Prevalensi perokok anak di Indonesia terus meningkat. Tingginya angka perokok anak dapat berpengaruh pada turunnya mutu sumber daya manusia di masa depan.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Harga rokok yang tergolong murah dan mudahnya membeli rokok di toko daring maupun luring menjadi salah satu penyebab tingginya angka perokok anak. Pemerintah didorong mengendalikan konsumsi rokok, antara lain dengan menaikkan harga rokok dan memberlakukan sanksi bagi pihak yang menjual rokok ke anak.
Riset Kesehatan Dasar tahun mencatat, prevalensi perokok anak berusia 10-18 tahun di Indonesia pada 2018 sebesar 9,1 persen, meningkat dibandingkan tahun 2013 yang sebesar 7,2 persen. Masih ada anak-anak lain yang menjadi perokok pasif karena terpapar asap rokok orang lain.
Menurut Global Youth Tobacco Survey (GYTS) pada tahun 2019, sebanyak 19,2 persen pelajar berusia 13-15 tahun aktif mengonsumsi produk tembakau. Di sisi lain, ada 7,9 persen pelajar yang semula tidak merokok dikhawatirkan jadi perokok karena mengikuti ajakan teman.
Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Risky Kusuma Hartono, Kamis (4/8/2022), mengatakan, pengaruh teman sebaya untuk merokok sangat besar. Rokok itu bisa dibeli anak-anak karena harganya terjangkau, yaitu rata-rata Rp 20.000 per bungkus. Harga rokok bisa lebih terjangkau jika dibeli satuan. Rata-rata harga rokok Rp 1.500 per batang.
Selain murah, rokok mudah dibeli karena pengawasan di lapangan lemah. Rokok dapat dibeli siapa pun, termasuk anak-anak. Sebagian anak bahkan membeli rokok titipan orangtua.
”Masih ada peluang peningkatan perokok (anak) di masa depan. Ada beberapa instrumen untuk mengendalikan perokok anak, salah satunya menaikkan harga rokok melalui cukai. Ini bisa mengurangi jumlah perokok anak dan mencegah munculnya perokok anak baru,” kata Risky pada diskusi daring yang diselenggarakan Yayasan Kepedulian untuk Anak (Kakak).
Rata-rata kenaikan cukai rokok di Indonesia pada tahun 2022 sebesar 12 persen. Sebelumnya, kenaikan rokok 23 persen dan 12,5 persen pada 2020 dan 2021. Kenaikan tarif cukai ini dinilai belum optimal karena rokok masih terjangkau. Pemerintah didorong untuk menaikkan tarif cukai rokok hingga 25 persen.
Masih ada peluang peningkatan perokok (anak) di masa depan. Ada beberapa instrumen untuk mengendalikan perokok anak, salah satunya menaikkan harga rokok melalui cukai. Ini bisa mengurangi jumlah perokok anak dan mencegah munculnya perokok anak baru.
Selain itu, pemerintah didesak menyederhanakan sistem cukai hasil tembakau (CHT). Sistem CHT rumit karena tarif cukai dan jumlah tingkatannya diperbarui setiap tahun. Indonesia sebelumnya mempunyai 19 tingkatan struktur CHT, tetapi kini berkurang menjadi delapan tingkatan. Walakin, sistem CHT dinilai belum sederhana. Padahal, sistem sederhana meminimalkan kemungkinan orang beralih ke produk lebih murah saat harga rokok naik.
Koordinator ECPAT (Prostitusi Anak Akhir, Pornografi Anak & Perdagangan Anak-anak untuk Tujuan Seksual) Indonesia Ahmad Sofian mengatakan, regulasi penjualan rokok juga mesti menyentuh platform daring. Belum ada platform daring yang melarang tegas pembelian rokok oleh anak. Iklan rokok bahkan kerap ditemukan di internet.
Ia mendorong agar Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan direvisi. Revisi penting karena PP itu belum memuat sanksi pidana terhadap penjualan rokok ke anak. Dengan revisi, PP ini juga diharapkan mengatur penjualan rokok secara daring.
Selain itu, industri rokok mesti diminta bertanggung jawab. Industri rokok yang gagal mencegah penjualan rokok ke anak agar dikenai sanksi pidana dan/atau perdata. Adapun anak-anak yang terdampak rokok atau sudah menjadi perokok agar direhabilitasi.
Menurut Ketua Komnas HAM Ahmad Taufan Damanik, peraturan pemerintah mengenai rokok semestinya merujuk ke Konvensi Hak Anak tahun 1990. Konvensi ini mengandung prinsip dasar yang berbasis pada kepentingan terbaik untuk anak. Mengacu hal tersebut, pemerintah bisa tegas mengatur rokok demi kesehatan dan kesejahteraan anak. Rokok dapat menghambat visi Indonesia Emas 2045 karena menurunkan kualitas sumber daya manusia.
Maria Clara Bastiani dari Jaringan Penanggulangan Pekerja Anak (Jarak) menambahkan, 42 lembaga swadaya masyarakat pemerhati anak telah menyatakan dukungan untuk melindungi anak dari bahaya rokok. ”Kami percaya bahwa melindungi anak dan remaja dari dampak rokok, serta menurunkan jumlah perokok anak dan remaja, bisa meningkatkan kualitas generasi muda Indonesia,” ujarnya.