Pekerja Masih Menanggung Biaya Penempatan yang Tinggi
Beban biaya penempatan yang harus ditanggung oleh pekerja migran Indonesia masih relatif tinggi. BP2MI menyebut rata-rata mencapai Rp 30 juta per orang. Solusi implementasi kredit berbunga rendah dinilai belum optimal.
Oleh
MEDIANA
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Hingga kini pekerja migran Indonesia masih menanggung biaya penempatan yang relatif tinggi kendati undang-undang mengamanatkan pembebasan biaya penempatan. Pemerintah mengupayakan solusi melalui program kredit usaha khusus dengan bunga rendah, tetapi solusi ini dinilai belum optimal.
Kepala Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengatakan, rata — rata biaya penempatan pekerja migran Indonesia (PMI) mencapai Rp 30 juta per orang meski ada pula yang nilainya di bawah angka itu. Undang-Undang (UU) Nomor 18 tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia mengamanatkan agar PMI dibebaskan dari pengenaan biaya penempatan. Namun, dia mengakui, negara tak memiliki anggaran yang cukup untuk membayar seluruh biaya penempatan.
Sebelum pandemi Covid-19, setiap tahun terdapat rata-rata 270.000 warga negara Indonesia menjadi PMI. Pada tahun 2021, jumlahnya turun menjadi 72.000 orang. Sementara sepanjang Januari — Oktober 2022, jumlah PMI telah mencapai 170.000 orang.
“Katakanlah, per tahun ada 270.000 orang PMI berangkat, dikali Rp 30 juta per orang sehingga total dana yang harus disiapkan negara mencapai Rp 8,2 triliun. Dana sebesar itu belum cukup tersedia (meski devisa yang dihasilkan PMI per tahun mencapai Rp 159 triliun),” ujar Benny usai penandatanganan nota kesepahaman kerja sama BP2MI dengan 12 pemerintah daerah, 5 lembaga pendidikan, dan 3 lembaga kesehatan di Jakarta, Selasa (15/11/2022).
Pada acara yang sama, BP2MI juga meluncurkan standar operasional prosedur panduan kerja di lingkungan BP2MI. Menurut Benny, biaya penempatan antara lain mencakup pendidikan dan pelatihan kerja; sertifikasi kompetensi; visa kerja; dan tiket berangkat. Pihaknya masih menemukan keluhan PMI yang berutang ke rentenir untuk modal berangkat. Selain itu, masih banyak praktik pra pemberangkatan yang tidak transparan di daerah sehingga pengeluaran calon PMI justru membengkak.
Dengan adanya nota kesepahaman tersebut, para calon PMI mendapat fasilitas pelatihan kerja serta perlindungan sebelum sampai setelah penempatan. Menurut Benny, pemerintah juga menyediakan program kredit usaha rakyat (KUR) Penempatan PMI yang disalurkan oleh bank milik negara, bank syariah, dan bank pembangunan daerah. Pemerintah daerah bisa memfasilitasi akses KUR. Ada juga kredit tanpa agunan dari BNI yang dapat dimanfaatkan oleh PMI.
Sementara itu, Walikota Cilegon Helldy Agustian mengatakan, tingkat pengangguran di Cilegon tergolong tinggi, meskipun terdapat sekitar 200 industri yang di antaranya merupakan hasil penanaman modal asing (PMA). Di Kota Cilegon terdapat penduduk yang akhirnya memutuskan untuk bekerja ke luar negeri.
Dia menyebutkan, pada tahun 2021 terdapat sekitar 25.000 orang penduduk Kota Cilegon yang menganggur. Jumlah ini turun 5.000 orang pada tahun 2022. Pemerintah kota mendorong pemagangan di seluruh industri dan memberikan beasiswa pendidikan sampai ke jenjang pendidikan tinggi. Menurut dia, dua upaya ini bertujuan meningkatkan keterampilan pekerja serta menekan pengangguran.
“Jika pekerja memiliki keterampilan memadai, mereka bisa terserap di lapangan kerja di dalam atau luar negeri. Bersama dengan BP2MI, kami sudah menandatangani nota kesepahaman untuk mewujudkan perlindungan penduduk yang akan berangkat bekerja ke luar negeri, mulai dari sebelum sampai setelah penempatan,” kata Helldy.
Mengutip laman Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian, sejak pertama kali diluncurkan pada tahun 2015 hingga Juni 2022, realisasi KUR Penempatan PMI telah mendekati angka Rp 2,42 triliun. Realisasi KUR sebesar itu menyasar 137.000 orang PMI.
Pada tahun 2022, pemerintah telah mengalokasikan plafon KUR Penempatan PMI hingga mencapai Rp 390 miliar. Pemerintah juga mendorong seluruh lembaga keuangan penyalur KUR, terutama himpunan bank milik negara (Himbara) dan bank pembangunan daerah, untuk menjadi penyalur KUR Penempatan PMI atau pengiriman remitansi PMI. Mereka bersama BP2MI dan Perusahaan Penempatan Pekerja Migran Indonesia (P3MI) perlu bekerja sama agar menghadirkan ekosistem pembiayaan PMI yang mudah diakses, khususnya bagi PMI yang telah berada di negara penempatan.
Tak optimal
Sekretaris Nasional Jaringan Buruh Migran Savitri Wisnuwardhani, saat dihubungi terpisah mengatakan, KUR Penempatan PMI memang telah ada sejak tahun 2015. Kendati bunga pinjaman rendah, implementasi penyaluran tidak berjalan optimal. Sejumlah PMI pernah mengeluhkan adanya overcharging melalui mekanisme KUR Penempatan PMI.
Sesuai Pasal 30 Ayat (1) UU Nomor 18/2017, PMI sebenarnya tidak dapat dibebani biaya penempatan. Namun, Pasal 30 Ayat (2) UU Nomor 18/2017 menyatakan bahwa ketentuan lebih lanjut mengenai biaya penempatan diatur dengan peraturan Kepala BP2MI.
Peraturan Kepala BP2MI Nomor 9/2020 mengatur mengenai beban biaya apa saja yang tidak boleh dikenakan ke PMI. Hanya biaya pelatihan dan sertifikat kompetensi tidak masuk dalam komponen biaya penempatan sesuai peraturan itu. Kemudian, berdasarkan Keputusan Kepala BP2MI Nomor 214/2021, biaya penempatan menjadi kewajiban pemberi kerja, tetapi dibayarkan lebih dulu oleh calon PMI. Pemberi kerja wajib mengganti dengan sistem pengembalian (reimbursement).
Savitri menjelaskan, Keputusan Kepala BP2MI Nomor 214/2021 menyebut adanya pemantauan enam bulan sekali, tetapi belum ada sistem pemantauan yang inklusif sampai sekarang. Apalagi, menurut dia, kondisi PMI dan pemberi kerja bukan dalam kondisi setara. “Akibatnya, beban biaya penempatan tetap harus ditanggung PMI, termasuk melalui KUR Penempatan PMI,” kata dia.
Lebih jauh, lanjut Savitri, solusi mengatasi masih mahalnya biaya penempatan yang harus ditanggung PMI adalah pemerintah Indonesia perlu membuat nota kesepahaman dengan negara tujuan. Isinya menyangkut komponen biaya penempatan yang tidak boleh dibebankan ke PMI. Pemerintah kedua negara mengharuskan pemberi kerja membayar dan ini tertuang dalam klausul perjanjian kerja.
Solusi lainnya adalah pemerintah pusat dan daerah mengalokasikan anggaran untuk pendidikan dan pelatihan kerja bagi calon PMI. Dia menilai, tidak semua pemerintah daerah mampu mengalokasikan anggaran pendidikan dan pelatihan kerja.