Merawat Zikir Berdah agar Tak Punah
Pelestarian kesenian tradisional sejatinya bertumpu pada anak muda. Namun, saat ini tak banyak anak muda yang terlibat atau kenal dengan kesenian tersebut.
Sama seperti kesenian tradisional lain di Indonesia, kesenian zikir berdah sedang krisis penerus. Kehadiran anak muda, walau sedikit, meniupkan harapan agar kesenian ini tak lekas hilang dimakan zaman.
Sambawi Haji Abu Bakar (69) langsung semringah saat ditanyai, ”zikir berdah itu apa, Datuk?” Sambawi—yang kerap dipanggil Datuk—tak langsung menjelaskan. Ia menukas, ”Tunggu, ya, kita ambil (rebana) dulu.”
Secepat ia menjawab, secepat itu pula tubuhnya bangkit dan pergi ke tempat ia menyimpan rebana siam. Rebana itu terbuat dari kulit kambing dan kayu laban. Di bagian dalam rebana ada rotan tipis melingkar untuk mengencangkan tarikan kulit rebana. Jika rotan dipasang, suara tabuhan rebana akan semakin kencang dan mantap.
Sambawi tak lupa mengambil buku kumpulan syair zikir berdah miliknya. Di buku yang halaman-halamannya telah menguning dan helaiannya lemas itu ada syair-syair berbahasa Arab. Isinya antara lain pujian untuk Nabi Muhammad SAW.
Syair zikir berdah pun diyakini masyarakat menyimpan daya spiritual untuk menolak bala. Isinya seperti doa untuk meminta keselamatan dan perlindungan kepada Yang Maha Kuasa serta berisi ucapan syukur. Kidung zikir berdah ada juga yang dikutip dari Al Quran.
Maestro kesenian zikir berdah itu menjelaskan, pertunjukan kesenian ini biasanya berlangsung saat khitanan, syukuran, atau pernikahan. Zikir berdah pernah juga dilantunkan untuk orang yang tengah sakratul maut.
”Ini untuk menjauhkan bala. Salawat, kan, banyak untuk menjauhkan setan. Maka, kami berjaga-jaga di rumah pengantin agar jangan ada yang kemasukan setan,” kata Sambawi di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi, Sabtu (24/6/2023).
Pertunjukan zikir berdah juga berlangsung sebelum orang-orang turun ke ladang saat musim tanam. Isi syairnya, antara lain, doa untuk hal-hal baik selama masa tanam hingga panen serta harapan agar warga tak berhadapan dengan binatang buas.
Zikir berdah berkembang di Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Zikir berdah tercatat sebagai warisan budaya tak benda oleh Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi pada 2001. Kesenian warisan leluhur ini, antara lain, masih dipertahankan oleh Sanggar Seni Sreh Serumpun.
Baca juga: Zikir Pendongkrak Kebahagiaan
Tak banyak yang bisa
Dengan rebana di pangkuan, tangan keriput Sambawi terampil menabuh alat musik itu hingga menghasilkan bunyi ”dum” dan ”tak” yang ritmis. Sambil menabuh, mulutnya melantunkan syair merdu berbahasa Arab yang dibacanya dari buku.
Sambawi yang juga seorang petani padi itu mengatakan, syair pada dasarnya bisa ditambahkan dan dikurangi. Ia bisa saja menyisipkan kata tambahan saat melantunkan syair dan ia bisa juga melantunkan syair itu dengan nada atau cengkok lain. Ibarat bernyanyi, lantunan syair juga bisa diimprovisasi.
Sayangnya, kini tak banyak orang yang menguasai teknik ataupun rasa untuk berimprovisasi dengan syair tersebut. Sebab, saat ini tak banyak orang yang menekuni zikir berdah, apalagi anak muda. Ia menyebut bahwa ada sekitar 15 orang yang rutin berlatih zikir berdah bersamanya saat ini dan beberapa di antaranya anak muda.
Saat ini tak banyak orang yang menekuni zikir berdah, apalagi anak muda.
Dito Opetra (21) adalah salah satu anak muda di kelompok zikir berdah itu. Saat diwawancarai pada Senin (3/7/2023), ia mengaku baru ikut latihan pada tahun 2022. Ia gelisah melihat anggota kelompok zikir berdah yang hanya diisi oleh orang-orang tua. Ia menaksir usia mereka 50-an tahun hingga 60-an tahun. Tidak ada anak muda.
”Saya sempat diskusi dengan teman-teman untuk ikut latihan sama mereka. Kebetulan, saya juga main kesenian hadrah. Syair hadrah dengan zikir berdah hampir mirip,” katanya. ”Ada lima orang muda, termasuk saya, yang akhirnya ikut latihan zikir berdah sama Datuk,” tambahnya.
Baca juga: Merawat Kesenian Tradisional yang Nyaris Punah
Dito ingat raut muka senang Sambawi saat tahu ada anak-anak muda yang ingin ikut latihan zikir berdah. Dito pun berupaya menyerap ilmu yang diajarkan Sambawi, salah satunya cara memukul rebana. Namun, ia mengakui kini jarang ikut latihan karena sibuk dengan tugas kampus dan aktivitas komunitas.
Walakin, keresahan akan kelestarian zikir berdah tetap mengusik Dito. Ia khawatir kesenian ini tidak ada penerusnya, lantas hilang dan tidak diketahui generasi masa depan. Jika zikir berdah hilang, masyarakat juga berpotensi kehilangan sebagian identitas mereka. Sebab, kesenian dan kebudayaan biasanya merekam memori kolektif masyarakat di suatu wilayah.
Upaya pelestarian
Pemerintah berupaya melestarikan seni budaya, antara lain, lewat program Belajar Bersama Maestro (BBM) dan Gerakan Seniman Masuk Sekolah (GSMS). Kedua program ini memberi kesempatan bagi seniman ataupun maestro untuk membagikan pengetahuannya ke sekolah dasar hingga menengah. Hal ini dilakukan melalui kegiatan ekstrakurikuler.
Pada 2023, GSMS menyasar 400 sekolah dan diharapkan menjaring 6.000 siswa. Seniman yang mengajar di program tahun ini adalah mereka yang memiliki minimal satu kompetensi, baik di bidang tari, musik/seni suara, teater, seni rupa, seni media, maupun sastra.
Adapun BBM digelar pertama kali pada tahun 2015. Program ini menyasar pelajar SMA dan pelaku budaya muda untuk belajar secara langsung kepada maestro. Kegiatan ini diyakini memperluas peluang regenerasi seni budaya.
”Ketika tidak ada generasi yang menerima transfer ilmu langsung dari maestro, apa pun yang dilakukan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali akan tetap menghasilkan kesenian yang disebut sebagai bentuk kesenian kreasi baru,” ujar Prabowo Dwi Putranto, Pamong Budaya Ahli Muda sekaligus Koordinator Program BBM dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kompas.id, 25/6/2022).
Baca juga: Program Belajar Bersama Maestro Buka Peluang Regenerasi Lebih Luas