Anak semakin terancam bahaya candu rokok. Sementara itu, aturan yang melindungi mereka dari paparan asap rokok justru masih lemah.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Perlindungan anak dari bahaya asap rokok masih minim. Sementara itu, jumlah perokok di Indonesia, termasuk perokok anak, justru semakin meningkat. Anak-anak kini semakin terperangkap adiksi rokok, baik sebagai perokok pasif maupun perokok aktif.
Ketua Umum Pengurus Besar Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) Piprim Basarah Yanuarso mengatakan, anak-anak di Indonesia saat ini dihadapkan pada dampak ganda asap rokok, yakni sebagai perokok aktif dan perokok pasif. Perlindungan bagi anak pun masih kurang, baik dari negara melalui regulasi maupun dari orang-orang di sekitarnya.
”Anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan belum bisa secara aktif maupun optimal melindungi diri dari bahaya merokok. Oleh karena itu, butuh kehadiran orang-orang di sekitarnya untuk melindungi anak dari rokok, baik secara pasif maupun aktif,” katanya dalam seminar awam bertajuk ”Dampak Merokok Pasif pada Kesehatan Anak” di Jakarta, Sabtu (27/5/2023).
Menurut Piprim, kehadiran negara melalui regulasi yang kuat pun tidak kalah penting untuk memastikan anak bisa terlindungi dari dampak buruk rokok. Peraturan yang berlaku di Indonesia masih lemah jika dibandingkan dengan negara lain. Bahkan, masalah hak pengasuhan anak di beberapa negara bisa dikaitkan dengan kebiasaan merokok dari orangtua.
Konsultan Yayasan Lentera Anak Reza Indragiri Amriel mengatakan, aturan dan hukuman untuk pelanggar penggunaan rokok di Indonesia masih kurang. Sanksi pidana bagi orang-orang yang merokok di sekitar anak juga belum ada.
”Saya tidak menemukan ada sanksi pidana bagi orang-orang yang merokok di sekitar anak. Padahal, (merokok) itu sangat berbaya. Itu juga artinya hukum belum hadir untuk melindungi anak dari bahaya rokok, baik secara langsung maupun tidak,” ucapnya.
Anggota Unit Kerja Koordinasi (UKK) Tumbuh Kembang-Pediatri Sosial IDAI, Angga Wirahmadi menuturkan, dampak buruk asap rokok pada anak sebagai perokok pasif ditunjukkan dengan meningkatnya paparan asap rokok pada anak. Paparan asap rokok pada anak baik di rumah, ruang publik terbuka, maupun ruang publik tertutup meningkat.
Anak-anak merupakan kelompok masyarakat yang rentan dan belum bisa secara aktif maupun secara optimal melindungi diri dari bahaya merokok. Oleh karena itu, butuh kehadiran orang-orang di sekitarnya untuk melindungi anak dari rokok, baik secara pasif maupun aktif.
Mengutip data dari Unicef, paparan asap rokok di rumah pada anak usia 13-15 tahun meningkat dari 57,3 persen pada 2014 menjadi 57,8 persen pada 2019. Selain itu, paparan asap rokok di ruang publik terbuka juga naik dari 63,9 persen pada 2014 menjadi 67,2 persen pada 2019. Paparan asap rokok di ruang publik tertutup pun meningkat dari 60,1 persen pada 2014 menjadi 66,2 persen pada 2019.
Angga menuturkan, data tersebut menunjukkan paparan asap rokok di dalam gedung sekolah menurun. Pada 2014 tercatat paparan asap rokok pada anak sebesar 69 persen, turun menjadi 56 persen pada 2019.
“Paparan asap rokok di gedung sekolah maupun di luar sekolah memang menunjukkan penurunan. Namun, angka yang ada masih tinggi. Itu artinya paparan asap rokok masih terjadi di sekolah,” tuturnya.
Perokok aktif
Angga menambahkan, dampak buruk rokok pada anak sebagai perokok aktif juga meningkat. Jumlah perokok remaja usia 13-15 tahun pada 2019 mencapai 18,8 persen. Peningkatan terjadi pada perokok anak perempuan maupun perokok anak laki-laki. Pada 2014, perokok remaja perempuan sebesar 2,5 persen dan perokok remaja laki-laki sebesar 33,9 persen. Pada 2019 meningkat menjadi 2,9 persen pada remaja perempuan dan 35,5 persen pada remaja laki-laki.
Ia mengatakan, remaja merupakan kelompok yang paling rentan untuk memulai merokok pertama kali. Hal itu terjadi karena remaja cenderung lebih mudah melakukan perilaku impulsif, berbahaya, dan menantang. Remaja juga cenderung meremehkan bahaya merokok dan merasa percaya diri dengan kesehatan diri.
”Remaja juga harus menjadi perhatian karena pada usia ini merupakan masa yang paling rentan terjadinya kecanduan atau adiksi,” kata Angga.
Anggota Unit Kelompok Kerja Respirologi Anak IDAI, Dimas Dwi Saputro, mengatakan, ancaman yang tidak kalah berbahaya ialah penggunaan rokok elektrik. Rokok elektrik dapat menghasilkan aerosol hasil pemanasan cairan yang biasanya mengandung nikotin. Bahaya aerosol juga bisa mengenai perokok pasif yang terkena asap rokok elektrik tersebut.
Ia menyampaikan, aerosol dari rokok elektrik biasanya mengandung zat-zat berbahaya, seperti nikotin, logam berat seperti timbal, senyawa organik, dan zat lain yang dapat menyebabkan kanker. Sejumlah penelitian telah membuktikan, rokok elektrik bisa menimbulkan efek berbahaya, seperti iritasi pada pernapasan, gangguan pada paru, gangguan pada sistem pernapasan, stres oksidatif, kerusakan fungsi endotel, dan kekakuan pembuluh darah arteri. Risiko komplikasi pada sistem pernapasan dan penyakit kardiovaskular juga akan meningkat.
Mengutip publikasi pada Southern California Children Health Study pada 2.097 anak tahun 2014 hingga 2019, Dimas menuturkan, prevalensi anak yang menjadi perokok pasif dari rokok elektrik meningkat dari 11,7 persen menjadi 15,6 persen. Studi tersebut juga menunjukkan adanya hubungan antara paparan rokok elektrik vape dengan gejala bronkitis dan sesak napas.
”Penelitian lebih lanjut masih harus dilakukan terkait bahaya rokok elektrik. Namun, rokok elektrik jelas tidak aman bagi remaja, dewasa muda, wanita hamil, atau orang dewasa yang tidak menggunakan produk tembakau sehingga jangan mulai menggunakannya,” tutur Dimas.