarta mengalami adiksi internet. Sebanyak 70 persen di antaranya menggunakan internet lebih dari 20 jam per minggu dan sekitar 96 persen mempunyai gawai sendiri. Sebanyak 90 persen remaja mengakses dari rumah.
Pada awal tahun 2020 ketika pandemi, riset dilakukan di 34 provinsi pada 3.000 remaja dan 5.000 orang dewasa muda. Hasilnya menunjukkan adiksi internet pada remaja hampir 20 persen. Satu dari lima remaja mengalami kencanduan internet. Remaja laki-laki lebih banyak kecanduan gim online, sedangkan yang perempuan kecanduan media sosial.
Dibiarkan
Kecanduan adiksi internet berdampak pada kemampuan kerja otak, fisik, hingga perilaku. Seringkali hal itu terjadi karena niat baik orangtua untuk memberikan fasilitas belajar yang baik kepada anaknya, perlengkapan teknologi digital dan jaringan internet disediakan optimal di rumah. Namun, orangtua tidak menyadari hal itu bisa memicu kecanduan gawai jika tidak ada kontrol.
Kristiana mengisahkan, ada pasien anak laki-laki berusia 18 tahun datang dibawa orangtuanya ke Klinik Adiksi RSCM. Sang anak bermain gim online selama 18 jam sehari di kamarnya.
Orangtua sang anak tersadar anaknya kecanduan internet saat ada teguran dari sekolah. Sang anak ternyata tidak mengumpulkan tugas selama empat bulan. Saat belajar secara daring atau dalam jaringan, sang anak ternyata juga sembari membuka laman gim daring sehingga urusan sekolahnya terbengkalai.
Sang anak menyakiti diri kalau kalah dengan membenturkan kepala ke tembok atau memukul tubuhnya. Dia juga banyak menghabiskan uang untuk membeli aksesori gim. Bahkan, orangtua pernah kehilangan uang hingga puluhan juta rupiah dari rekening orangtua yang PIN-nya diberitahukan kepada anak.
Baca juga : Anak, Orangtua, dan Jeratan Gawai
”Anak ini awalnya tidak mengaku uang tersebut untuk apa. Kami selalu minta pasien untuk membawa laptop (komputer jinjing) dan gawai. Sang anak ternyata membeli virtual money diamond untuk meningkatkan kemenangan ketika bermain gim,” kata Kristiana.
Perilaku anak makin agresif sampai membanting komputer jinjing saat kalah bermain gim. Orangtua yang bingung dan ketakutan malah meninggalkan rumah saat anaknya mengamuk.
Karena kebingungan dengan perilaku anaknya, orangtua akhirnya membawa anak tersebut berobat. Awalnya, orangtua juga bingung bagaimana cara membawa anaknya ke rumah sakit karena anak tidak mau keluar kamar. Ada perasaan takut distigma ”criminal” jika meminta bantuan petugas keamanan.
Ada juga orangtua yang datang karena anaknya sudah berlebihan dalam membeli aksesori untuk gawai. Dengan alasan mau menjadi youtuber atau ingin menjadi selegram, si anak terus membeli berbagai aksesori. Sebab, saat menayangkan konten, yang suka atau klik like sedikit. Dia beralasan alat-alatnya tidak canggih dan selalu membutuhkan yang terbaru.
Kristiana menjelaskan, kewaspadaan pada kecanduan internet di usia remaja ini harus dipahami orangtua. Internet akhirnya membawa simplikasi dalam hidup, konektivitas, hingga monetitasisi atau meraup pendapatan.
Remaja merasa tidak ada masalah di kamar karena bisa banyak teman hingga mancanegara dan bangga mempunyai banyak teman di media sosial. ”Penelitian kami, 7 dari 10 remaja perempuan menggunakan internet untuk media sosial, sedangkan remaja laki-laki 9 dari 10 menggunakan internet untuk gim daring,” kata Kristiana.
Memahami gejala
Keseharian remaja yang tak lepas dari gawai dan internet tetap perlu dicermati para orangtua. Untuk mencegah kecanduan internet, orangtua harus memastikan anaknya menghabiskan waktu untuk keperluan gim, hiburan, dan media sosial tidak lebih dari 3 jam per hari. Jika ditambah belajar daring, total waktu di dunia maya untuk hiburan dan belajar kurang dari 11 jam.
Orangtua perlu mulai curiga anaknya kecanduan internet jika sang anak kehilangan kontrol, dan merasa mau berhenti, tetapi tidak bisa. Durasi bermain gim meningkat, mulai bermain internet hingga dini hari, dan saat jadwal sekolah malah tidur. Selain itu, konten yang diakses meningkat, misalnya dari casual games ke battle arena dan membeli banyak aksesori.
Ketika anak lebih memprioritaskan bermain gim atau internet hingga enggan beranjak dari kamar, orangtua perlu waspada. Anak yang menjadikan kamar ”istana” dan beraktivitas di kamar, termasuk makan, hal itu menjadi penunjuk awal kecanduan.
Kecanduan gawai juga terlihat dari perubahan perilaku dan fisik. Anak bisa mengalami obesitas karena terus duduk atau mengalami malanutrisi akibat mengonsumsi banyak makanan instan, bahkan ada yang lupa makan, emosi tidak stabil, mengalami depresi, ataupun mudah meledak.
Orangtua perlu memahami ada faktor risiko yang perlu diwaspadai yang dapat membuat anak mudah menjadi adiksi internet. Individu, yang memiliki masalah emosi dan perilaku seperti depresi, cemas, mengonsumsi narkotika, psikotropika, dan zat adiktif lainnya, agresif, dan fobia sosial cenderung lebih mudah mengalami kecanduan internet.
Penggunaan internet lebih dari tiga 3 sehari untuk permainan daring atau media sosial. Jika lingkungan pola asuh orangtua terlalu dominan atau longgar, ataupun orangtua memperbolehkan anak menggunakan internet dan memiliki gawai sendiri di usia di bawah 8 tahun, risiko kecanduan makin tinggi.
”Secara psikologi media sosial, gim daring dibuat menarik. Ada otonomi tinggi pada anak mau memilih. Padahal, dalam kehidupan sehari-hari, misalnya, untuk milih warna baju saja, kadang dikomentari ornagtua,” kata Kristiana.
Pencegahan di rumah
Enjeline Hanafi dari Klinik Adiksi RSCM-FKUI Jakarta memberikan sejumlah tips untuk mencegah kecanduan internet selama pandemi. Sebab, pandemi yang sudah hampir dua tahun ini membatasi ruang gerak remaja yang aktif untuk beraktivitas di luar rumah. Akibatnya, kebutuhan menggunakan internet semakin tinggi.
Orangtua dan remaja bisa membuat jadwal untuk belajar, bekerja, hingga bersosialisasi secara rinci. Sebelum pandemi, rumah identik untuk bersantai, mengerjakan pekerjaan rumah.
Namun, kini, semua aktivitas dari rumah. Akibatnya, berkomunikasi dengan orangtua menjadi ”kabur”. ”Perlu ada kejelasan sehingga anak tidak bingung dan terbantu dengan membagi tempat dan waktu beraktivitas,” kata Enjeline.
Dalam menyusun jadwal, pastikan anak tidur cukup dan berolahraga teratur selama 30 menit per hari dengan intensitas ringan. Selain itu, sempatkan waktu bersosialisai dan beraktivitas dengan teman atau keluarga secara daring atau luar jaringan. Stres bisa diatasi dengan membaca, mendengarkan musik, meditasi, dan lainnya. Jangan lupa mencari informasi dan berita tentang pandemi dari sumber tepercaya.
Menurut Enjeline, banyak kasus anak-anak menjadi kecanduan gawai karena merasa bosan di rumah dan tidak ada teman bercerita. ”Jadi, menyempatkan menyapa anak dan bertanya penting bagi anak. Harus ada bahan pembicaraan yang bisa membuat orangtua mengetahui kondisi anak,” kata Enjeline.
Kecanduan gawai di rumah juga bisa dicegah dengan orangtua menjadi panutan atau contoh dalam membatasi penggunanan internet, mematikan notifiaksi ketika bersama anak, atau tidak memakai gawai ketika bersama anak.
Bisa juga dengan mengatur tempat dan waktu penggunaan media sosial atau gim daring sehingga orangtua mengetahui apa yang dilakukan anak. ”Ada orangtua yang laptopnya hanya bisa dipakai di ruang tengah. Kalau sudah selesai, dikunci. Sesuaikan dengan kesepakatan anak dan orangtua,” kata Enjeline.
Selain itu, tidak menggunakan gawai bisa menjadi hadiah atau hukuman, bisa juga sebagai penenang anak, dengan tetap ada batasan menggunakan gawai. Pastikan jadwal kegiatan harian anak teratur.
Selain itu, perlu pengasuhan orangtua yang otoritatif, yang mengajak anak berdiskusi, beropini, bernegoisasi, dan memahami anak. Orangtua perlu memastikan anak disayang secara wajar dan memberi teladan dalam kehidupan sehari-hari.
Orangtua juga bisa membuat kesepakatan tertulis tentang penggunaan internet. Dalam satu hari mau berapa jam, pada jam berapa bisa menggunakan gawai, hingga setelah itu melakukan tugas. ”Intinya harus detail. Anak remaja bisa diminta menandatangani kesepakatan antara orangtua dan anak,” kata Enjeline.
Tak kalah penting, bisa dicoba program detoksifikasi digital. Sebagai contoh, berpuasa main gim daring selama satu hari atau minggu, ataupun mematikan notifikasi. Sebagai gantinya, cari kegiatan lain yang bisa dilakukan bersama keluarga.