Pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok mesti dilakukan secara komprehensif untuk menekan angka perokok pemula di Indonesia. Iklan memiliki pengaruh kepada anak dan remaja untuk mulai merokok.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Aturan pembatasan iklan rokok perlu diperkuat dengan sanksi yang tegas. Penegakan aturan semakin urgen karena prevalensi merokok pada populasi anak-anak dan remaja meningkat.
Staf Pengajar Departemen Kesehatan Masyarakat dan Kedokteran Pencegahan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana, Ketut Suarjana, mengatakan, sebanyak 41,5 persen remaja mulai merokok karena kegiatan sponsor rokok. Selain itu, 46,3 persen remaja mengaku bahwa iklan memberi pengaruh besar dalam merokok.
”Karena itu, implementasi pelarangan iklan, promosi, dan sponsor harus dilakukan secara komprehensif. Meskipun sudah ada aturan, penegakan kebijakan juga perlu ditingkatkan yang bisa disertai dengan sanksi,” tuturnya dalam acara Diseminasi Publik Indonesia Tobacco Control Research Network (ITCRN) 2021, di Jakarta, Kamis (30/6/2022).
Selain itu, Ketut menambahkan, penguatan kebijakan iklan, promosi, dan sponsor rokok juga perlu diberlakukan tidak hanya pada media luar ruangan, tetapi juga titik-titik penjualan. Penegakan kebijakan ini terutama pada pajangan rokok di titik penjualan yang masih belum ditutup.
Komitmen pemerintah yang sudah berjalan diharapkan pula dapat tetap dipertahankan untuk menghadapi intervensi industri rokok. Aturan yang lebih kuat bisa diterbitkan.
Jika sebelumnya masih sebatas aturan bupati, dapat diperkuat dalam bentuk peraturan daerah. Adopsi strategi daerah lain juga dapat juga diperlukan karena industri rokok dinilai sering menggunakan strategi yang sama secara global.
Staf pengajar Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret, Ernoiz Antriyandarti, menuturkan, kebijakan yang berkaitan untuk mencegah pelajar dan mahasiswa menjadi perokok baru menjadi sangat diperlukan. Itu bisa dilakukan melalui pelarangan iklan, kenaikan tarif cukai, dan edukasi mengenai bahaya merokok.
”Mencegah perokok baru merupakan kunci pengendalian epidemi tembakau mengingat prevalensi merokok yang meningkat pada populasi anak-anak dan remaja berusia 10-18 tahun,” katanya.
Data Riset Kesehatan Dasar 2013 mencatat prevalensi merokok pada populasi pada usia 10-18 tahun sebesar 7,2 persen. Angka itu meningkat menjadi 8,8 persen pada 2016 dan 9,1 persen pada 2018.
Implementasi pelarangan iklan, promosi, dan sponsor harus dilakukan secara komprehensif. Meskipun sudah ada aturan, penegakan kebijakan juga perlu ditingkatkan yang bisa disertai dengan sanksi.
Ernoiz mengatakan, selain pada pengaruh iklan, penyuluhan mengenai bahaya merokok yang disampaikan secara komprehensif mempunyai pengaruh yang signifikan dalam menurunkan keputusan pembelian rokok dan prevalensi merokok. Edukasi dan penyuluhan mengenai bahaya rokok yang dilakukan di sekolah dan kampus perlu didesain lebih menarik agar tidak membosankan.
Kerja sama sekolah dan orangtua mesti diperkuat karena pendidikan pertama dari anak berasal dari lingkungan keluarga. Penciptaan lingkungan pergaulan yang kondusif juga diperlukan mengingat teman sebaya memiliki pengaruh besar untuk mencegah anak dan remaja untuk merokok.
Menurut aktivis pengendalian tembakau, Fuad Baradja, pelarangan iklan, promosi, dan sponsor rokok harus dilakukan. Pelarangan tersebut harus diberlakukan tidak hanya pada media luar ruang, tetapi juga di titik-titik penjualan. Apabila pelarangan iklan ini bisa dilakukan secara maksimal, prevalensi perokok pemula dapat ditekan.
”Usia sekolah menengah pertama menjadi usia yang krusial dan rawan untuk melindungi anak agar tidak mulai merokok. Namun, itu saja sebenarnya tidak cukup karena perlu dibarengi pula dengan kenaikan harga rokok dan edukasi yang komprehensif yang dilakukan secara terus-menerus,” ucapnya.
Direktur Promosi Kesehatan dan Pemberdayaan Masyarakat Kementerian Kesehatan Imran Agus Nurali mengatakan, upaya pengendalian konsumsi rokok di Indonesia diakui menghadapi tantangan yang semakin berat. Penguatan aturan akan dilakukan melalui revisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Revisi aturan tersebut masih dalam proses pembahasan.
Ia menuturkan, pemerintah pun berharap agar Indonesia bisa turut berkomitmen dalam Asean Smoke Free. Untuk itu, setidaknya Indonesia bisa memiliki kebijakan larangan iklan rokok serta tidak ada penjualan rokok.
”Pemerintah juga akan terus mendorong terbentuknya kesadaran publik mengenai dampak buruk merokok,” katanya.