Dua Dekade Mendokumentasikan Kasus Kekerasan Berbasis Jender
Kekerasan terhadap perempuan dari tahun ke tahun terus meningkat dalam berbagai modus. Pendataan kasus-kasus kekerasan berbasis jender menjadi penting bagi pemerintah dan masyarakat sipil.

Suasana Peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, Selasa (7/3/2023), di Hotel Santika Premier, Hayam Wuruk, Jakarta.
Kekerasan terhadap perempuan terus meningkat dalam dua dekade terakhir. Hal ini direkam oleh Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan yang merintis pendataan nasional kasus kekerasan terhadap perempuan sejak tahun 2001 melalui catatan tahunan.
Perjalanan panjang tersebut memberikan banyak pelajaran dan pengalaman sekaligus membangun pengetahuan berbasis pengalaman perempuan korban dalam berbagai konteks.
Untuk menggambarkan bagaimana kekerasan terhadap perempuan dapat terjadi, Komisi Nasional Antikekerasan Terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) membagi pencatatan kasus kekerasan terhadap perempuan (KtP) berdasarkan ranah pribadi, publik, dan negara. Kekerasan berbasis jender (KBG) juga tercatat.
Kendati menghadapi berbagai tantangan, Komnas Perempuan berhasil menyusun catatan tahunan (catahu) setiap tahun. Selama 21 tahun, terkumpul data umum 3.846.237 laporan.
Baca juga: Pengetahuan tentang Kekerasan Berbasis Jender Terus Tumbuh
Setelah diverifikasi, 2.766.474 laporan KBG yang dominan terjadi di ranah personal, publik, dan negara. Dari total KBG tersebut, jumlah tertinggi pada Catahu 2021 dengan 338.496 kasus dan terendah pada tahun 2001 sebanyak 3.169 kasus.

Warga membubuhkan tanda tangan saat aksi Menolak Kekerasan terhadap Perempuan di Solo, Jawa Tengah, Minggu (9/12/2018). Aksi tersebut untuk mendorong pemerintah serta DPR RI segera mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual karena akan memberikan perlindungan terhadap perempuan dan mengurangi angka kekerasan seksual.
”Jadi tidak semua kekerasan pada perempuan karena dia sebagai perempuan. Kekerasan yang dialami perempuan karena dia perempuan yang dianalis dan disebut kekerasan berbasis jender,” ujar komisioner Komnas Perempuan, Alimatul Qibtiyah, pada Peluncuran Hasil Kajian 21 Tahun Catahu Komnas Perempuan, Selasa (20/6/2023), di kantor Komnas Perempuan, Jakarta.
Tertinggi, kekerasan di ranah personal
Hasil kajian 21 tahun catahu menemukan dua dekade lebih kasus KBG di ranah personal paling tinggi jumlahnya, yakni lebih dari 2,5 juta kasus. Kasus paling banyak dilaporkan kekerasan terhadap istri (KTI), yakni 484.993 kasus, dengan jumlah KTI tertinggi di Catahu 2009 sebanyak 131.375 kasus.
Kekerasan dalam pacaran (KDP) menempati posisi kedua terbanyak dalam kekerasan di ranah personal, yaitu 26.629 kasus, dengan catatan jumlah tertinggi di Catahu 2015 sebanyak 2.839 kasus.
Tingginya angka kekerasan di ranah personal karena sejumlah faktor. Selama ini, kekerasan di ranah personal atau domestik tidak dikenali kekhasannya sebagai akibat ketimpangan relasi jender antara laki-laki dan perempuan.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F12%2F12%2F838b739e-ebe9-4eed-9049-c50858eafb86_jpg.jpg)
Calon penumpang melintas di depan foto-foto aktivis perempuan yang menyuarakan kampanye antikekerasan terhadap perempuan di Stasiun Gambir, Jakarta, Senin (12/12/2022). PT KAI Daop 1 Jakarta bersama Suara Hati Perempuan Foundation menyelenggarakan pameran karya seni dalam rangka memperingati Kampanye internasional 16 Hari Antikekerasan terhadap Perempuan budaya.
”Hal ini disebabkan perempuan dalam struktur masyarakat patriarki ditempatkan di ranah domestik dan subordinat sebagai milik pria. Jadi, kekerasan di ranah personal merupakan masalah pribadi yang tak boleh dicampuri orang lain, termasuk negara melalui aturan hukumnya,” kata komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah Tardi.
Situasi ini mengakibatkan para korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) atau kekerasan dalam relasi personal tidak dapat mengklaim keadilannya dan membangun impunitas pelaku.
Baca juga: Tidak Semua Laki-laki Aktor dalam Kekerasan Jender
Kalaupun pelaporan dilakukan, hukum akan menerapkan hukum pidana umum yang tidak mengakui kerentanan perempuan. ”Karena itulah kemudian KDRT kerap disebut sebagai kejahatan tanpa hukuman,” tegas Aminah.
Perempuan dalam struktur masyarakat patriarki ditempatkan di ranah domestik dan subordinat sebagai milik pria. Jadi, kekerasan di ranah personal merupakan masalah pribadi yang tak boleh dicampuri orang lain.
Di ranah negara, KBG yang dicatat selama 21 tahun catahu jumlahnya paling sedikit kasusnya, yakni 2.292 kasus. Hal ini disebabkan pada awal pencatatan, kasus kekerasan di ranah negara tak banyak terdokumentasikan. Baru pada Catahu 2014, KBG terhadap perempuan di ranah negara semakin dikenali.
Adapun KBG di ranah publik selama 21 tahun Catahu tercatat sekitar 87.000 kasus dengan jumlah yang mengalami naik-turun. Angka kasus KBG di ranah publik paling tinggi 6.683 kasus, yang tercatat pada Catahu 2009.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F07%2F28%2F266e35a4-4166-42c8-a721-e42d790eee76_jpg.jpg)
Potret bekas cat telapak tangan sebagai tanda solidaritas untuk stop kekerasan terhadap anak dalam Peringatan Hari Anak Nasional tingkat Jawa Barat di Kabupaten Kuningan, Kamis (28/7/2022). Kasus kekerasan terhadap perempuan dan anak di provinsi itu meningkat dari 389 kasus pada 2020 menjadi 505 kasus tahun selanjutnya.
Kekerasan di ranah publik (awalnya disebut ranah komunitas) dilakukan oleh orang yang tidak dikenal, teman kerja, tetangga ataupun orang yang memiliki hubungan struktural dengan korban, misalnya atasan di tempat kerja, majikan pada konteks buruh migran, dan agen pada konteks perdagangan orang.
Dalam perkembangannya, berdasarkan identifikasi pelaku, KBG di ranah publik kemudian bergerak ke lokus (tempat terjadinya kekerasan).
Pada Catahu 2021 disepakati menjadi KBG di ranah publik terdiri dari kekerasan di dunia siber, kekerasan di wilayah tempat tinggal, kekerasan di tempat kerja baik di dalam negeri, (4) kekerasan di tempat kerja di luar negeri, kekerasan di tempat umum, kekerasan di tempat pendidikan, dan kekerasan di fasilitas medis.
Dalam perjalanannya, pada tahun 2010, Catahu Komnas Perempuan mulai mendata kekerasan berdasarkan bentuknya, yaitu kekerasan seksual, fisik, psikologi, dan ekonomi. Dari pencatatan, paling banyak adalah kekerasan psikis (6.978.719 kasus), seksual (6.820.864), fisik (230.811 kasus), dan ekonomi (421.790). Hampir semua korban mengalami kekerasan yang berdampak psikologis atau berlapis.
Baca juga: Ancaman Nyata di Dunia Maya
Dari Catahu terlihat karakteristik korban dan pelaku/terlapor dari berbagai latar belakang mulai dari usia, tingkat pendidikan, hingga profesi/status pekerjaan. Dari sisi usia, umumnya pelaku lebih dewasa daripada korban. Begitu juga dari sisi pendidikan pelaku, lebih tinggi daripada korban.
Tren ini tidak mengalami perubahan sepanjang 21 tahun. Kondisi tersebut memperlihatkan adanya relasi kuasa berlapis antara korban dan pelaku.
Sementara profesi korban dan pelaku atau terlapor beragam. Namun, dari Catahu terlihat pelaku dengan profesi-profesi yang seharusnya jadi panutan, seperti tokoh agama, pejabat publik, dosen, guru, TNI/Polri, dan tenaga medis.

Anggota Komnas Perempuan bersama undangan foto bersama pada Peluncuran Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan 2023, Selasa (7/3/2023), di Hotel Santika Premier, Hayam Wuruk Jakarta.
Didukung organisasi
Ketua Komnas Perempuan Andy Yentriyani menuturkan, catahu digagas pada akhir 2001 karena adanya kebutuhan mendesak untuk menghadirkan data nasional kasus kekerasan terhadap perempuan, yang saat itu belum ada rujukannya sama sekali.
Ketika melansir data nasional pertama kali, Komnas Perempuan berkoordinasi dengan 35 lembaga. Namun, dalam perkembangannya, jumlah organisasi atau lembaga yang terlibat menyusun catahu Komnas Perempuan pun bertambah. Hingga 2021, hampir 1.800 organisasi dan lembaga terlibat dalam penyusunan catahu tersebut
Kerja sama yang terus dibangun bersama lembaga pengada layanan baik berbasis pemerintah maupun masyarakat, termasuk institusi penegak hukum, menghasilkan data kekerasan terhadap perempuan, bahkan menjadi rujukan sejumlah pihak, seperti peneliti dan pengambil kebijakan.
”Seluruh informasi dalam catahu memungkinkan gerakan perempuan dan gerakan hak asasi manusia pada umumnya menggulirkan advokasi berbasis data, baik di tingkat undang-undang maupun kebijakan lokal, pada aspek pelindungan dan pemulihan bagi korban, serta memastikan ketidakberulangan kekerasan,” tegas Andy.
Dia mencontohkan, bagaimana catahu memberikan pengaruh dalam mendorong hadirnya regulasi perlindungan bagi perempuan, seperti dalam UU Tindak Pidana Kekerasan Seksuan (TPKS) yang baru saja disahkan pada 2022.

Hingga kini ada empat sumber data. Pertama, pengaduan langsung ke Unit Pengaduan dan Rujukan (UPR) Komnas Perempuan. Kedua, pengumpulan kuesioner dari lembaga layanan mitra Komnas Perempuan. Ketiga, Badan Peradilan Agama (Badilag) Mahkamah Agung. Keempat, mitra terkait isu yang butuh perhatian khusus.
Catahu Komnas Perempuan selama 21 tahun mendapat tanggapan positif dari berbagai pihak, baik pemerintah maupun organisasi/lembaga mitra Komnas Perempuan.
Direktur Hukum dan Regulasi, Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional Dewo Broto Joko menilai catahu Komnas Perempuan selama 21 tahun amat penting bagi lembaga seperti Bappenas karena data itu bisa dipakai dalam penyusunan anggaran.
”Kami mendukung kelanjutan kajian ini karena mencerminkan kekerasan perempuan yang terjadi. Kajian ini penting untuk penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional dan Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional,” kata Dewo Broto.