El Nino Moderat, Suhu Global Mencapai Rekor Terpanas
El Nino dalam skala moderat diperkirakan bakal berlanjut selama paruh kedua 2023. Sejumlah negara telah mengalami rekor suhu harian terpanas.
Oleh
AHMAD ARIF
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Laporan terbaru Organisasi Meteorologi Dunia menyebutkan kemungkinan 90 persen peristiwa El Nino dengan kategori moderat bakal berlanjut selama paruh kedua tahun 2023. Pemerintah di seluruh dunia diminta bersiap mengantisipasi dampak kesehatan, ekosistem, dan ekonomi karena lonjakan suhu global dan perubahan pola cuaca yang mulai terjadi.
Pembaruan laporan Keadaan Iklim Global Organisasi Meteorologi Dunia (WMO), di bawah Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), dirilis pada Selasa (4/7/2023) dengan menggabungkan prakiraan dan panduan ahli dari seluruh dunia.
Berdasarkan laporan ini, sejak Februari 2023, anomali suhu permukaan laut rata-rata bulanan di Pasifik tropis bagian tengah-timur telah menghangat secara signifikan, naik dari hampir setengah derajat celsius di bawah rata-rata (-0,44 pada Februari, 2023) menjadi sekitar setengah derajat celsius di atas rata-rata (+0,47 pada bulan Mei, 2023). Selama sepekan di Juni 2023, anomali suhu permukaan laut yang menghangat terus meningkat hingga mencapai nilai +0,9 derajat celsius.
Bukti kolektif dari observasi kelautan dan atmosfer secara kuat menunjukkan adanya kondisi El Niño di Pasifik. Namun, masih ada beberapa ketidakpastian karena hanya ikatan laut-atmosfer yang lemah, yang sangat penting untuk amplifikasi dan keberlanjutan El Nino. Diperkirakan akan memakan waktu kira-kira satu bulan atau lebih untuk menyaksikan penggabungan yang sepenuhnya mapan di Pasifik tropis.
”Awal El Nino akan meningkatkan kemungkinan pecahnya rekor suhu dan memicu panas yang lebih ekstrem di banyak bagian dunia dan di lautan,” kata Sekretaris Jenderal WMO Petteri Taalas.
Menurut Taalas, deklarasi El Nino oleh WMO ini diharapkan menjadi sinyal bagi pemerintah di seluruh dunia untuk memobilisasi persiapan guna membatasi dampak terhadap kesehatan, ekosistem, dan ekonomi. ”Peringatan dini dan tindakan antisipatif dari peristiwa cuaca ekstrem yang terkait dengan fenomena iklim besar ini sangat penting untuk menyelamatkan nyawa dan mata pencarian,” tuturnya.
Sekalipun El Nino baru dimulai, laporan dari sejumlah kantor meteorologi dunia merekam adanya lonjakan suhu. Di beberapa bagian China, gelombang panas terus berlanjut, dengan suhu di atas 35 derajat celsius. Afrika Utara telah mengalami suhu mendekati 50 derajat celsius, dengan di Timur Tengah ribuan orang menderita panas terik yang tidak biasa selama ibadah haji di Arab Saudi.
Amerika Serikat bagian selatan juga menderita lonjakan suhu karena kubah panas yang hebat dalam beberapa pekan terakhir. Laporan United States National Centers for Environmental Prediction menyebutkan, 3 Juli 2023 menjadi hari terpanas yang pernah tercatat secara global. Suhu global rata-rata mencapai 17,01 derajat celsius, melampaui rekor Agustus 2016 sebesar 16,92 derajat celsius saat terjadi El Nino kuat.
Awal El Nino akan meningkatkan kemungkinan pecahnya rekor suhu dan memicu panas yang lebih ekstrem di banyak bagian dunia dan di lautan.
Bahkan Antartika, yang saat ini memasuki musim dinginnya, mencatat suhu yang sangat tinggi, mengakibatkan pencairan gletser semakin cepat dan matahari semakin intensif. Basis penelitian Vernadsky Ukraina, di kepulauan Argentina yang sangat beku, baru-baru ini mencatat rekor suhu terpanas bulan Juli, yaitu 8,7 derajat celsius.
Antisipasi dampak
El Nino terjadi rata-rata setiap dua hingga tujuh tahun, dan episode biasanya berlangsung selama sembilan hingga 12 bulan. Hal ini merupakan pola iklim alami yang terkait dengan pemanasan suhu permukaan laut di tengah dan timur Samudra Pasifik tropis. Akan tetapi, menurut WMO, El nino kali ini terjadi dalam konteks iklim yang diubah oleh aktivitas manusia.
Untuk mengantisipasi peristiwa El Nino, sebuah laporan WMO yang dirilis pada Mei 2023 memperkirakan bahwa ada kemungkinan 98 persen, setidaknya satu dari lima tahun ke depan, dan periode lima tahun secara keseluruhan, akan menjadi rekor terpanas di Bumi. Peningkatan suhu diperkirakan akan mengalahkan rekor suhu tahun 2016 ketika terjadi El Nino yang sangat kuat.
Laporan WMO juga menyebutkan, ada kemungkinan 66 persen rata-rata tahunan suhu global dekat permukaan antara tahun 2023 dan 2027 untuk sementara akan lebih dari 1,5 derajat celsius di atas suhu pra-Revolusi Industri atau 1850-1900, setidaknya selama satu tahun.
”Ini bukan untuk mengatakan bahwa dalam lima tahun ke depan kita akan melampaui tingkat 1,5 derajat yang menjadi ambang kritis dalam Kesepakatan Paris karena perjanjian itu mengacu pada pemanasan jangka panjang selama bertahun-tahun,” kata Direktur Layanan Iklim WMO Chris Hewitt.
Meskipun demikian, peningkatan suhu melebihi 1,5 derajat celsius merupakan peringatan dini bahwa kita belum berjalan ke arah yang benar untuk membatasi pemanasan dalam target yang ditetapkan di Paris pada tahun 2015. Ambang suhu tersebut dirancang untuk secara substansial mengurangi dampak perubahan iklim.
Berdasarkan laporan Keadaan Iklim Global WMO, belajar dari El Nino tahun 2016 efek pada suhu global biasanya muncul setahun setelah perkembangannya. Oleh karena itu, dampak El Nino tahun ini pada peningkatan suhu diprediksi akan terlihat paling jelas pada tahun 2024.
Data WMO menunjukkan, suhu rata-rata global pada tahun 2022 telah mencapai 1,15 derajat celsius di atas rata-rata tahun 1850-1900. Namun, suhu rata-rata dinilai lebih rendah karena efek pendinginan La Nina yang terjadi selama tiga tahun berturut-turut sejak 2020.
Menurut WMO, El Nino memiliki efek kebalikan dari La Nina yang berakhir lebih awal pada tahun 2023. El Nino biasanya dikaitkan dengan peningkatan curah hujan di beberapa bagian selatan Amerika Selatan, Amerika Serikat bagian selatan, Tanduk Afrika, dan Asia Tengah. Sebaliknya, El Nino juga dapat menyebabkan kekeringan parah di Australia, Indonesia, sebagian Asia selatan, Amerika Tengah, dan Amerika Selatan bagian utara.
Dampak lain adalah perubahan intensitas siklon tropis. Selama musim panas Boreal, air laut yang menghangat di Samudra Pasifik bagian tengah dan timur bakal meningkatkan potensi pembentukan siklon tropis di wilayah ini. Sebaliknya, hal itu dapat menghambat pembentukan badai di Cekungan Atlantik.