Berjuang untuk Grasi bagi Mary Jane
Perjuangan Mary Jane, perempuan terpidana mati asal Filipina untuk mendapat grasi dari Presiden Jokowi, terus mendapat dukungan banyak pihak.
”Sebagai seorang Ibu, sangatlah menyakitkan untuk melihat putri saya dipenjara padahal dia tidak melakukan kesalahan. Masih sulit bagi saya untuk menerima kenyataan bahwa salah satu putri saya tidak berada di sisi saya, selama hampir 13 tahun ini. Putri saya telah menderita karena kesalahan yang tidak dilakukannya”.
Kalimat ini berulang kali diucapkan Celia Veloso (63), ibu kandung Mary Jane Fiesta Veloso (37), perempuan terpidana mati asal Filipina, saat bertemu dengan unsur pimpinan lembaga dan organisasi hak asasi manusia di Indonesia.
Selama empat hari di Jakarta, Celia tak lelah berbicara dan memohon dukungan permohonan grasi bagi Mary Jane. Ia ditemani suaminya, Cesar Veloso (73), dan kedua anak Mary Jane, Mark Danielle Veloso Candelaria (20) serta Mark Darren Veloso Candelaria (14).
Saat menemui Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati, Kamis (22/6/2023) di Kantor Kementerian PPPA, Celia menyerahkan surat permohonan kepada Menteri PPPA. Surat itu ia tulis langsung dengan tangan dalam bahasa Tagalog.
Saya sangat berharap bahwa Mary Jane dapat memperoleh grasi karena putri saya telah mengalami dan menanggung banyak penderitaan.
Kepada Bintang Darmawati, Celia menuturkan, Mary Jane adalah anak perempuan yang baik hati dan sangat penyayang, saudari kandung yang suka menolong, dan ibu yang penuh perhatian kepada anak-anaknya. Karena itu, tidak adil bagi Mary untuk menderita di dalam penjara bertahun-tahun atas kejahatan yang tidak dilakukannya.
”Saya memohon bantuan Ibu (Menteri) untuk memberikan perhatian pada kasus Mary Jane. Saya sangat berharap bahwa Mary Jane dapat memperoleh grasi karena putri saya telah mengalami dan menanggung banyak penderitaan,” kata Celia.
Baca juga : Doa dan Asa Mary Jane dari Balik Jeruji
Mary Jane yang berasal dari keluarga miskin di sebuah provinsi di Filipina merupakan satu dari sekian banyak perempuan di Asia yang karena kondisi ekonomi dan sosialnya rentan menjadi korban perdagangan orang.
Sebagai seorang ibu tunggal dengan dua putra, mantan pekerja rumah tangga migran itu hanya menyelesaikan satu tahun pendidikan sekolah menengah atas. Cita-cita Mary Jane hanya satu, yaitu menghidupi keluarganya dan membantu memberikan masa depan yang baik bagi mereka.
Mary Jane divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman, DI Yogyakarta, pada tanggal 11 Oktober 2010. Majelis hakim menyatakan Mary bersalah atas tindakannya menjadi perantara dalam jual beli narkotika golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 gram.
Sebelumnya, Mary ditahan sesaat setelah tiba di Bandara Adisucipto, Yogyakarta, pada tanggal 25 April 2010 karena di koper (bagian dinding) yang dibawanya ditemukan bungkusan narkotika. Saat diperiksa, Mary mengakui bahwa koper tersebut miliknya. Namun, dia menyatakan tidak tahu-menahu mengenai kemasan di dalamnya. Kendati demikian, proses hukum terus berlanjut.
Mary Jane melewati semua tingkatan pengadilan di Indonesia. Terakhir ia mengajukan peninjauan kembali (PK). Namun, upaya hukum tersebut tak berhasil.
Mary dua kali masuk dalam daftar terpidana mati yang harus dieksekusi pada tahun 2015 (Januari dan April 2015). Pelaksanaan eksekusi pada 29 April 2015 tidak jadi dilaksanakan, menyusul perintah Presiden Jokowi untuk membatalkannya.
Surat diterima
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) I Gusti Ayu Bintang Darmawati menerima surat dari ibu Mary Jane, Celia Veloso, dan Migrante International, seusai menerima kunjungan dari anak-anak dan orangtua Mary Jane, Kamis (22/6/2023) petang, Surat diserahkan Joanna dari Migrante International.
Kepada Kompas, Celia mengungkapkan, keluarganya tidak pernah berhenti berdoa untuk pembebasan Mary Jane. Mereka berkeyakinan kuat, Mary tidak bersalah. Mary adalah pejuang keluarga. Ia mencari nafkah hingga keluar kampung halaman di negara orang demi kedua anaknya.
Celia percaya mujikzat Tuhan pasti terjadi bagi Mary. Eksekusi hukuman mati yang dibatalkan Presiden Joko Widodo pada 29 April 2015 diyakini sebagai suatu mukjizat, dan hal itu semakin menguatkan keyakinan mereka bahwa Mary tidak bersalah. Kehidupan Mary yang terus berlanjut setelah terhindar dari eksekusi mati memberi mereka sedikit harapan.
Dalam surat yang dikirim kepada Menteri PPPA, Migrante International mengungkapkan, sejak Mary Jane menerima penundaan eksekusi (hukuman mati) tahun 2015, di Filipina terjadi perkembangan hukum yang signifikan untuk meminta pertanggungjawaban para pelaku perdagangan orang.
Pada tanggal 30 Januari 2020, Pengadilan Regional Nueva Ecija Cabang 88 di Filipina telah menjatuhkan hukuman penjara seumur hidup terhadap orang yang merekrut Mary Jane atas perekrutan ilegal berskala besar dan penipuan. Saat ini, perekrut Mary Jane masih menghadapi dakwaan perdagangan manusia.
”Kami sangat yakin bahwa vonis bersalah atas perekrutan ilegal berskala besar dan penipuan sudah cukup untuk membuktikan bahwa Mary Jane tidak bersalah,” ujar Joanna Conception dari Migrante International, yang mendampingi anak-anak dan orangtua Mary Jane selama di Indonesia.
Kami sangat yakin bahwa vonis bersalah atas perekrutan ilegal berskala besar dan penipuan sudah cukup untuk membuktikan bahwa Mary Jane tidak bersalah.
Karena itulah, keluarga Mary Jane bersama Migrante International dan organisasi pendukung Mary Jane sangat berharap Pemerintah Indonesia mengizinkan Mary Jane untuk memberikan kesaksian dalam proses pengadilan yang sedang berlangsung di Filipina.
”Proses hukum yang sedang berjalan di Filipina merupakan fakta hukum yang membuktikan jika Mary Jane merupakan korban dari persekongkolan jahat dari pihak-pihak yang memanfaatkan Mary Jane,” ujar Agus Salim, kuasa hukum Mary Jane.
Menanti grasi
Sementara itu, upaya melepaskan Mary Jane dari hukuman mati juga dilakukan Pemerintah Filipina. Pada tanggal 20 September 2022, Departemen Luar Negeri Filipina telah menyampaikan permohonan grasi secara resmi kepada Presiden Jokowi melalui Kementerian Luar Negeri RI.
Harapannya, permohonan grasi tersebut dikabulkan Presiden Jokowi dalam waktu secepatnya. Sampai saat ini Mary Jane telah mendekam di penjara selama hampir 13 tahun. Selama waktu itu juga orangtua Mary Jane yang sudah lanjut usia dan menderita penyakit selalu dihantui perasaan cemas karena nasib anaknya sebagai terpidana mati.
Sementara anak-anak Mary Jane tumbuh tanpa kasih sayang sang ibu. Mereka membutuhkan bimbingan dan pengasuhan ibu. Karena itulah, keluarga Mary Jane terus berjuang tanpa lelah demi membebaskan Mary Jane dari hukuman mati.
Baca juga : Penantian Panjang Anak-anak dan Orangtua Mary Jane
Perjuangan keluarga Mary Jane mendapat dukungan sejumlah organisasi dan lembaga, seperti Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan), Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (Kabar Bumi), Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), serta jaringan organisasi masyarakat sipil di Indonesia.
Saat berada di Indonesia, anak-anak dan orangtua Mary Jane bertemu dengan Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Komisioner Komnas HAM Anis Hidayah, dan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), jaringan organisasi pendukung Mary Jane. Keluarganya juga secara khusus bertemu Uskup Agung Jakarta Ignatius Kardinal Suharyo Pr.
Anis Hidayah mengungkapkan, Presiden Jokowi pada tahun 2015 memutuskan menunda eksekusi mati Mary Jane karena saat itu ada informasi dari Filipina bahwa Mary Jane adalah salah satu korban perdagangan orang, di mana Maria Christina Sergio yang merekrutnya ditangkap dan menjalani proses hukum. ”Dalam proses itu Mary Jane diduga kuat sebagai korban tindak pidana perdagangan orang tidak boleh dihukum mati,” ujar Anis.
Sebab, dalam ASEAN Convention Against Trafficking In Persons, Especially Women and Children (Konvensi ASEAN Menentang Perdagangan Orang, Terutama Perempuan dan Anak) diatur bahwa korban TPPO tidak dapat dihukum karena posisi korban.
Saat ini proses hukum terhadap perekrut Mary Jane di Filipina sedang berjalan. Komnas HAM sudah bertemu dengan Komnas HAM Filipina untuk membahas kasus tersebut. Selanjutnya, kuasa hukum Mary Jane akan mengajukan grasi kepada Presiden dan Komnas HAM juga akan menyampaikan rekomendasi kepada Pemerintah Indonesia untuk memberikan grasi pada Mary Jane karena adanya dugaan kuat Mary Jane sebagai korban TPPO.
”Komnas HAM pada posisi tidak setuju pada hukuman mati karena itu bentuk pelanggaran HAM. Apalagi, Mary Jane diduga sebagai korban TPPO sehingga perlu diperjuangkan agar Mary Jane sebagai korban TPPO tidak dijatuhi hukuman mati,” katanya tegas.
Kini nasib Mary Jane bergantung pada kemurahan hati Presiden Jokowi untuk memberikan grasi yang akan melepaskannya dari status terpidana mati.