Doa dan Asa Mary Jane dari Balik Jeruji
Menjalani hidup di penjara hampir 13 tahun dengan status terpidana mati menjadi siksaan fisik dan batin yang luar biasa bagi Mary Jane. Namun, dia terus berharap suatu saat kelak bertemu dengan anak-anak dan ibunya.
”Saya mengucap syukur kepada-Mu Tuhan atas kesempatan saya untuk bisa bertemu dengan saudara-saudara saya dari Komnas Perempuan, yang Kau utus untuk selamatkan saya saat akan dieksekusi.
Ini bukan kebetulan, saya percaya Engkau punya rencana dalam hidup saya. Saya percaya mukjizat akan terjadi. Semoga hati Presiden Joko Widodo tersentuh, agar saya bisa bertemu keluarga saya. Terima kasih Tuhan untuk kesempatan ini. Amin.”
Demikian permohonan doa yang dipanjatkan Mary Jane Fiesta Veloso (37), perempuan terpidana mati asal Filipina, Kamis (22/12/2022) siang, saat dikunjungi perwakilan komisioner Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) dan Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) serta tim penasihat hukumnya, di Lembaga Pemasyarakatan Perempuan Kelas IIB Yogyakarta, di Gunung Kidul, DIY.
Mary Jane yang bertemu dengan tiga komisioner Komnas Perempuan, yakni Veryanto Sitohang, Tiasri Wiandani, dan Satyawanti Mashudi, serta Direktur LBHM Muhammad Afif, pengacara Mary Jane, Agus Salim, dan rombongan lain, meminta semua berpegangan tangan, membuat lingkaran, kemudian dia memimpin doa menurut agamanya, Katolik.
Keharuan menyelimuti Mary Jane dan semua yang hadir di aula lapas tersebut. Beberapa tak sanggup menahan air mata. ”Terima kasih, terima kasih,” ucap Mary Jane berulang kali sebelum berpisah.
Siang itu, Mary Jane menerima kunjungan Komnas Perempuan dan rombongan di aula lapas. Saat bertemu, perempuan bertubuh kecil, berkaus hijau, dengan rambut panjang yang dikucir itu langsung memeluk beberapa aktivis yang dikenalnya sambil berseru, ”Selamat Hari Ibu, Selamat Hari Ibu.”
Dalam pelukan hangat pun, perempuan yang kini fasih berbahasa Indonesia itu menyampaikan terima kasih karena hari itu dia dikunjungi. Kunjungan itu sangat berarti bagi Mary Jane, yang beberapa hari lagi menyambut hari Natal. Kerinduan pada buah hatinya, Mark Danielle (20) dan Mark Darren (14), serta keluarganya di Filipina sedikit terobati.
”Saya hanya ingin pulang dan berkumpul dengan keluarga. Waktu saya ditangkap, anak bungsu saya masih satu tahun tiga bulan, sekarang dia sudah 14 tahun,” paparnya. Pada 10 Januari 2023, Mary Jane berusia 37 tahun.
Baca juga : Mary Jane, Terpidana Mati Asal Filipina, Dipindah ke Lapas Gunung Kidul
Sekitar 12 tahun lalu, tepatnya 11 Oktober 2010, perempuan pekerja migran ini divonis hukuman mati oleh Pengadilan Negeri (PN) Sleman. Majelis hakim yang mengadilinya menyatakan dirinya bersalah atas tindakannya menjadi perantara dalam jual beli narkotika golongan I bukan tanaman yang beratnya melebihi 5 gram.
Kasus Mary Jane berawal pada 25 April 2010 saat dia tiba di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta. Ketika itu, koper yang dibawanya melewati pemeriksaan sinar-x dan tampak bintik hijau kecoklatan dalam suatu kemasan. Setelah dinding kopernya dibongkar, ditemukan bungkus aluminium foil berisi serbuk coklat muda yang diketahui sebagai narkotika golongan I (satu) bernama heroin.
Meski mengakui bahwa koper tersebut miliknya, Mary Jane menyatakan tidak tahu-menahu mengenai kemasan di dalamnya. Dia kemudian dibawa anggota Direktorat Narkoba Kepolisian DIY, ditahan di Rutan Sleman, kemudian diproses hukum.
Mary Jane melewati semua tingkatan pengadilan di Indonesia, mulai dari proses banding, kasasi, hingga peninjauan kembali. Namun, upaya hukum tersebut tak berhasil.
Ia dua kali masuk dalam daftar terpidana mati yang harus dieksekusi pada 2015, yakni pada Januari dan April. Namun, eksekusi terakhir pada 29 April 2015 tidak jadi dilaksanakan, menyusul perintah Presiden Joko Widodo yang membatalkannya.
Selain karena besarnya tekanan dari masyarakat internasional dan nasional yang menyatakan Mary Jane adalah korban perdagangan manusia (human trafficking), eksekusi atas Mary tidak dilakukan karena pada April 2015, Maria Christina Sergio, yang mengaku terlibat dalam pengiriman Mary Jane ke Indonesia, menyerahkan diri ke kepolisian Filipina.
Di detik-detik terakhir eksekusi hukuman mati, Mary Jane batal dieksekusi, menyusul desakan publik, DPR, dan Komnas Perempuan kepada Presiden untuk membatalkan eksekusinya.
Berjuang menggapai keadilan
Sudah hampir 13 tahun Mary Jane mendekam dalam penjara, hidup dalam ketidakpastian sebagai terpidana mati. Banyak perubahan terjadi dalam dirinya. Penundaan eksekusi mati memberinya harapan untuk berjuang mendapatkan keadilan.
Kemampuannya dalam berbahasa Indonesia yang semakin bagus membuat Mary Jane bisa berkomunikasi dengan baik, bahkan bisa menceritakan secara terang bagaimana kasus yang menimpanya, dan membuat dia menjadi korban. ”Dulu aku sama sekali enggak mengerti karena aku tidak bisa berbahasa Indonesia. Sekarang aku bisa ceritakan semuanya,” tutur Mary Jane.
Dia pun menceritakan bagaimana saat dirinya ditahan hingga proses pengadilan. Dia menghadapi kendala dalam berkomunikasi karena penerjemah yang diberikan untuk mendampinginya masih mahasiswa.
Karena itulah, komunikasi yang tidak nyambung selama proses hukum dijalaninya. Bantuan hukum yang diterima tidak maksimal.
Kini, setelah bisa berbahasa Indonesia, Mary Jane ingat semua situasi yang dialaminya saat proses pengadilan yang sangat merugikan dirinya. ”Waktu sidang saya selfie-selfie di ruangan tahanan, saya sama sekali tidak tahu saat itu saya di antara hidup dan mati. Sekarang saya tahu karena bisa bahasa Indonesia meskipun bahasa Inggris saya terbatas,” ujarnya.
Perempuan sering dipaksa atau dimanipulasi melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang berisiko langsung untuk tertangkap dan berhadapan dengan hukuman mati.
Sekarang Mary Jane pun menyadari bahwa sejak awal dirinya dimanfaatkan oleh Christina dan jaringannya untuk membawa narkotika ke Indonesia. Christina memanfaatkan traumanya (yang pernah hampir diperkosa di Dubai) dan mengirimkan dia ke Yogyakarta.
Sekarang Mary Jane pun ingat bagaimana cerita ibunya ketika dirinya ditangkap di Yogyakarta, Christina bilang kepada ibunya bahwa Mary Jane sempat bekerja di Malaysia, tapi kemudian kabur dengan laki-laki ke Indonesia.
Karena itulah, meskipun kini menjadi terpidana mati, Mary Jane tetap mengaku dirinya tak bersalah. Kepada Komnas Perempuan, dia kembali mengungkapkan harapan untuk mendapatkan keadilan atas dirinya. Apalagi, setelah dia tahu ada salah satu perempuan terpidana dalam kasus narkoba, yang terbukti enam kali membawa narkoba ke luar negeri, dibebaskan pada 2020.
Baca juga : ”Kematian Kedua” Para Perempuan Terpidana Mati
Meskipun sudah hampir 13 tahun mendekam dalam penjara, asa untuk mendapatkan keadilan kini terus dijaganya. ”Jujur, lima tahun pertama sejak divonis mati, saya sangat stres, tidak bisa tidur. Saya sempat benci kepada Tuhan. Ini tidak adil Tuhan,” ujar Mary Jane yang kini juga bisa menyanyi lagu-lagu Jawa.
Ketika eksekusinya ditunda, dia pun mulai bangkit. Dukungan Komnas Perempuan dan sejumlah pihak memberinya kekuatan untuk terus berjuang mendapat keadilan. ”Di hari Natal kali ini, saya cuma bisa berdoa kepada Tuhan karena Tuhan tahu saya tidak bersalah,” ungkapnya.
Sebelum berpisah dengan Komnas Perempuan, Mary Jane menitipkan kain batik tulis buatan tangannya untuk Presiden Jokowi dan Nyonya Iriana Jokowi. Kini, selain membatik, Mary Jane mengisi hari-harinya di lapas dengan berbagai kegiatan, bersama narapidana lainnya.
Komnas Perempuan mengapresiasi upaya yang dilakukan pihak lapas, yang melibatkan perempuan terpidana mati dalam kegiatan sosial keagamaan, termasuk memberikan keterampilan kerja untuk penghuni. Hal itu merupakan bagian dari upaya pemulihan untuk perempuan terpidana mati.
Mary Layak dapat kesempatan
Karena itu, Komnas Perempuan berharap pemerintah memenuhi permohonan grasi Mary Jane yang telah menjalani 13 tahun penjara. Mary Jane layak memperoleh kesempatan kembali pada keluarganya. Apalagi, berdasarkan informasi dari petugas lapas dan penghuni lapas yang tinggal bersama Mary Jane, dia berperilaku baik.
Veryanto Sitohang menegaskan, sebagai lembaga hak asasi manusia negara, Komnas Perempuan berpandangan hukuman mati/pidana mati merupakan salah satu bentuk penghukuman yang bertentangan dengan hak paling dasar bagi setiap individu, yakni hak untuk hidup. ”Hukuman mati tergolong penyiksaan dan perlakuan yang kejam, tidak manusiawi, dan melanggar HAM,” ujarnya.
Kasus Mary Jane dan perempuan terpidana mati lainnya, berdasarkan pemantauan Komnas Perempuan, menunjukkan bahwa peran perempuan dalam sindikasi kejahatan narkoba berada di lapis paling luar dan lemah (powerless).
”Perempuan sering dipaksa atau dimanipulasi melakukan tindakan-tindakan kejahatan yang berisiko langsung untuk tertangkap dan berhadapan dengan hukuman mati,” katanya.
Direktur Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Muhammad Afif mengungkapkan, meskipun eksekusi matinya ditangguhkan, hingga kini tekanan psikologis dan mental terus dihadapi Mary Jane.
”Sementara hukum yang berlaku hanya menjangkau persoalan narkotika, tapi tumpul menguji latar belakang kekerasan seksual dan problem yang dialami buruh migran, yang menyebabkan mereka terjebak dalam sindikat peredaran gelap narkotika. Akibatnya, vonis bersalah akan selalu diterapkan,” kata Afif.
Karena itulah, ketidakpastian status Mary Jane harus jadi perhatian. Secara normatif, keputusan perubahan hukuman mati Mary Jane sudah habis sehingga tidak menyisakan celah untuk digunakan.
Maka, saat ini, selain berharap kepada Presiden Jokowi (Pemerintah Indonesia) untuk mengoreksi hukumannya, posisi Mary Jane juga bergantung pada kejelasan proses hukum dari Christina di Filipina terkait perdagangan orang. Namun, saat ini pengadilannya masih terhambat karena pengambilan keterangan dari Mary Jane belum ada kepastian waktunya.
Padahal, pengadilan terhadap Christina penting untuk membongkar kasusnya secara komprehensif, termasuk status hukum Mary Jane yang saat ini masih sebagai terpidana mati.
”Membiarkannya dalam bayang-bayang eksekusi mati yang nyawanya bisa direnggut kapan pun adalah bentuk pelanggaran serius, karena membiarkan hukuman berlapis dijalaninya,” ujar Afif.
Harapan akan pembebasan Mary Jane pun diungkapkan pengacaranya, Agus Salim. Sejak ditangkap hingga saat ini, Mary Jane telah menjalani hidup di penjara hampir 13 tahun, padahal faktanya dia adalah korban.
”Kami sangat berharap kepada Presiden Jokowi agar Mary Jane bisa dibebaskan, pulang ke kampung halamannya, bertemu dengan anak-anaknya dan ibunya,” tambah Agus.