Kecanduan Internet pada Anak Sama Buruknya dengan Kecanduan Narkoba
Gawai dan internet sudah jadi kebutuhan dalam aktivitas keseharian kita, termasuk anak-anak. Namun, penggunaan gawai dan internet berlebih bisa menimbulkan kecanduan yang berdampak buruk pada kesehatan.
Penggunaan gawai dan internet semakin intens di masa pandemi Covid-19. Waktu yang dihabiskan anak-anak untuk menggunakan gawai pun semakin meningkat dari untuk belajar hingga hiburan. Akan tetapi, di sisi lain penggunaan gawai yang sudah semakin jadi kebutuhan hidup sehari-hari dikhawatirkan dapat menimbulkan kecanduan internet pada anak.
Sayangnya, sering kali orangtua mempertanyakan kemungkinan terjadinya adiksi gawai dan meragukan bahwa kecanduan internet punya dampak yang dahsyat pada anak. Malah terkadang, orangtua sendiri tanpa sadar memfasilitasi anak-anak mereka dengan gawai dan aksesorinya dengan alasan agar tidak tertinggal di era disrupsi teknologi digital sekarang.
”Ada lho, orangtua yang bilang. Dokter, tidak apa-apa anak saya kecanduan gawai daripada kecanduan narkoba, kan, lebih berbahaya,” kata ahli Adiksi Perilaku dan Kepala Departemen Psikiatri Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia-RSCM Kristiana Siste dalam acara peluncuran ”Jauhkan Adiksi Gawai, Optimalkan Potensi Anak (Jagoan)” yang digelar Yayasan Sejiwa, Sabtu (2/10/2021).
Yayasan Sejiwa meluncurkan Gerakan Jagoan didukung Kementerian Komunikasi dan Informatika, SiberKreasi, Komisi Perlindungan Anak Indonesia, Pusat Penguatan Karakter Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, serta 47 mitra seluruh Indonesia. ”Kami ingin menyelamatkan anak-anak Indonesia dari kecanduan gawai yang saat ini kondisinya sudah sangat kritis,” ujar pendiri Yayasan Sejiwa, Diena Haryana.
Diena berharap gerakan ini dapat melahirkan generasi yang unggul dan tangguh. ”Kita punya janji untuk menjaga Indonesia. Tugas kita adalah meyakinkan bahwa para penerus kita adalah sosok-sosok yang unggul dan tangguh menjadi bangsa besar menuju Indonesia maju. Kita punya tanggung jawab besar untuk mengatasi adiksi gawai ini bersama-sama,” kata Diena.
Menurut Siste, orang dengan kecanduan internet mengalami perubahan di otaknya, yaitu konektivitas fungsional otak antara area parietal lateral dan korteks prefrontal lateral menurun. Akibatnya, orang tersebut sulit membuat keputusan, sulit konsentrasi dan fokus, pengendalian diri buruk, prestasi menurun, penurunan kapasitas proses memori, serta kognisi sosial negatif.
Jika dampak kecanduan itu tidak segera diobati bisa terjadi demesia di usia dini. Jika dewasa, memori jadi terganggu, tidak bsa mengendalikan diri, dan tidak bisa mengambil keputusan secara tepat. Pada akhirnya, mereka tidak tumbuh menjadi orang dewasa yang sehat mental dan fisik. Fungsi otaknya akan mengalami banyak gangguan. Dampak lainnya adalah obesitas, gangguan mata, kelelahan, agresif , merasa kesepian sangat kuat, serta hubungan dengan teman dan orangtuanya terganggu.
”Dampaknya sama, adiksi internet dan adiksi narkoba merusak otak. Penelitian 2019, pada remaja yang adiksi internet, kerusakan otaknya ada. Adiksi internet juga menghabiskan uang besar untuk paket data ataupun games online. Ada pasien remaja yang juga sampai mengambil uang orangtuanya hingga puluhuan juta. Mirip dampaknya dengan narkoba,” ujar Siste.
Dari penelitian yang dilakukan Siste dan tim pada tahun 2019 di Jakarta, 31,4 persen remaja kecanduan internet. Penggunaan internet lebih dari 20 jam per minggu dilakukan 67,2 remaja dan 96,9 persen mengakses melalui telepon pintar (smartphone), serta 91,1 persen mengaksesnya di rumah. Akibatnya, 56,3 persen remaja memiliki masalah perilaku dan 48,2 persen memiliki masalah depresi.
Pada masa pandemi Covid-19, kecanduan internet justru semakin tinggi. Internet menjadi hiburan yang paling menyenangkan di rumah saat mobilitas di luar rumah dibatasi. Pada awal 2020 ketika pandemi berlangsung, riset dilakukan melibatkan 3.000 partisipan remaja, 5.000 partisipan dewasa muda dari 34 provinsi. Hasilnya, adiksi internet pada remaja 19,3 persen atau 1 dari 5 remaja kecanduan internet. Waktu yang dihabiskan memainkan gawai daring atau screen time naik dari 7,27 jam menjadi 11,6 jam atau naik 59 persen.
Adiksi internet pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan pada perempuan. Anak laki-laki lebih banyak memainkan gim daring, sedangkan perempuan lebih banyak berselancar di media sosial.
Ada lho, orangtua yang bilang. Dokter, tidak apa-apa anak saya kecanduan gawa, daripada kecanduan narkoba, kan, lebih berbahaya
”Kondisi ini tentu perlu menjadi perhatian semua orang, baik dari pemerintah, tenaga kesehatan, lembaga masyarakat, sekolah, orangtua, maupun remaja dan dewasa muda itu sendiri. Hal ini harus diintervensi segera karena kecanduan internet menimbulkan dampak negatif bagi otak, fisik, kesehatan jiwa, dan sosial,” ujar Siste.
Menurut Siste, untuk mencegah kecanduan internet pada remaja, penggunanan internet untuk hiburan tidak boleh lebih dari 3 jam per hari. Kalau dijumlah dengan kebutuhan akademik dan hiburan, penggunaan internet tidak boleh lebih dari 11 jam per hari.
”Lebih dari itu ada risiko kecanduan. Ini bisa jadi pegangan bagi orangtua dan guru. Di masa pembelajaran jarak jauh, guru harus bisa mengatur pembelajaran daring dan juga penugasan yang menggunakan daring dengan terkontrol dan sehat sesuai jumlah waktu maksimal paparan tiap hari,” kata Siste.
Sementara itu, Direktur Pemberdayaan Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika Bonifasius Wahyu Pudjianto mengajak para orangtua dan tenaga pendidik ikut turut serta dalam proses transformasi digital. ”Mari kita dampingi dan arahkan anak-anak agar bisa menjalankan kehidupan yang seimbang, yang akan bisa membuat mereka bertumbuh kembang dengan optimal,” ujar Bonifasius
Kementerian Kominfo bersama mitra jejaring Siberkreasi secara masif juga membangun literasi digital seluruh lapisan masyarakat, termasuk di dalamnya orangtua, tenaga pendidik, dan pelajar, untuk dapat menjadi warganet yang semakin cakap digital.
Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Susanto menyatakan, peran aktif orangtua untuk memastikan anak menggunakan media digital secara proporsional, sehat, dan positif sangat penting. Hal ini untuk menjaga agar anak tidak rentan terpapar dampak negatif media digital. KPAI juga terus mendorong pemerintah agar memastikan semua platform media menyesuaikan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan memastikan proteksi terhadap anak sebagai pengguna sehingga usia anak tidak rentan terpapar konten negatif.
”Kami sangat mengapresiasi Sejiwa sebagai bagian dari civil society dan seluruh mitra atas inisiatif meluncurkan program Jagoan ini,” kata Susanto.
Baca juga: Sejak Usia Berapa Anak Boleh Memegang Gawai Sendiri
Pemerhati pendidikan dan pakar pendidikan karakter Doni Koesoema A menyatakan, keseimbangan hidup dalam menyelaraskan antara dunia digital dan nyata menjadi dasar dari pertumbuhan individu yang baik dan sehat. Dunia digital adalah bagian dari hidup anak-anak Indonesia saat ini. Meskipun sebagai alat, teknologi digital sudah menjadi bagian hidup dan eksistensi manusia. Maka, para guru perlu mendidik anak-anak Indonesia pada satu dunia yang utuh. Bukan memisahkan antara digital dan real.
”Anak-anak perlu dilatih menggunakan gawai demi kebaikan, pengembangan diri, pertumbuhan karakter, dan pengembangan nilai-nilai luhur yang akan menjadikan mereka sebagai anak Indonesia yang sehat, cerdas, dan berbudi pekerti luhur,” kata Doni.
Psikolog anak dan remaja Novita Tandri mengatakan, akses pada gawai tanpa kontrol orangtua membuat anak-anak rentan terpapar situs pornografi. Kondisi ini bisa menggiring anak masuk ke komunitas LGBT lalu menjadi agnostik atau ateis.
”Anak-anak perlu kita ajarkan untuk punya kecerdasan eksistensi sehingga tahu apa tujuan hidup. Jika tidak mendapatkan panutan yang jelas, citra diri tidak dibangun dan tidak tahu kebahagiaan yang dicari, jadi mudah terseret ke negatif dari dunia maya,” kata Novita.
Lihat juga: Jebakan Gawai pada Anak Balita Kala Pandemi
Ketua Umum Gerakan Nasional Literasi Digital Siberkreasi Yosi Mokalu mengatakan, transformasi digital semakin cepat karena pandemi. Kecakapan literasi digital dibutuhkan, demikian pula pengasuhan orangtua yang paham dengan dunia digital harus diperkuat sehingga dapat mendampingi anak-anak.
Yosi mengatakan, ada dua hal penting yang diberikan kepada anak di era digital, yakni sistem penyaringan (nilai-nilai dari keteladanan, ajaran di rumah) dan sistem pertahanan (menguatkan identitas sehingga merasa nyaman dan aman menceritakan kepada orangtua saat menghadapi serangan atau upaya tidak baik dari dunai maya).
Risiko kecanduan
Siste mengatakan tidak mungkin melarang sama sekali penggunaan gawai kepada anak dan remaja. Yang penting adalah pastikan mereka menggunakan secara sehat dan terkontrol. Semua elemen, mulai dari pemerintah, sekolah, guru, orangtua/ keluarga, hingga layanan kesehatan, sama-sama paham dan mematuhi regulasi.
Ada faktor risiko kecanduan internet pada remaja Indonesia sebelum Covid-19. Pada individu, pengaruh masalah dan emosi perilaku, seperti depresi, cemas, menggunakan Napza, agresif, dan fobia sosial. Adapun penggunaan internet dengan waktu bermain gim daring/media sosial lebih dari 3 jam per hari serta tujuan penggunaan internet lebih untuk permainan daring atau media sosial. Adapun lingkungan yang berkontribusi adalah pengaruh pola asuh orangtua yang telalu dominan atau longgar serta orangtua yang memperbolehkan anak usia di bawah 8 tahun menggunakan internet.
Di masa pandemi Covid-19, faktor risiko kecanduan internet pada remaja Indonesia rentan pada mereka yang memiliki masalah emosi, masalah perilaku, perilaku sosial buruk, gangguan tidur, serta usia pertama kali menggunakan intenet.
Baca juga: Candu Gawai dan Merenggangnya Relasi Sosial
Ada fenomena terkait kecanduan internet, yakni FOMO (fear of missing out), merasa harus mengetahui dan/atau mengikuti semua tren kekinian, status update, dan informasi lainnya. Remaja rentan karena tekanan teman sebaya. Adapula phantom vibration syndrome merupakan fenomena sensasi getaran gawai walau nyatanya tidak ada getaran tersebut. Lalu, phubbing atau phone + snubbing, fenomena di mana individu mengabaikan interaksi dunia nyata untuk interaksi sosial dalam dunia maya melalui gawainya.
Mencegah kecanduan
Enjeline Hanafi dari FKUI-RSCM mengatakan, untuk mencegah kecanduan internet selama pandemi bisa dilakukan dengan membuat jadwal bekerja, belajar, aktivitas santai, dan bersosialisasi secara detail. Tidur cukup dan olahraga teratur, menyempatkan waktu bersosiaisasi dan beraktivitas dengan teman atau keluarga secara daring/luring, mengatasi stres dengan membaca, mendengarkan musik, meditasi, dan lainnya. Mencari informasi dan berita mengenai pandemi dari sumber tepercaya.
”Anak jangan dibiarkan selalu dalam kamar, melakukan semua kegiatan di dalam kamar,” ujar Enjeline.
Adapun langkah pencegahan di sekolah dilakukan dengan mengadaptasi PJJ tidak sebatas virtual, tetapi interaktif dan terintegrasi dengan kehidupan nyata. Menerapakan kurikulum kesehatan mental dan siber, memberikan keleluasaan bagi anak dan remaja untuk menggali bakat dan minat. Menyosialisasikan gejala kecanduan internet kepada guru dan orangtua.
Di rumah, orangtua menjadi panutan dengan membatasi penggunaan intenet (media sosial, gim daring), mematikan notifikasi, terutama ketika sedang bersama anak, dan tidak menggunakan gawai ketika sedang berbicara dengan anak. Selain itu, mengatur tempat dan waktu penggunaan media sosial atau gim daring (tidak ketika makan/ sebelum tidur), tidak menggunakan gawai sebagai hadiah/hukuman atau penenang anak. Jadwalkan kegiatan bersama yang meliputi waktu daring (termasuk PJJ dan gim daring), bermain luring (boardgame), membaca, memasak, atau olahraga. Pastikan jadwal kegiatan harian anak teratur.
Perlu detoksifikasi digital bisa dilakukan dengan berpuasa main gim daring selama 1 hari per minggu, cari kegiatan lain yang bisa dilakukan bersama-sama, dan matikan notifikasi.
Gejala kecanduan internet bisa dilihat, antara lain, dari durasi penggunaan internet makin meningkat dan tidak dapat mengontrol. Harusnya waktu tidur, tetapi bermain terus. Konten yang diakses bertambah tinggi.
Lihat juga: Mengalihkan Candu gawai pada Karawitan
Deteksi dini kecanduan internet bisa diakses lewat laman kdai-online.id atau aplikasi KDAI di Google Playstore. Jika skor di bawah 107 ulangi setiap enam bulan. Jika di atas 107, kunjungi dokter umum atau psikiater.
Sementara itu, Asisten Deputi Perlindungan Khusus Anak dari Kekerasan, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak Ciput Eka Purwianti mengatakan belum ada aturan tentang anak yang kecanduan intenet. Jika mengacu pada UU Perlindungan Anak, kondisi anak yang adiksi internet termasuk dalam anak dengan perilaku sosial menyimpang yang perlu mendapatkan perlindungan khusus.
Keluarga dapat mengakses bantuan ke tenaga profesional dengan menghubungi hotline 129. Bisa juga melalui WhatsApp di nomor 08111129129. Konselor akan melakukan asesmen awal. ”Kalau sudah berat, anak segera mendapatkan penjangkauan, ada unit layanan perlindungan perempuan dan anak di daerah. Sudah ada psikolog untuk membantu keluarga yang memiliki anak yang perlu perlindungan khusus yang komprehensif hingga direhabilitasi,” ujar Ciput.