Ancaman Nyata di Dunia Maya
Di tengah mobilitas penduduk yang dibatasi selama pandemi, tren kekerasan seksual di dunia maya meningkat. Ini harus menjadi alarm bagi pengambil kebijakan dan penegak hukum untuk bertindak lebih tegas dan jelas.
Infeksi Covid-19 varian Omicron bukan satu-satunya ancaman di tengah pandemi saat ini. Kekerasan berbasis jender yang terjadi di dunia maya termasuk kekerasan seksual juga terus meningkat jumlahnya, mencemaskan, dan menempatkan Indonesia dalam situasi darurat kekerasan seksual.
Di the Conversation, 21 Desember 2020, dosen hukum dan studi jender Universitas Indonesia Lidwina Inge Nurtjahyo menyebut kekerasan jender berbasis daring sebagai serangan terhadap tubuh, seksualitas, dan identitas jender seseorang yang difasilitasi teknologi digital.
Catatan Tahunan Komnas Perempuan Tahun 2021 menyebut, per September 2021, tercatat ada 1.983 kasus kekerasan seksual yang dilaporkan terjadi di ranah personal (rumah tangga). Dari jumlah tersebut, 329 di antaranya merupakan kasus kekerasan berbasis gender siber yang naik signifikan selama pandemi Covid-19. Kasus kekerasan seksual di ranah personal terbanyak yang dilaporkan adalah pencabulan (402 kasus), perkosaan (309), pelecehan seksual (220), serta inses (215).
Sementara itu, pada ranah komunitas (ruang publik) terdapat 962 laporan kasus kekerasan seksual dengan teman dan tetangga menjadi pelaku paling banyak dilaporkan, masing-masing 330 kasus dan 209 kasus.
"Sebelumnya, yang paling tinggi adalah ayah kandung, ayah angkat, kakek, om, dan anggota keluarga lainnya. Sementara di ranah privat, pacar dan mantan pacar menjadi yang paling tinggi. Artinya apa? Banyak sekali yang menjadi korban kekerasan seksual ini adalah anak dan remaja perempuan," tutur Komisioner Komnas Perempuan Veryanto Sitohang dalam webinar Rutgers Media Fellowship beberapa waktu lalu.
Very mengatakan, pandemi Covid-19 turut berperan dalam peningkatan kasus kekerasan seksual oleh pacar dan mantan pacar. Ini terlihat dari tren kasus kekerasan berbasis gender siber yang meningkat hingga 350 persen dibandingkan dengan tahun 2019. Tren ini berbanding lurus dengan data dari Kementerian Telekomunikasi dan Informatika yang menyebut jumlah pengguna internet di Indonesia mencapai 202,6 juta, dengan 30 juta di antaranya adalah anak-anak dan remaja.
Komnas Perempuan pun mengaku kewalahan dengan banyaknya laporan kekerasan yang masuk di tahun 2021. Penggunaan media sosial yang aktif membuat korban kini lebih berani mengungkapkan kekerasan seksual yang dialaminya, bahkan sebelum membuat laporan dan meminta pendampingan. Tujuannya, mendapatkan atensi publik agar kasus bisa ditangani dengan serius oleh pihak berwajib. Media sosial menjadi ruang bagi korban-korban kekerasan seksual untuk bersuara sekaligus mencari keadilan.
"Seperti kasus di KPI beberapa waktu lalu, begitu viral di media sosial langsung ditindaklanjuti. Padahal, sebelumnya korban sudah pernah membuat laporan kepolisian tapi tidak ditindak. Kasus KPI juga menjadi bukti bahwa yang bisa menjadi korban bukan hanya perempuan, tapi juga laki-laki," papar Very.
Meski terjadi di dunia maya, kekerasan jender tetap berdasar pada relasi kuasa yang timpang. Tujuan pelaku melakukannya adalah untuk memperoleh keuntungan seksual maupun finansial atau keduanya dengan menimbulkan perasaan tidak nyaman dan kerugian pada diri korban. Menurut Lidwina, setidaknya ada tiga bentuk kekerasan ini, yaitu kekerasan seksual yang difasilitasi teknologi, penyebaran konten seksual, dan balas dendam dengan pornografi.
Kami berharap penyempurnaan substansi RUU TPKS agar mengedepankan kepentingan korban dengan mengadopsi enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual
Namun, situasi yang mengkhawatirkan ini, di satu sisi, menjadi pendorong agar Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS) segera disahkan. Presiden Joko Widodo pun melihat urgensi ini dan mendesak agar RUU TPKS segera disahkan.
Kini, setelah RUU tersebut ditetapkan sebagai RUU Usul Inisiatif Dewan Perwakilan Rakyat, proses pembahasan terus bergulir. Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) mengingatkan pentingnya penyempurnaan substansi RUU TPKS, terutama dalam penyusunan Daftar Isian Masalah (DIM) di tingkat pemerintah. Hal ini penting untuk memastikan pemenuhan hak korban secara komprehensif.
”Kami berharap penyempurnaan substansi RUU TPKS agar mengedepankan kepentingan korban dengan mengadopsi enam elemen kunci penghapusan kekerasan seksual,” ujar Komisioner Komnas Perempuan Siti Aminah Tardi, bersama komisioner lainnya, Maria Ulfa Ansor dan Mariana Amiruddin, dalam keterangan pers, Rabu (19/1/2022).
Terkait tingginya kekerasan berbasis gender siber, Komnas Perempuan juga mengusulkan sejumlah penyempurnaan dalam Rancangan Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), seperti penambahan jenis kekerasan siber berbasis jender terhadap perempuan, selain pelecehan seksual teknologi dan informasi seperti tindak pidana rekayasa pornografi (deepfake pornography/morphing). Selain itu, perlu dirumuskan pula hak korban atas penghapusan jejak digital atau hak untuk dilupakan (the right to be forgotten), (Kompas.id, 20/1/2022).
Situasi global
Konsultan Perempuan, Bisnis, dan Hukum di Bank Dunia Siyi Wang dan Nessy Affoum menulis di laman resmi Bank Dunia, 9 Desember 2021, bahwa pandemi telah meningkatkan konektivitas internet global. Sejalan dengan ini, pelecehan dan kekerasan perempuan di dunia maya juga meningkat, seperti perundungan siber, ujaran kebencian, cyber stalking, dan public shaming.
Bahkan, sebelum pandemi pun, perempuan cenderung menjadi target kekerasan siber. Di Amerika Serikat, misalnya, 21 persen dari perempuan berusia 18-29 tahun yang disurvei melaporkan telah menjadi korban pelecehan seksual daring. Angka ini jauh lebih tinggi daripada laki-laki yang sembilan persen.
Disebutkan pula bahwa fenomena meningkatnya kekerasan atau pelecehan seksual daring terhadap perempuan dan remaja/anak perempuan dilaporkan juga di banyak negara seperti Filipina, Australia, India termasuk di kawasan Timur Tengah dan Afrika Utara.
Baca juga : Waspadai Kekerasan Perempuan Berbasis Siber
Tak cuma berdampak dalam aspek psikologis, sosial, dan kesehatan reproduksi pada korban, kekerasan seksual berbasis jender siber pun ternyata berimplikasi pada ekonomi. Riset terbaru dari the Australian Institute menunjukkan bahwa pelecehan daring dan kebencian siber menimbulkan beban ekonomi kesehatan dan kehilangan pendapatan sebesar 3,7 miliar dollar AS.
Margianta Surahman dari Emancipate Indonesia mengatakan, mengungkap kejahatan dan kekerasan seksual yang dialami di media sosial merupakan langkah positif. Sebelumnya, kasus kekerasan seksual yang terjadi kerap tidak dilaporkan karena korban dikucilkan dan dianggap sebagai aib. Korban juga umumnya mendapatkan stigma bahkan dari aparat penegak hukum.
Relasi kuasa juga menjadi faktor penyebab korban kekerasan seksual enggan melapor. Korban bisa dilaporkan kembali sebagai pelaku atau kekerasan seksual yang dialaminya tidak dikategorikan sebagai tindak pidana. Menurut Margianta, kekerasan seksual adalah masalah struktural yang perlu direspons secara serius.
"Korban juga masih belum mendapat ruang aman saat melapor ke polisi. Tidak sedikit pula yang menjadi korban kembali di ruang polisi. Jadi mau tidak mau, diungkap di media sosial yang paling memungkinkan untuk ditindak lanjuti," terangnya lagi.
Baca juga ; Kriminalisasi Perempuan Meningkat, Revisi UU ITE Kian Mendesak
Pemulihan
Setiap laporan kasus kekerasan seksual perlu mendapat perhatian lebih. Korban yang sudah melapor tidak hanya wajib mendapatkan pendampingan agar kasus bisa diselesaikan, tapi juga pendampingan untuk pemulihan.
Ketika pelaku kekerasan sudah mendapat hukuman pidana, tidak sedikit korban kekerasan yang masih bergulat dengan trauma yang dialaminya. Risiko mengalami gangguan jiwa meningkat yang bahkan bisa berujung pada upaya bunuh diri.
Very mengatakan, pemulihan yang dibutuhkan oleh korban kekerasan memang belum menjadi prioritas, terutama oleh negara. Karena itu, Komnas Perempuan bersama beberapa mitra mengembangkan Sistem Peradilan Pidana Terpadu Penanganan Kasus Kekerasan Terhadap Perempuan (SPPT PKKTP).
"Pemulihan sangat penting karena meski kasus sudah inkrah, korban anak dan perempuan masih mengalami trauma, yang membuat situasinya tidak baik. Pelaku bisa saja sudah dihukum dan dipenjara, tapi korban bisa mengalami penderitaan seumur hidup," terang Very.
Trauma yang dialami korban tidak hanya berasal dari kekerasan yang dialaminya. Penelantaran oleh keluarga, tidak adanya kepedulian dari teman dan kerabat, hingga stigma dari masyarakat juga bisa membuat korban kekerasan seksual mengalami trauma.
Margianta menambahkan, pendampingan pemulihan paling awal yang bisa dilakukan adalah dengan mendengarkan dan menggunakan sudut pandang korban. Hal ini sangat penting terutama dalam pemberitaan seputar kasus kekerasan seksual di media massa.
Relasi kuasa yang timpang, terlebih jika pelaku memiliki kedudukan dan status sosial lebih tinggi, berisiko membuat korban tidak didengar oleh masyarakat luas. Di sini, media perlu membentuk narasi yang berpihak kepada korban dengan cara mendengarkan cerita dan kronologis versi korban.
Penting juga mengetahui jenis-jenis kekerasan yang bisa terjadi pada perempuan untuk bisa membantu pemulihan yang baik dan sesuai. Sebab, kekerasan yang terjadi pada perempuan bukan hanya kekerasan seksual, tapi juga kekerasan fisik, kekerasan psikis, hingga penelantaran ekonomi.
"Kita tahu bahwa korban tidak bisa sendirian. Makanya seluruh lembaga terkait, seperti advokat gender, LBH Apik, hingga pemerintah perlu bekerja sama untuk bisa memfasilitasi pemulihan korban," tutup Margianta.