Banyak Pekerja Migran yang Keuangannya Belum Merdeka
Banyak pekerja migran yang pulang kampung dengan tabungan sedikit karena kehabisan gaji untuk pengiriman uang atau remitansi.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Banyak pekerja migran Indonesia yang belum merdeka dalam hal keuangan. Gaji mereka habis untuk pengiriman uang atau remitansi. Sementara itu, uang yang diberikan belum mampu mengangkat keluarga dari kemiskinan dan banyak dihabiskan untuk hal konsumtif.
Sejak tahun 2017, proyek riset The Lives of Migrant Remittances (LOMR) melakukan studi tentang remitansi dengan mengumpulkan pekerja migran Indonesia dan Filipina. Penelitian ini merupakan sebuah penelitian kolaborasi antara para peneliti berbasis akademis di Kanada dan komunitas migran di Indonesia, Hong Kong, dan Filipina. Mereka menyoroti bagaimana remitansi dihasilkan, dikelola, dan didistribusikan.
Dosen Fakultas Kesehatan dan Antropologi di Universitas Alberta sekaligus tim peneliti Denise L Spitzer, Kamis (6/7/2023), mengatakan, pihaknya melakukan survei terhadap 1.020 pekerja migran Filipina dan Indonesia di Hong Kong. Selain itu, ditambah diskusi dengan 192 pekerja migran, purna-pekerja migran, anggota keluarga pekerja migran, personel industri, para pembuat kebijakan di Hong Kong, serta komunitas di Filipina dan Indonesia.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa produksi remitansi pekerja migran membutuhkan kerja fisik, afektif, dan emosional yang sangat besar. Mereka juga masih membutuhkan tambahan bantuan dari keluarga dan teman. Selain itu, pekerja migran juga butuh pengetahuan yang mumpuni untuk menavigasi lanskap pengiriman uang.
Denise melanjutkan, 72 persen responden mengatakan bahwa pengiriman uang atau remitansi merupakan pengeluaran utama. Sementara itu, lebih dari 80 persen responden mengaku bahwa uang kiriman mereka digunakan pihak keluarga untuk membeli makanan, serta hampir 71 persen responden melaporkan dana yang mereka kirimkan untuk biaya pendidikan anggota keluarga.
”Hanya 5,8 persen responden yang menggunakan remitansi untuk investasi bisnis,” kata Denise.
Meskipun demikian, masih terdapat hambatan dan fasilitator dalam pengiriman remitansi. Hal itu antara lain biaya tinggi, nilai tukar yang rendah, memakan waktu, dan bank tidak dapat diakses.
Pemerintah dapat memperkuat mekanisme pemantauan dan pengaturan agen perekrutan serta penyedia layanan remitansi.
”Sebanyak 72 persen responden mengatakan bahwa remitansi adalah pengeluaran utama bagi pekerja migran setiap bulannya, khususnya pekerja perempuan. Menurut para responden, keluarga mereka akan menghadapi kesulitan besar jika tidak mendapatkan remitansi. Namun, pekerja migran tidak mendapatkan sisa uang karena uangnya habis untuk dikirim ke negara asal,” kata Denise.
Tidak hanya masalah remitansi, banyak pekerja migran mengalami kerentanan terhadap fisik dan psikisnya, terutama saat diawasi terus-menerus dengan menggunakan teknologi. Mereka tidak bisa bercerita kepada keluarga.
Menurut Denise, pemerintah perlu meningkatkan partisipasi migran yang efektif dalam pembuatan kebijakan negara tentang isu-isu yang berkaitan dengan migrasi, termasuk yang berkaitan dengan remitansi, perekrutan, dan pemulangan. Selain itu, pemerintah agar mendukung penelitian yang menyuarakan suara pekerja migran untuk menginformasikan kebijakan yang berpusat pada masyarakat dengan lebih baik.
”Pemerintah dapat memperkuat mekanisme pemantauan dan pengaturan agen perekrutan, serta penyedia layanan remitansi,”” kata Denise.
Denise juga mendorong Pemerintah Filipina dan Indonesia untuk mengatur, mengurangi, dan memantau tingginya biaya perekrutan dan biaya penempatan. Selain itu, pemerintah juga dapat menegosiasikan gaji yang lebih tinggi, perlindungan sosial, dan hak-hak buruh.
Ketua Aliansi Migran Internasional (IMA) Eni Lestari menyampaikan, menjadi pekerja migran di negeri orang tidaklah mudah. Bahkan, beberapa pekerja harus selalu bahagia di dalam rumah majikan. Jika ketahuan bersedih, mereka berpotensi akan dipulangkan.
”Selain itu, jam kerja mereka relatif lama, yaitu 11-20 jam per hari. Sementara upah yang didapat rendah. Oleh sebab itu, tren yang banyak dilakukan pekerja migran adalah berutang,” kata Eni.
Edukasi pengelolaan uang
Secara terpisah, Kementerian Ketenagakerjaan berencana mengedukasi keluarga Pekerja Migran Indonesia (PMI) di daerah untuk mengelola uang yang dikirim dari luar negeri. Koordinator Perlindungan PMI Kementerian Ketenagakerjaan RI M Ridho Amrullah mengatakan remitansi dapat memberikan banyak manfaat kepada keluarga pekerja ataupun perekonomian di daerah asal. Pihaknya pun akan berbicara dengan beberapa perbankan untuk memberikan program pemberdayaan masyarakat, terutama keluarga dari pekerja migran.
”Hal ini dilakukan agar penerima uang dapat memanfaatkan uang yang dikirim untuk hal yang lebih bermanfaat, tidak hanya untuk konsumtif semata,” kata Ridho.
Selain itu, pemerintah selama ini juga telah memberikan program pendampingan kepada masyarakat yang berpotensi untuk dapat berwirausaha. Namun, tidak semua masyarakat memiliki keinginan dan gigih untuk berwirausaha.