Penantian Panjang Anak-anak dan Orangtua Mary Jane
Selama 13 tahun Mary Jane Fiesta Veloso (37), perempuan terpidana mati asal Filipina, terpisah dari anak-anak dan orangtuanya. Demi kebebasannya, keluarganya terus memohon grasi kepada Presiden Joko Widodo.
Akhir tahun lalu, tepatnya tiga hari menjelang Hari Natal 2022, Kamis (22/12/2022), Mary Jane Fiesta Veloso (37), perempuan terpidana mati asal Filipina, memanjatkan doa, saat dikunjungi perwakilan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan. Diakhir doanya, Merry menyatakan kerinduannya untuk bertemu keluarganya.
Sekitar enam bulan kemudian doa itu terkabul. Dua pekan lalu, anak-anaknya bersama ayah dan ibu kandungnya datang ke Indonesia, dan mengunjunginya di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Perempuan Kelas II B Yogyakarta, di Gunung Kidul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Selama dua hari, Senin (12/6/2023) hingga Selasa (13/6), Marry melepaskan rindunya pada kedua puteranya, Mark Danielle Veloso Candelaria (20) dan Mark Darren Veloso Candelaria (14), serta orangtuanya Cesar Veloso (73) dan Celia Veloso (63). Mary terakhir bertemu keluarganya, tahun 2019 lalu.
Suasana pertemuan dengan Mary Jane, diceritakan kembali oleh kedua anaknya dan ibunya, seusai bertemu Mary Jane. Dari Yogyakarta, keluarga Mary Jane singgah ke Jakarta. Selama empat hari, Senin (19/6/2023) hingga Kamis (22/6/2023) mereka bertemu dengan sejumlah pihak untuk meminta dukungan bagi Mary Jane.
“Ketika bertemu ibu, saya dan adik saya terus mencium dan memeluk ibu. Kami ingin ibu pulang ke rumah berkumpul dengan kami,” ujar Mark Danielle, putra sulung Mary Jane, Kamis petang, seusai bertemu Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA), I Gusti Ayu Bintang Darmawati.
“Ketika bertemu ibu, saya dan adik saya terus mencium dan memeluk ibu. Kami ingin ibu pulang ke rumah berkumpul dengan kami
Danielle yang akrab disapa Mak-mak mengungkapkan dia dan adiknya hanya berharap ibunya atau ‘nanay’ (panggilan untuk ibu di Filipina) terlepas dari hukuman mati, sehingga bisa kembali ke Filipina berkumpul dengan keluarganya.
“Saya cuma ingin ibu pulang ke rumah, dan memasak makanan untuk kami,” papar Danielle yang mengaku tak pernah lelah berdoa untuk kebebasan ibunya.
Selama pertemuan yang juga didampingi pihak Kedutaan Besar Filipina di Indonesia, kuasa hukum Mary Jane, organisasi Migrante International, dan Keluarga Besar Buruh Migran Indonesia (KABAR BUMI), kedua anaknya tak hanya mencium dan memeluk Mary Jane, mereka juga bergantian meminta ibunya mendekap mereka.
“Anak-anaknya mencium ketiak ibunya, karena itu memori terakhir yang mereka kenang saat ibunya bersama mereka di Filipina. Karena itu, dalam pertemuan itu mereka bergantian mencium dan bersembunyi di dekapan ketiak Mary,” tutur Karsiwen, Ketua KABAR BUMI yang mendampingi keluarga saat menemui Mary Jane.
Danielle berpisah dengan Mary Jane semenjak usia sekitar tujuh tahun, dan adiknya Darren masih berusia satu tahun tiga bulan. Selama tiga belas tahun terakhir, mereka hidup tanpa kasih sayang sang ibu. Mereka dibesarkan kakek dan neneknya.
Seiring beranjak remaja, Danielle dan Darren harus menerima kenyataan pahit ketika mengetahui bahwa ibunya adalah terpidana mati, yang dihukum di Indonesia, karena terkait kasus narkoba.
Curahan hati ibu
Kenyataan pahit pun harus diterima Cesar dan Celia sebagai orangtua Mary Jane. Kepada setiap orang yang ditemui di Jakarta, Celia berulang kali mengungkapkan kepedihannya sebagai ibu, ketika mengetahui Mary Jane ditangkap, dipenjara, dan dihukum mati.
“Sebagai seorang Ibu, sangatlah menyakitkan untuk saya melihat putri saya dipenjara, padahal dia tidak melakukan kesalahan. Putri saya telah menderita karena kesalahan yang tidak dilakukannya,” ujar Celia sambil menangis.
Dia mengaku sulit menerima kenyataan, selama 13 tahun terpisah dari putrinya. Sebab, bagi keluarga besar Veloso, Mary adalah sosok anak yang baik hati dan juga sosok ibu yang penuh perhatian serta penyayang anak-anaknya.
Karena itu, Celia memberanikan diri menulis surat kepada Menteri PPPA, memohon bantuan Menteri Bintang untuk memberikan perhatian pada kasus Mary Jane. Curahan hati seorang ibu dituangkan Celia, dalam surat yang ditulisnya sendiri dalam bahasa Tagalog/Filipino.
“Saya sangat berharap Mary Jane dapat memperoleh grasi, karena putri saya telah mengalami dan menanggung banyak penderitaan. Tolong, kasihanilah putri saya”.
Pada bagian akhir surat tersebut- dalam terjemahan Bahasa Indonesia-Celia mengungkapkan “Saya sangat berharap Mary Jane dapat memperoleh grasi, karena putri saya telah mengalami dan menanggung banyak penderitaan. Tolong, kasihanilah putri saya”.
Menteri PPPA terharu dengan perjuangan keluarga Mary Jane. Bintang Darmawati meminta para perempuan berhati-hati menerima pekerjaan agar tidak menjadi korban perdagangan orang dan mengalami nasib seperti Mary Jane, menjadi terpidana mati dan terpisah dari anak-anaknya selama 13 tahun.
“Kasus Mary Jane menjadi pembelajaran berharga bagi semua perempuan, termasuk perempuan di Indonesia, agar berhati-hati, tidak mudah tergiur oleh iming-iming pekerjaan,” kata Bintang Darmawati.
Menteri PPPA juga menerima surat Migrante Internasional bersama dengan organisasi masyarakat sipil. Dalam surat itu, Migrante Internasional menyatakan Mary Jane adalah korban perdagangan orang dan ditipu dengan janji palsu untuk bekerja sebagai pekerja rumah tangga di Malaysia.
Di Filipina, pada tanggal 30 Januari 2020, Pengadilan Pengadilan Regional Nueva Ecija Cabang 88 menjatuhi hukuman penjara seumur hidup terhadap perekrutnya penipuan ilegal berskala besar. Saat ini, perekrut Mary Jane menghadapi dakwaan perdagangan manusia. Vonis bersalah atas perekrut tersebut membuktikan Mary Jane tak bersalah.
Selain itu, Pemerintah Filipina melalui Departemen Luar Negeri Filipina, telah menyampaikan permohonan grasi secara resmi melalui Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia pada tanggal 20 September 2022.
Korban perdagangan orang
Mary Jane, adalah perempuan pekerja migran asal Filipina, yang divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman, DIY, pada 11 Oktober 2010. Majelis hakim yang mengadilinya menyatakan Mary bersalah atas tindakannya menjadi perantara dalam jual beli Narkotika Golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 gram.
Sebelumnya, Mary ditahan sesaat setelah tiba di Bandara Adisucipto, Yogyakarta pada tanggal 25 April 2010, karena di koper (bagian dinding) yang dibawanya ditemukan bungkusan yang diketahui salah satu jenis narkotika. Saat diperiksa Mary mengakui koper tersebut miliknya tapi tak tahu mengenai kemasan di dalamnya.
Baca juga : Berkaca dari Perempuan Terpidana Mati
Sampai saat ini pun, Mary tetap berkeyakinan dirinya tidak bersalah dan korban. Kendati demikian proses hukum terus berlanjut. Mary Jane melewati semua tingkatan pengadilan di Indonesia. Terakhir ia mengajukan Peninjauan Kembali (PK). Namun, upaya hukum tersebut tak berhasil.
Mary dua kali masuk dalam daftar terpidana mati yang harus dieksekusi pada tahun 2015 (Januari dan April 2015). Pelaksanaan eksekusi pada 29 April 2015 tidak jadi dilaksanakan, menyusul perintah Presiden Joko Widodo yang membatalkannya.
Selain karena besarnya tekanan dari masyarakat internasional dan nasional yang menyatakan Mary Jane adalah korban perdagangan manusia, eksekusi mati Mary dibatalkan, di Filipina, Maria Christina Sergio (yang mengaku terlibat dalam pengiriman Mary Jane ke Indonesia), menyerahkan diri ke kepolisian Filipina.
Proses hukum Maria Christina Sergio adalah kunci kebebasan Mary Jane. Jika benar Mary adalah korban perdagangan orang, seharusnya hukuman Mary Jane bisa dikoreksi (mendapat grasi). Namun sampai saat ini pengadilan Maria Christina masih terhambat, karena belum ada keterangan Mary Jane.
Memohon grasi
Kini, harapan satu-satunya Mary Jane adalah Pemerintah Indonesia (Presiden Joko Widodo) untuk memberikan grasi- yang bisa mengubah hukumannya. Karena itulah, keluarganya datang ke Indonesia, selain mengunjungi Mary di penjara, mereka pun menemui Menteri PPPA, serta sejumlah pimpinan organisasi/lembaga.
Agus Salim, Kuasa Hukum Mary Jane berharap Presiden Jokowi dapat memberikan grasi untuk perubahan hukuman terhadap Mary Jane. Sebab, proses hukum yang berjalan di Filipina merupakan fakta hukum yang membuktikan jika Mary Jane merupakan korban persekongkolan jahat dari pihak yang memanfaatkan Mary Jane.
“Harapan kami dengan kebijaksanaan Bapak Presiden dalam memberikan grasi tersebut menjadikan proses hukum di Indonesia akan menjadi lebih bermartabat, berkeadilan, dan akan lebih dihormati bangsa lain,” kata Agus.
Selain itu kasus Mary Jane, akan menjadi pelajaran buat bangsa Indonesia dalam memperjuangkan pekerja migran Indonesia yang sedang bermasalah di negara lain dan terancam mati.
Tanpa lelah, selama empat hari, anak-anak dan orangtua Mary Jane bertemu Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani, Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Anis Hidayah, serta berdialog dengan ASEAN Intergovernmental Commission on Human Rights (AICHR), jaringan organisasi pendukung Mary Jane.
Keluarganya juga secara khusus bertemu Monsinyur Ignatius Kardinal Suharyo Pr, Uskup Agung Jakarta, mendatangi Kantor KABAR BUMI dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM), serta berbicara dengan media dalam konferensi pers di Human Rights Working Grup (HRWG) dan Komnas HAM.
Mereka terus memohon dukungan agar Mary Jane mendapat grasi Presiden Jokowi, dan suatu saat bebas serta pulang ke rumah di Filipina.