Pengarusutamaan jender terus diupayakan oleh negara-negara anggota ASEAN. Hal ini diyakini dapat mewujudkan pembangunan yang inklusif.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS — Negara-negara anggota ASEAN berupaya mempercepat penerapan Kerangka Kerja Strategis Pengarusutamaan Jender ASEAN atau AGMSF. Kerangka ini penting sebagai acuan negara-negara ASEAN untuk melakukan pembangunan yang tanggap jender dan inklusif.
AGMSF dikembangkan pada Pertemuan Menteri ASEAN tentang Perempuan kedua yang berlangsung pada 2015. Pertemuan berlanjut jadi inisiatif untuk mengembangkan strategi pengarusutamaan jender di ASEAN. Strategi yang dikembangkan oleh Komite ASEAN untuk Perempuan (ACW) ini lantas disebut AGMSF.
Para pemimpin negara anggota ASEAN mengadopsi AGMSF secara resmi pada 2022. Walau demikian, proses implementasi AGMSF sudah berlangsung setidaknya sejak 2021. Kerangka pengarusutamaan jender ini akan diterapkan di bidang ekonomi, sosial dan budaya, serta politik dan keamanan.
Ada dua fase penerapan AGMSF. Fase pertama (2021-2025) fokus pada penguatan komitmen dan dimulainya perubahan cara kerja ASEAN menjadi lebih berperspektif jender. Fase kedua (2025-2035) diproyeksikan berisi implementasi dan pengembangan AGMSF.
”Agenda urgen di 2023 yang mesti segera diselesaikan adalah bagaimana ACW bisa mendampingi badan-badan sektoral (ASEAN) untuk mengarusutamakan jender di substansi mereka, baik kebijakan, program, maupun aktivitas,” ucap perwakilan ACW Indonesia, Lenny N Rosalin, di Yogyakarta, Selasa (4/7/2023), di sela-sela Konferensi Pengarusutamaan Jender ASEAN.
Implementasi terhambat
Adapun penerapan AGMSF masih terhambat. Berdasarkan survei yang dilakukan ACW Indonesia, salah satu hambatan itu adalah keterbatasan pemahaman dan kesadaran akan AGMSF di negara-negara anggota ASEAN. Hambatan lain adalah sebagian laki-laki belum mengakui bahwa perempuan punya kesempatan yang setara dengan mereka.
Budaya patriarki juga menghambat pelaksanaan AGMSF. Budaya ini memandang bahwa perempuan tidak perlu berperan dalam isu-isu strategis. Akibatnya, perempuan tidak terlibat secara bermakna dalam pengambilan keputusan, perumusan kebijakan, hingga penyusunan anggaran pembangunan.
”Dari hasil FGD (diskusi kelompok terarah) dan survei ACW Indonesia, pemahaman dan komitmen badan sektoral (terhadap pengarusutamaan jender) masih jadi tantangan. Ini akan kami dampingi secara jangka pendek sehingga 2024 nanti badan sektoral bisa mengeksekusi (AGMSF),” ujar Lenny yang juga Deputi Bidang Kesetaraan Gender Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA).
Budaya patriarki memandang bahwa perempuan tidak perlu berperan di isu-isu strategis.
Adapun Menteri PPPA I Gusti Bintang Darmawati mendukung implementasi AGMSF. Menurut dia, pengarusutamaan jender di kawasan ASEAN mesti diperluas agar pembangunan yang responsif jender dan inklusif dapat tercapai.
”Sangatlah penting untuk meneruskan momentum dan menerjemahkan komitmen kita ke dalam tindakan nyata,” ucapnya. ”Saya juga berharap hal ini dapat diterapkan tidak hanya di tingkat regional ASEAN, tetapi juga negara-negara anggota ASEAN, di tingkat nasional, tingkat subnasional, hingga ke tingkat desa,” tambahnya.
Menurut Director General Planning and International Cooperation Department Lao Women’s Union Soukphaphone Phanit, promosi kesetaraan jender dan pemberdayaan perempuan penting karena berhubungan dengan keberhasilan pembangunan dan perdamaian. Itu sebabnya, memastikan semua perempuan punya akses yang sama terhadap pendidikan, kesehatan, peluang ekonomi, dan partisipasi politik adalah tanggung jawab semua pihak.
Mulai dari desa
Sementara itu, ahli jender dari Caksana Institute, Wasingatu Zakiyah, berpendapat bahwa AGMSF bisa diterapkan mulai dari lingkup terkecil di masyarakat, yakni desa. Belum lagi, kini ada dana desa yang memungkinkan mereka mendanai dan mewujudkan program-program desa.
Ada tiga hal yang mesti diperhatikan pemerintah desa untuk menerjemahkan AGMSF menjadi program berperspektif jender. Pertama, melibatkan perempuan pada tata kelola desa agar mereka bisa berpartisipasi secara bermakna.
”Partisipasi perempuan di desa rata-rata 4D, yaitu datang, duduk, dengar, dan diam,” ucap Zakiyah. ”Jumlah pemimpin perempuan di desa (di DI Yogyakarta) juga masih minim. (Kabupaten) Gunungkidul, misalnya, punya 144 desa, tapi pemimpin perempuannya hanya lima orang,” tambahnya.
Hal kedua yang mesti diperhatikan adalah membuat regulasi yang kuat untuk menjalankan program berperspektif jender. Sebab, regulasi di desa kerap dibuat menjadi surat keputusan, bukan peraturan desa. Ketiga, memperhatikan perencanaan anggaran agar program bisa direalisasikan.