Kurang Dua Tahun Lagi Target Tengkes, Saatnya ”Bunyikan” Komitmen Penurunan dengan Program
Tekad turunkan tengkes kerap terdengar. Komitmen itu semestinya ”dibunyikan” ketika sampai pada soal penganggaran, baik dari sisi serapan maupun efektivitas program. Jangan sampai target 14 persen di 2024 tak tercapai.
Sebuah kabar yang tidak menggembirakan menyeruak di acara Temu Kerja Tim Percepatan Penurunan Stunting atau TPPS di Palembang, Sumatera Selatan, awal pekan ini. Hal ini menyangkut penyerapan anggaran dana alokasi khusus penanganan tengkes pada paruh pertama tahun 2023 yang ternyata masih minim.
Seperti diberitakan Kompas, Selasa (4/7/2023), Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tavip Agus Rayanto pada acara tersebut mengungkapkan, di semester I-2023 pemerintah pusat telah mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus (DAK) nonfisik untuk penanganan tengkes sebesar Rp 1,71 triliun. Namun, dari dana tersebut, jumlah yang terserap hanya 8,83 persen atau sekitar Rp 151,3 miliar.
Mengutip penjelasan Tavip, masih rendahnya serapan anggaran itu berdampak pada belum tercapainya target indikator layanan intervensi spesifik dan sensitif. Dari sembilan indikator layanan intervensi spesifik yang dicanangkan, baru terpenuhi tiga indikator. Adapun dari 11 indikator layanan intervensi sensitif, baru lima di antaranya yang tercapai.
Layanan intervensi spesifik yang belum terpenuhi tersebut semisal pelayanan tambahan asupan gizi bagi ibu hamil yang kekurangan energi kronis, yakni dari target 87 persen baru tercapai 80,6 persen. Peningkatan cakupan layanan tata laksana gizi buruk bagi anak balita juga baru 77,6 persen dari target 87 persen.
Sementara itu indikator layanan intervensi sensitif yang belum tercapai, antara lain, optimalisasi pelayanan keluarga berencana pascapersalinan yang baru 40,8 persen dari target 60 persen. Ketersediaan akses air minum rumah tangga pun baru mencapai 71,2 persen dari target 97,9 persen.
”Tiga bulan kedua itu baru persiapan, pendataan, kemudian KIE atau komunikasi, informasi, dan edukasi, (jadi untuk seputar) kegiatan-kegiatan itu. Jadi, (serapan anggaran di semester I) maksimal itu 20 persen. Baru kemudian 80 persen lebihnya itu di semester II, (yakni) di kuartal III dan IV "
Dana belum tersosialisasi
Menurut Kepala BKKBN Hasto Wardoyo, penyerapan anggaran DAK nonfisik yang rendah lantaran belum tersosialisasikannya keberadaan dana ini. Pemda disebutkan lebih tertarik menyerap DAK untuk pembangunan fisik karena hasilnya langsung terlihat. “Ketika ada rencana pembangunan jembatan atau perbaikan jalan berlubang, pemda langsung melakukan penyerapan anggaran. Itu karena hasilnya langsung terlihat,” kata Hasto.
Kondisi seperti ini tentu tidak semestinya terjadi apabila semua pihak menyadari problem tengkes yang masih dihadapi Indonesia. Apalagi, saat ini ada upaya mempercepat penurunan prevalensi tengkes di Tanah Air.
Ketika dimintai pandangan, Kamis (6/7/2023), Direktur Eksekutif Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia Mohammad Faisal menuturkan, secara umum, realisasi anggaran di semester I rendah dan baru dikebut di semester II. Pada tiga bulan pertama setiap tahun serapan anggaran masih nol.
“Tiga bulan kedua itu baru persiapan, pendataan, kemudian KIE atau komunikasi, informasi, dan edukasi, (jadi untuk seputar) kegiatan-kegiatan itu. Jadi, (serapan anggaran di semester I) maksimal itu 20 persen. Baru kemudian 80 persen lebihnya itu di semester II, (yakni) di kuartal III dan IV, "ujar Faisal.
Serapan DAK nonfisik penanganan tengkes semester I-2023 yang baru Rp 151,3 miliar dari total alokasinya yang Rp 1,71 triliun, menurut Faisal, terlalu rendah karena masih di bawah 10 persen. Kondisi ini menggambarkan ada masalah di sisi perencanaan implementasi kegiatan. “Mestinya, dari sisi planning dan pengelolaan itu harus bisa lebih bagus. Paling tidak 20 persen lah,” katanya.
Menurut Faisal, perencanaan dan pengelolaan yang bagus dibutuhkan karena menyangkut masalah penting dengan anggaran besar. Apalagi, hal yang menjadi target saat ini tidak semata soal penurunan tengkes tetapi juga percepatan penurunan tengkes. Upaya besar dibutuhkan ketika bicara soal percepatan.
“Hal yang lebih menjadi masalah di luar penyerapan anggaran adalah efektivitas anggaran yang dialokasikan untuk percepatan penurunan stunting terhadap hasilnya. Jadi, hasil penurunannya itu terlalu kecil dibandingkan dengan anggaran besar yang dikeluarkan,” kata Faisal.
Hal yang lebih menjadi masalah di luar penyerapan anggaran adalah efektivitas anggaran yang dialokasikan untuk percepatan penurunan stunting terhadap hasilnya. Jadi, hasil penurunannya itu terlalu kecil dibandingkan dengan anggaran besar yang dikeluarkan.
Sebagai gambaran, merujuk data Kementerian Keuangan, pada tahun 2022 pemerintah mengalokasikan dana Rp 44,8 triliun untuk mendukung program percepatan pencegahan tengkes. Anggaran tersebut terdiri dari belanja yang tersebar di 17 kementerian dan lembaga sebesar Rp 34,1 triliun dan pemerintah daerah melalui DAK fisik sebesar Rp 8,9 triliun serta DAK nonfisik sebesar Rp 1,8 triliun.
Kurang dua tahun lagi kejar target
Arti penting percepatan penanganan tengkes pun kembali disampaikan Wakil Presiden Ma’ruf Amin saat menghadiri puncak peringatan Hari Keluarga Nasional (Harganas) ke-30 tahun 2023 di Lapangan Kantor Bupati Banyuasin, Kabupaten Banyuasin, Sumatera Selatan, Kamis (6/7/2023). Apalagi, saat ini prevalensi tengkes di Indonesia 21,6 persen atau masih cukup jauh dari target yang diminta Presiden Joko Widodo, yakni 14 persen pada 2024.
Terlebih lagi, waktu tersisa untuk pencapaian target tengkes di masa pemerintahan Presiden Jokowi-Wapres Amin kurang dari dua tahun. Oleh karena itu, untuk mencapai target tersebut, pada 2023 dan 2024 ini penurunan tengkes dipatok minimal 3,8 persen per tahun.
Dilihat dari jumlahnya pun, balita tengkes di Indonesia tak sedikit. Merujuk data Perserikatan Bangsa-Bangsa, pada tahun 2020 sebanyak 22 persen balita di seluruh dunia atau sekitar 149 juta balita mengalami tengkes. Dari jumlah tersebut, sekitar 6,3 juta balita tengkes pada 2020 ada di Indonesia.
”Konsekuensi dari stunting bukan semata persoalan tinggi badan, tetapi yang lebih buruk adalah dampaknya terhadap kualitas hidup individu akibat munculnya penyakit kronis, ketertinggalan dalam kecerdasan, dan kalah dalam persaingan,” tutur Wapres Amin.
Dampak tengkes di masa kecil mungkin baru termanifestasi bertahun-tahun ke depan. Karenanya, dampak ini akan sangat sulit dan terlambat untuk diatasi.
Wapres Amin pun mengingatkan, keluarga menjadi kunci dalam mengatasi tengkes. Bayi selama dua tahun pertama harus tercukupi gizinya. Ibu hamil juga harus mendapatkan asupan dengan nutrisi baik. Sanitasi lingkungan masyarakat juga harus baik.
Untuk mendorong keluarga memiliki kesadaran untuk memprioritaskan pemenuhan asupan gizi, mengasuh anak secara layak, termasuk menjaga kebersihan tempat tinggal dan lingkungan, informasi dari petugas kesehatan, termasuk di Posyandu dan Puskemas, menjadi penting. Informasi harus mudah dipahami dan lengkap. Dan, tentunya, kepedulian untuk menangani tengkes mesti tergambar juga dari kebijakan alokasi dan pemanfaatan anggaran secara efektif.
Tanpa komitmen dan upaya konkret bersama mengatasi tengkes, harapan mendapatkan generasi muda berkualitas yang mampu mengguncang dunia bisa pupus. Tak hanya itu, bonus demografi bisa-bisa justru menjadi beban demografi. Amit-amit, jangan sampai hal itu terjadi.