Sejarah Menunjukkan, El Nino Memicu Kerugian Ekonomi Sangat Besar
Fenomena El Nino yang diproyeksi melanda tahun ini bakal menimbulkan banyak kerugian ekonomi, terutama di negara tropis seperti Indonesia, sebagaimana pernah terjadi sebelumnya.
JAKARTA, KOMPAS — Fenomena El Nino yang diproyeksi melanda tahun ini bakal menimbulkan banyak kerugian ekonomi. Kerugian tersebut terutama dialami negara-negara tropis seperti Indonesia.
Berdasarkan kajian di tahun-tahun terjadinya fenomena ini pada masa lalu, El Nino selalu memicu perubahan cuaca yang luas, kebakaran hutan dan lahan, kekeringan yang mematikan tanaman, menurunnya populasi ikan, dan peningkatan penyakit tropis.
Para peneliti Dartmouth College, Amerika Serikat, melaporkan dalam jurnal Science, Kamis (18/5/2023), dampak finansial dari pola iklim yang berulang seperti El Nino dapat bertahan selama beberapa tahun setelah peristiwa itu sendiri dan menyebabkan triliunan pendapatan yang hilang di seluruh dunia.
Studi ini termasuk yang pertama mengevaluasi biaya jangka panjang El Nino dan memproyeksikan kerugian yang jauh melebihi perkiraan penelitian sebelumnya.
Penulis utama studi ini, Christopher Callahan, kandidat doktor geografi di Dartmouth, mengatakan, penelitian tersebut membahas perdebatan yang sedang berlangsung tentang seberapa cepat masyarakat pulih dari peristiwa iklim besar seperti El Nino.
”Kami dapat mengatakan dengan pasti bahwa masyarakat dan ekonomi akan terpukul (ekonominya),” katanya.
Baca juga: Satelit Telah Mendeteksi Tanda Awal El Nino
Callahan menambahkan bahwa data mereka menunjukkan penurunan ekonomi setelah El Nino dapat berlangsung selama 14 tahun, bahkan bisa lebih lama.
”Di daerah tropis dan tempat-tempat yang mengalami efek El Nino, Anda mendapatkan gejala yang terus-menerus di mana pertumbuhan tertunda setidaknya selama lima tahun,” katanya.
”Harga agregat pada peristiwa-peristiwa ini tidak pernah sepenuhnya dihitung—Anda harus menjumlahkan semua pertumbuhan yang tertekan ke depan, tidak hanya ketika peristiwa itu terjadi,” tuturnya.
El Nino adalah fase hangat dari El Nino-Southern Oscillation (ENSO), siklus alami suhu hangat dan dingin di Samudra Pasifik tropis. La Nina merupakan periode yang lebih dingin, yang terjadi dalam tiga tahun terakhir, sebelum berakhir pada April 2023.
Peristiwa El Nino mengubah pola cuaca di seluruh dunia dan, di Amerika Serikat, biasanya menghasilkan musim dingin yang lebih basah dan lebih hangat di Pantai Barat dan berpotensi memicu banjir besar. Di sisi lain, El Nino bisa memicu cuaca lebih kering di Australia dan Indonesia.
Berbagai studi sebelumnya menunjukkan, El Nino menjadi pemain kunci dalam kebakaran hutan dan lahan di Indonesia.
Robert D Field dari NASA Goddard Institute for Space Studies dan tim di jurnal PNAS pada 2016 menunjukkan ada korelasi antara ambang batas curah hujan dan peningkatan aktivitas kebakaran hutan dan lahan di Indonesia, khususnya di lahan gambut.
Dampak sebelumnya
Dalam kajian ini, para peneliti menghabiskan dua tahun untuk memeriksa aktivitas ekonomi global dalam beberapa dekade setelah peristiwa El Nino 1982-1983 dan 1997-1998.
Mereka menemukan ”tanda yang konsisten” dari pertumbuhan ekonomi yang melambat lebih dari lima tahun kemudian.
Perekonomian global masing-masing mengalami penurunan sebesar 4,1 triliun dollar AS dan 5,7 triliun dollar AS dalam setengah dekade setelah masing-masing peristiwa ini. Sebagian besar kerugian ini ditanggung negara-negara tropis termiskin di dunia.
Para peneliti memproyeksikan kerugian ekonomi global untuk abad ke-21 akan mencapai 84 triliun dollar AS. Sebab, perubahan iklim berpotensi memperkuat frekuensi dan kekuatan El Nino. Bahkan, jika janji para pemimpin dunia saat ini untuk mengurangi emisi karbon membuahkan hasil, kerugian ekonomi tetap terjadi.
Baca juga: Menjaga Asa Petani Menghadapi El Nino
Berdasarkan tren kerugian yang terjadi sebelumnya, para peneliti memperkirakan bahwa prediksi El Nino untuk tahun 2023 saja dapat menahan ekonomi global sebanyak 3 triliun dollar AS pada tahun 2029.
Penulis senior Justin Mankin, asisten profesor geografi, mengatakan, temuan tersebut menyoroti faktor kritis dan belum dipelajari yang membentuk kerugian ekonomi akibat pemanasan global—variasi kondisi iklim dari tahun ke tahun.
Meski perubahan ini sebagian besar tidak bergantung pada pemanasan global, perubahan tersebut dapat memperkuat atau mengurangi dampaknya.
Digambarkan sebagai ”batang pohon variabilitas iklim”, El Nino adalah sumber terbesar dan terpenting dari variasi iklim dari tahun ke tahun mengubah cuaca di seluruh dunia dan beresonansi di seluruh ekonomi nasional.
Dalam hal perubahan iklim, para pemimpin dunia dan publik berhak untuk fokus pada kenaikan suhu rata-rata global yang tak kunjung reda.
”Namun, jika Anda memperkirakan biaya pemanasan global tanpa mempertimbangkan El Nino, Anda secara dramatis meremehkan biaya pemanasan global,” kata Mankin.
Menurut dia, kesejahteraan manusia dipengaruhi oleh ekonomi global kita dan ekonomi global kita terkait dengan iklim. ”Ketika Anda bertanya seberapa mahal perubahan iklim, Anda bisa mulai dengan menanyakan seberapa mahal variasi iklim,” ujarnya.
Jika Anda memperkirakan biaya pemanasan global tanpa mempertimbangkan El Nino, Anda secara dramatis meremehkan biaya pemanasan global.
”Kami menunjukkan di sini bahwa variasi seperti itu, seperti yang terkandung dalam El Nino, sangat mahal dan pertumbuhan mandek selama bertahun-tahun, yang menyebabkan kami menelan biaya perkiraan yang urutan besarnya lebih besar dari yang sebelumnya,” ujar Mankin.
Dampak di Indonesia
Callahan dan Mankin menemukan bahwa peristiwa 1982-1983 dan 1997-1998 menyebabkan produk domestik bruto (PDB) Amerika Serikat menjadi sekitar 3 persen lebih rendah pada tahun 1988 dan 2003 daripada yang seharusnya.
Namun, PDB negara tropis pesisir, seperti Peru dan Indonesia, lebih rendah lebih dari 10 persen pada tahun yang sama.
”Pola global dari efek El Nino terhadap iklim dan kemakmuran berbagai negara mencerminkan distribusi kekayaan dan risiko iklim yang tidak merata—belum lagi tanggung jawab atas perubahan iklim—di seluruh dunia,” kata Mankin.
”El Nino memperkuat ketidaksetaraan lebih luas dalam perubahan iklim, secara tidak proporsional berdampak pada yang paling tidak tangguh dan siap di antara kita.”
Durasi dan besarnya dampak finansial yang ditemukan kajian ini menunjukkan pada pola beradaptasi dengan iklim yang telah dilakukan masih belum memadai.
”Kita perlu mengurangi perubahan iklim dan berinvestasi lebih banyak dalam prediksi dan adaptasi El Nino. Sebab, peristiwa ini hanya akan memperbesar biaya pemanasan global di masa depan,” kata Mankin.
Callahan memaparkan, El Nino pada 2023 diperkirakan datang saat suhu permukaan laut berada pada titik tertinggi sepanjang masa. El Nino besar terakhir terjadi pada 2016 dan menjadikan tahun itu sebagai tahun terpanas dalam catatan sejarah. Pemanasan global hanya meningkat dalam tujuh tahun sejak itu.
Selain itu, dunia saat ini telah keluar dari La Nina yang berkepanjangan dan kedua fase tersebut dapat saling memperkuat. Badan Atmosfer dan Kelautan Nasional (NOAA) memproyeksikan kemungkinan terjadinya El Nino pada akhir musim panas lebih tinggi dari 80 persen.
Menurut Callahan, hasil studinya menunjukkan bahwa kemungkinan akan ada korban ekonomi besar yang menekan pertumbuhan ekonomi di negara-negara tropis berpotensi hingga satu dekade. Hasilnya bisa menjadi triliunan dollar AS dalam produktivitas yang hilang secara global relatif terhadap dunia tanpa El Nino ini.