Penyerapan Anggaran Rendah, Intervensi Tengkes Belum Capai Target
Penyerapan anggaran untuk penanganan tengkes atau stunting di semester pertama tahun 2023 masih rendah. Kondisi ini berdampak pada tidak tercapainya sejumlah indikator intervensi strategis dalam penanggulangan stunting.
Oleh
RHAMA PURNA JATI
·5 menit baca
PALEMBANG, KOMPAS - Penyerapan anggaran untuk penanganan tengkes (stunting) di semester pertama tahun 2023 masih rendah. Kondisi ini berdampak pada tidak tercapainya sejumlah indikator intervensi strategis dalam penanggulangan stunting. Pemerintah daerah diminta inovatif dalam membuat program agar penyerapan anggaran bisa lebih optimal dan tepat sasaran.
Hal ini disampaikan Sekretaris Utama Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) Tavip Agus Rayanto dalam Temu Kerja Tim Percepatan Penurunan Stunting (TPPS) di Palembang, Sumatera Selatan, Senin (3/7/2023). Hadir dalam acara tersebut sejumlah kepala daerah dan TPPS dari seluruh provinsi di Indonesia. Tengkes (stunting) adalah gangguan pertumbuhan dan perkembangan anak, salah satunya akibat gizi buruk.
Tavip menjabarkan, di semester pertama 2023, pemerintah pusat mengalokasikan anggaran dana alokasi khusus (DAK) nonfisik untuk penanganan stunting sebesar Rp 1,71 triliun. Dari dana tersebut, jumlah yang terserap hanya 8,83 persen atau sekitar Rp 151,3 miliar.
Daerah Istimewa Yogyakarta menjadi provinsi dengan tingkat penyerapan anggaran paling besar, mencapai 28 persen. Adapun daerah dengan serapan yang paling rendah adalah Sumatera Utara dengan persentase sekitar 2 persen.
Kondisi ini berdampak pada belum tercapainya target indikator layanan intervensi spesifik dan sensitif serta sejumlah program strategis lainnya. Tavip menjabarkan, dari sembilan indikator layanan intervensi spesifik yang dicanangkan, baru terpenuhi tiga indikator.
Layanan intervensi spesifik yang belum terpenuhi itu seperti pelayanan tambahan asupan gizi bagi ibu hamil yang mengalami kekurangan energi kronis, yakni dari 87 persen yang ditargetkan, baru tercapai 80,6 persen. Selain itu, peningkatan cakupan layanan tata laksana gizi buruk bagi anak balita juga baru mencapai 77,6 persen dari target 87 persen.
Sementara untuk layanan intervensi sensitif, dari 11 indikator yang ditetapkan, baru tercapai lima indikator. Indikator yang belum tercapai adalah optimalisasi pelayanan keluarga berencana pascapersalinan yang baru menyentuh 40,8 persen dari 60 persen yang ditargetkan. Selain itu, ketersediaan akses air minum rumah tangga yang baru mencapai 71,2 persen dari 97,9 persen yang ditargetkan.
Bahkan, pelaksanan audit kasus stunting (AKS) juga terbilang masih rendah. Sebagian besar daerah hanya berhenti pada tahap melaksanakan audit dan manajemen pendampingan (238 kabupaten/kota), sementara 189 kabupaten/kota belum terlihat progres berupa penerbitan Surat Keputusan AKS.
Hanya 34 kabupaten/kota yang melakukan diseminasi hasil AKS dan baru 8 kabupaten/kota yang sampai pada tahap evaluasi dan rencana tindak lanjut hasil AKS. ”Ini tentu harus menjadi perhatian semua pihak,” ujar Tavip.
Kepala BKKBN Hasto Wardoyo menjelasakan, rendahnya penyerapan anggaran DAK nonfisik itu lantaran belum tersosialisasinya oleh pemerintah daerah (pemda) tentang keberadaan dana ini. Pemda lebih tertarik menyerap DAK untuk pembangunan yang bersifat fisik karena hasilnya langsung terlihat.
”Ketika ada rencana pembangunan jembatan atau perbaikan jalan berlubang, pemda langsung melakukan penyerapan anggaran. Itu karena hasilnya langsung terlihat," ujar Hasto.
DAK ini diharapkan menjadi pemantik munculnya program inovatif di daerah.
Padahal, DAK nonfisik ini penting untuk mengoptimalkan pengentasan stunting agar bisa langsung menyentuh hingga tingkat desa, termasuk untuk memperkuat pendataan. Menurut Hasto, pendataan secara komprehensif dan menyeluruh harus tersedia di setiap tingkatan. Kepala desa harus tahu berapa jumlah keluarga, calon pengantin, atau anak di daerahnya yang berisiko stunting.
Selain DAK nonfisik, lanjut Hasto, pemda juga dituntut untuk inovatif dalam membuat program penanggulangan stunting. Ini, misalnya, dengan menggalakkan program Bapak Asuh Anak Stunting dan juga melibatkan pihak swasta dalam penanganan stunting. ”DAK ini diharapkan menjadi pemantik munculnya program inovatif di daerah,” ujarnya.
Jika semua program ini berjalan, Hasto meyakini target Indonesia menekan prevalensi stunting menjadi 14 persen pada tahun 2024 bisa tercapai. ”Pada masa pandemi saja, prevalensi stunting bisa diturunkan dari 24,4 persen pada 2021 menjadi 21,6 persen pada tahun 2022. Dengan situasi yang lebih baik, saya yakni angka stunting bisa diturunkan minimal 3,8 persen per tahun,” ucapnya.
Staf Ahli Bidang Pembangunan Berkelanjutan Kementerian Koordinator Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Agus Suprapto menyebutkan, penanganan stunting butuh kerja sama berbagai pihak. Hal ini tidak hanya menyangkut Kementerian Kesehatan, tetapi juga Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Kementerian Dalam Negeri, serta kementerian terkait lainnya.
Di sisi lain, pemerintah daerah juga diminta untuk benar-benar membuat program secara terperinci, termasuk dalam perencanaan anggaran mulai dari tingkat desa sampai provinsi. Semua sumber dana bisa digunakan untuk penanggulangan stunting, seperti DAK, APBD, bahkan dana desa. Dana tersebut sangat penting agar pemerintah segera dapat melakukan intervensi.
Kepala Desa Kluwut, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Zaenal Arifin mengatakan, pihaknya sudah melakukan pendataan secara komprehensif dan menganggarkan dana hingga Rp 100 juta untuk penanganan stunting. Hal ini mencakup pemberian makanan tambahan untuk anak dan bayi yang berisiko stunting, operasionalisasi tim pendamping keluarga, dan kegiatan rembuk stunting.
Bahkan, untuk memastikan semua tepat sasaran, dirinya mengecek langsung pemberian makanan tambahan. ”Saya tungguin anak itu diberi makan secara rutin. Dua minggu kemudian saya lihat hasil penimbangannya,” ujar Zaenal. Dengan cara ini, 200 dari 222 anak yang berisiko stunting di desanya telah tertangani.
Gubernur Sumsel Herman Deru meyakini masih banyak pemda yang tidak mengetahui adanya anggaran DAK ini. ”Karena itu, penting untuk memahami segala fitur yang disediakan oleh pemerintah pusat,” ucapnya.
Ia pun berharap dinas terkait mempelajari betul skema pendanaan ini agar penanganan stunting di Sumsel bisa lebih cepat. Di sisi lain, penguatan pendataan juga krusial.
Khusus untuk Sumsel, ujar Herman, pihaknya menggandeng BKKBN serta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk memastikan program yang dijalankan sudah sesuai dengan peraturan. Pendataan ini penting agar pengentasan stunting bisa tepat sasaran. ”Hasilnya, penurunan stunting di Sumsel menjadi yang terbesar secara nasional,” katanya.