Perlindungan Anak dari Iklan Rokok Kian Lemah dalam RUU Kesehatan
Anak semakin terbelenggu paparan iklan, promosi, dan sponsor rokok. Namun, upaya perlindungan pemerintah melalui regulasi justru kian lemah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Anak semakin tidak terlindungi dari gempuran iklan, promosi, dan sponsor rokok. Rancangan Undang-Undang Kesehatan yang diharapkan bisa memperkuat upaya perlindungan tersebut nyatanya tidak terwujud. Aturan yang tertuang dalam RUU Kesehatan justru dinilai semakin lemah.
Direktur Program Indonesia Institute for Social Development (IISD) Ahmad Fanani menuturkan, undang-undang seharusnya bisa menjadi landasan untuk mengatasi persoalan di masyarakat pada saat ini dan di masa yang akan datang. Dengan semakin besarnya persoalan masyarakat akibat dampak buruk rokok, RUUU Kesehatan yang saat ini masih dibahas seharusnya bisa memperkuat upaya pengendalian produk tembakau.
”Namun, RUU Kesehatan ini justru semakin melemahkan aturan pengendalian tembakau. Masalah untuk pengendalian tembakau kian besar, namun aturannya tidak berubah. Aturan larangan iklan rokok yang paling dibutuhkan saat ini. Tetapi, tidak ada satu pun klausul di RUU yang menyebutkan itu,” katanya ketika berkunjung ke Redaksi Harian Kompas di Jakarta, Kamis (22/6/2023). Dalam kunjungan tersebut, Ahmad mewakili IISD yang tergabung dalam Koalisi Perlindungan Masyarakat dari Produk Zat Adiktif Tembakau.
RUU Kesehatan ini justru semakin melemahkan aturan pengendalian tembakau. Masalah untuk pengendalian tembakau kian besar, namun aturannya tidak berubah.
Menurut Ahmad, iklan, promosi, dan sponsor rokok yang semakin masif menyebabkan normalisasi penggunaan rokok. Persepsi masyarakat terkait bahaya rokok kini sudah semakin menurun. Tidak adanya aturan yang tegas melarang iklan rokok menunjukkan sikap abai pemerintah untuk melindungi kelompok rentan dari bahaya rokok, terutama anak.
Penelitian pada anak dan remaja dalam Global Youth Tobacco Survey 2019 menunjukkan, pelajar di Indonesia melihat iklan rokok di berbagai tempat dan media. Sebanyak 60,9 persen pelajar mengaku melihat iklan rokok di luar ruang, 65,2 persen di tempat penjualan, 65,2 persen di televisi, 36,2 persen di internet, dan 23,9 persen di media cetak.
Paparan pada iklan tersebut patut menjadi perhatian karena iklan dapat memengaruhi anak untuk mulai merokok. Mengutip studi Universitas Muhammadiyah Prof Dr Hamka pada 2007, sekitar 70 persen remaja mulai merokok karena terpengaruh iklan. Sebanyak 46,3 persen bahkan menyatakan, iklan memiliki pengaruh yang besar.
Ketua Lentera Anak Lisda Sundari menyampaikan, aturan larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok seharusnya bisa dimasukkan dalam RUU Kesehatan. Aturan terkait larangan iklan tersebut tidak cukup jika hanya dimuat dalam peraturan pemerintah.
”Selama ini, aturan iklan rokok yang diusulkan dalam revisi PP 109 Tahun 2012 (Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan) terkendala dengan Undang-Undang Pers dan Undang-Undang Penyiaran karena tidak ada cantolan aturan di atasnya. Itu sebabnya, iklan rokok harus diatur dalam RUU Kesehatan,” tuturnya.
Lisda mengatakan, apabila aturan pelarangan iklan rokok tidak dimasukkan dalam Undang-Undang Kesehatan, larangan iklan rokok hanya bisa diterapkan di kawasan luar ruang, dalam ruang, dan internet. Sementara larangan iklan di televisi, media daring, dan media cetak tidak bisa diterapkan. Padahal, anak banyak terpapar iklan rokok di media tersebut.
Selain itu, aturan dalam RUU Kesehatan juga menunjukkan sikap pemerintah yang tidak konsisten dalam pengendalian produk tembakau. Sesuai Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional tahun 2020-2024, Indonesia menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7 persen pada 2024.
Target itu akan dicapai melalui beberapa upaya, antara lain pelarangan total iklan dan promosi rokok, perbesaran ukuran peringatan bergambar bahaya merokok, serta peningkatan cukai hasil tembakau. ”Dengan aturan yang ada saat ini, kita akan mengalami kemunduran dalam pengendalian tembakau. Kami pun mendorong agar pengesahan RUU Kesehatan ditunda,” kata Lisda.
Ketua Tobacco Control Support Center-Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (TCSC-IAKMI) Sumarjati Arjoso menambahkan, upaya pengendalian produk tembakau di Indonesia dinilai semakin lemah dan tidak jelas. Anak-anak yang diharapkan bisa menjadi generasi emas pada 2045 juga tidak mendapatkan perlindungan yang kuat dari ancaman rokok.
”Prevalensi perokok anak tidak semakin menurun, malah meningkat. Itu memperlihatkan bahwa negara lebih dari gagal untuk menurunkan angka perokok anak,” ucapnya. Data Riset Kesehatan Dasar mencatat, prevalensi perokok anak meningkat dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.