Perspektif Jender Diperlukan dalam Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan
Perspektif jender perlu dipertimbangkan pada penyesuaian skema jaminan ketenagakerjaan. Sebab, banyak perempuan bekerja di sektor informal, baru sebagian kecil menikmati cuti hamil, dan lansia perempuan miskin meningkat.
Oleh
NINA SUSILO
·5 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pertimbangan kebutuhan yang berbeda antara pekerja perempuan dan laki-laki semestinya menjadi dasar dalam menentukan program jaminan sosial ketenagakerjaan. Karena itu, skema-skema manfaat yang disiapkan harus memperhatikan perspektif jender dan kebutuhan kelompok rentan.
Dalam seminar daring bertajuk ”Mendorong Kesetaraan Gender dalam Program Jaminan Sosial Ketenagakerjaan”, Selasa (11/5/2022), terungkap bahwa kesenjangan kondisi ketenagakerjaan perempuan dan laki-laki semakin mempersulit perempuan mengakses program jaminan sosial ketenagakerjaan. Hal ini menambah kerentanan perempuan pekerja.
Diskusi itu menghadirkan nara sumber antara lain Deputi Bidang Dukungan Kebijakan Pembangunan Manusia dan Pemerataan Pembangunan Sekretariat Wakil Presiden Suprayoga Hadi, Manajer Program Perlindungan Sosial Organisasi Buruh Internasional (ILO) Ippei Tsuruga, Spesialis Kebijakan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Sekretariat Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K) Sekretariat Wakil Presiden Resmi Setia Milawati, dan Koordinator Nasional Jaringan Nasional Advokasi Pekerja Rumah Tangga (Jala-PRT) Lita Anggraini, serta Minister Counsellor Governance and Human Development Kedutaan Besar Australia untuk Indonesia Kirsten Bishop.
Secara umum, pekerja di sektor informal di Indonesia mendominasi. Tahun 2021, sebanyak 77,9 juta jiwa atau 59,5 persen bekerja di sektor informal, sedangkan 53,1 juta jiwa atau 40,5 persen bekerja di sektor formal.
Dari jumlah tersebut, pekerja perempuan di sektor informal sangat banyak. Masalahnya, kondisi ketenagakerjaan perempuan dan laki-laki juga masih timpang. Tingkat partisipasi aktif ketenagakerjaan perempuan hanya 53,1 persen, sedangkan laki-laki sudah mencapai 82,4 persen. Selain itu, kesenjangan upah juga masih terjadi baik di sektor formal maupun informal. Lebih lagi, kata Suprayoga, kesenjangan upah terbesar terjadi di sektor informal. Gaji pekerja perempuan di sektor informal dalam data BPS 2020, hanya 45 persen dari gaji pekerja laki-laki di sektor sama.
Kondisi ini memengaruhi tingkat kepesertaan perempuan pada jaminan sosial ketenagakerjaan. Sebab, kemampuan untuk berkontribusi maupun memastikan keberlanjutan kepesertaan sangat rendah.
Dari jumlah peserta aktif program jaminan sosial ketenagakerjaan, menurut catatan BPJS Ketenagakerjaan 2021, hanya 36 persen atau 8,6 juta dari peserta perempuan. Adapun peserta jaminan sosial ketenagakerjaan laki-laki mencapai 64 persen atau 22,1 juta orang.
Tahun 2020, tingkat partisipasi angkatan kerja perempuan hanya mencapai 53,1 persen atau lebih rendah dari rata-rata di wilayah Asia Timur dan Pasifik. Sementara tingkat partisipasi angkatan kerja laki-laki mencapai 82,4 persen.
Menurut Setia, kesenjangan antara kondisi ketenagakerjaan perempuan dan laki-laki disebabkan tiga hal. Pertama, masalah struktural dalam pasar tenaga kerja. Mayoritas perempuan masih kerja di sektor informal yang tidak stabil dan rentan. Kedua, ada kelemahan rancangan dan implementasi program yang tampaknya kurang mempertimbangkan kondisi-kondisi spesifik jender tertentu. Manfaat yang sesuai dengan kebutuhan tertentu sesuai perspektif jender juga belum ada.
Ketiga, ada hambatan sosial dan budaya. Norma jender yang diskriminatif dan pembatasan mobilitas terhadap perempuan menyulitkan perempuan mengatasi kesenjangan kondisi ketenagakerjaannya. Salah satunya, perempuan kerap diposisikan sebagai penanggung jawab domestik karena fungsi reproduksinya. Akibatnya, ketika menikah, perempuan menjadi tidak stabil dalam pekerjaannya.
Dari skema perlindungan sosial ketenagakerjaan yang ada di Indonesia, tidak ada jaminan sosial untuk sakit dan kehamilan, padahal ini penting dalam perspektif jender.
Masalahnya, menurut Ippei, cakupan sistem jaminan sosial ketenagakerjaan di Indonesia tak memadai. Akibatnya, sulit mendeteksi masyarakat rentan yang menjadi miskin untuk segera diintervensi pemerintah.
Selain itu, Ippei menilai, kritik pada cakupan jaminan sosial yang rendah sebenarnya tak melulu masalah BPJS Ketenagakerjaan. Aturan yang dibuat juga harus lebih adil, mampu memperluas cakupan, dan menyediakan manfaat-manfaat yang sesuai kebutuhan kelompok-kelompok rentan.
”Menurut saya, kalau aturannya tidak terlalu adil, institusi akan sulit memperbaiki dan memperluas cakupan (jaminan sosial ketenagakerjaan). Jadi bukan saja tantangan administratif, melainkan ada masalah ketiadaan skema yang memadai terutama pada manfaat dan cakupan,” tuturnya dalam bahasa Inggris.
Dia mencontohkan, dari skema perlindungan sosial ketenagakerjaan yang ada di Indonesia, tidak ada jaminan sosial untuk sakit dan kehamilan, padahal ini penting dalam perspektif jender.
Dua hal yang dia sebutkan sangat penting dalam melindungi kelompok rentan, yakni perlindungan hak perempuan saat hamil dan melahirkan serta hak pensiun. Pekerja perempuan yang hamil dalam aturan di Indonesia berhak mendapatkan cuti 1,5 bulan sebelum melahirkan dan 1,5 bulan setelah melahirkan. Gajinya pun dibayarkan penuh selama cuti hamil dan melahirkan.
Menurut Ippei, kenyataannya tak demikian. Survei kolaborasi ILO Indonesia dan Universitas Indonesia di Jakarta, Semarang, dan Surabaya melalui wawancara 499 pekerja perempuan yang pernah mengalami hamil di masa kerja sepanjang Oktober 2021 menunjukkan bahwa cuti hamil-melahirkan selama tiga bulan tak sepenuhnya dinikmati. Akses pekerja kontrak lebih terbatas pada hak-hak hamil-melahirkan ini. Pekerja di perusahaan kecil malah hanya mendapatkan cuti yang lebih pendek. Gaji yang semestinya diterima secara utuh selama cuti hamil-melahirkan pun hanya dinikmati 25 persen pekerja perempuan.
”Semestinya ada skema yang memastikan perempuan bisa mendapatkan hak persalinannya di mana pun dia bekerja,” kata Ippei.
Jaminan sosial warga lansia
Terkait dengan tabungan hari tua atau pensiun, banyak warga tidak memiliki jaminan sosial saat menjadi lansia. Hal itu karena Indonesia tidak memiliki skema pensiun universal.
Menilik cakupan BPJS bagi tenaga kerja formal dan informal, Taspen untuk pegawai negeri sipil, dan Asabri untuk TNI/Polri, hanya sekitar 21 juta pekerja yang memiliki skema pensiun dalam jaminan sosial ketenagakerjaannya. Padahal, di Indonesia terdapat 154 juta pekerja berusia 20-59 tahun.
Pekerja informal, seperti pengurus rumah tangga yang mencapai 29 juta orang di Indonesia, bisa dipastikan tidak mampu mengakses dalam skema jaminan hari tua di jaminan sosial ketenagakerjaan. Padahal, kata Ippei, 27 juta dari pekerja informal pengurus rumah tangga ini adalah perempuan.
Pensiun akan menjadi masalah serius karena demografi Indonesia akan menua. Tanpa skema pensiun untuk perempuan, beban pekerja generasi berikut dipastikan semakin berat. Diperkirakan, kata Ippei, pada 2060, populasi dari empat kelompok usia kerja harus mengurus orang lanjut usia.
Karena itu, Ippei mengatakan, perlu untuk memformalkan pekerja informal. ”Ini supayapekerja informal tidak takut dan memiliki manfaat dalam kerjanya,” ujarnya.
Kirsten menilai reformasi jaminan sosial sangat perlu disusun dengan mempertimbangkan perspektif jender, kebutuhan perempuan, dan menyesuaikan dengan tantangan yang dihadapi perempuan. Hal serupa untuk kelompok rentan lain, seperti penyandang disabilitas. Penyusunan skema jaminan sosial ketenagakerjaan perlu sensitif dengan kebutuhan-kebutuhan kelompok rentan.
Setia pun sepakat perspektif jender menjadi penting untuk dipertimbangkan dalam penyesuaian skema jaminan sosial ketenagakerjaan. Sebab, kebutuhan perempuan dan laki-laki berbeda. Apalagi, BPS tahun 2021 menunjukkan adanya peningkatan kemiskinan lansia perempuan seiring pertambahan usia. Lebih parah lagi, 88 persen lansia tinggal dalam rumah tangga yang sama sekali tidak memiliki jaminan sosial ketenagakerjaan. Hal ini membuat seluruh keluarga menjadi kelompok sangat rentan.