Prevalensi perokok anak di Indonesia meningkat menjadi 9,1 persen. Tanpa tindakan nyata untuk mengatur rokok, prevalensinya bisa naik menjadi 16 persen pada 2030.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Prevalensi perokok anak berusia 10-18 tahun di Indonesia meningkat menjadi 9,1 persen pada tahun 2018, sementara pada 2013 prevalensinya 7,2 persen. Padahal, rokok memengaruhi hak anak atas kesehatan dan kesejahteraan. Regulasi promosi rokok diperlukan agar hak itu terpenuhi.
Indonesia menargetkan prevalensi perokok anak turun menjadi 8,7 persen pada 2024. Namun, menurut Ketua Yayasan Lentera Anak Lisda Sundari, Selasa (26/7/2022), di Jakarta, belum ada upaya signifikan untuk mencapai target tersebut. Paparan iklan rokok terhadap anak pun masih tinggi.
Iklan rokok kini tidak hanya ada di media konvensional, tetapi juga media daring. Menurut studi oleh Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi London School of Public Relations (LSPR) pada 2018, tiga dari empat remaja mengetahui iklan rokok di media daring. Sebanyak 80,3 persen paparan iklan rokok pada anak terjadi di Youtube, laman internet 58,4 persen, Instagram 57,2 persen, dan gim daring 36,4 persen.
Pemerintah pun didorong merevisi Peraturan Pemerintah Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan. Salah satu poin pada revisi PP No 109/2012 adalah larangan iklan, promosi, dan sponsor rokok.
”PP 109/2012 yang ada sekarang tidak mampu lagi mengakomodasi perkembangan zaman karena iklan kini berkembang ke media digital. Revisi PP juga melarang penjualan rokok bayangan serta mendorong peningkatan fungsi pengawasan dan pengendalian konsumsi tembakau,” ucap Lisda pada diskusi daring peringatan Hari Anak Nasional 2022.
PP No 109/2012 yang ada sekarang tidak mampu lagi mengakomodasi perkembangan zaman karena iklan kini berkembang ke media digital.
Revisi PP No 109/2012 juga mengatur rokok elektrik. Hal ini diperlukan karena sebagian anak beralih dari rokok konvensional ke rokok elektrik. Padahal, rokok elektrik tidak lebih aman dibandingkan rokok konvensional.
Rokok akan berdampak buruk bagi kesehatan anak di masa kini dan masa depan. Hal ini melanggar hak dasar anak untuk bertumbuh dan berkembang, bahkan mencoreng hak untuk hidup.
”Itu sebabnya, pelarangan iklan rokok dan penerapan kawasan tanpa rokok diperlukan. Itu adalah bentuk pemenuhan hak dasar anak akan kesehatan dan kesejahteraan,” kata Lisda.
Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) Tulus Abadi mengutarakan, masih ada pembiaran investasi industri rokok. Di sisi lain, narasi perlindungan anak dari rokok selama ini masih sebatas lip service atau belum nyata.
Tanpa gerakan atau regulasi nyata, Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) memprediksi prevalensi perokok anak naik menjadi 16 persen pada 2030. Angka ini setara 6,8 juta anak Indonesia. ”Investasi yang hakiki adalah investasi kesehatan, kecerdasan, dan kesejahteraan pada anak,” kata Tulus.
Akses masih mudah
Komisioner Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) menambahkan, salah satu alasan tingginya prevalensi perokok anak adalah mudahnya mengakses rokok. Rokok masih dijual bebas, bahkan dijual per batang yang cenderung terjangkau.
Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), harga rokok di Indonesia tergolong murah dibandingkan rata-rata harga global yang mencapai 4 dollar AS atau Rp 55.000 per bungkus. Sementara itu, harga rokok di Indonesia rata-rata 2,1 dollar atau Rp 29.000 per bungkus.
Harga rokok di Indonesia bahkan 10 kali lebih murah dibandingkan di Australia yang harga rokoknya termahal di dunia, yakni 21 dollar AS atau Rp 298.000 (Kompas, 30/12/2021). ”Negara akan kehilangan generasi emas jika prevalensi perokok anak tetap tinggi,” kata Jasra.
Adapun Koordinator Bidang Kesehatan dan Pendidikan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) Anggin Nuzula Rahma mengatakan, sejumlah upaya dilakukan untuk melindungi anak dari rokok. Salah satunya ialah dengan membangun kabupaten/kota layak anak (KLA).
Indikator-indikator pembangunan KLA mendukung kesehatan dan kesejahteraan anak dari rokok, seperti melarang iklan dan sponsor rokok serta mengimplementasikan kawasan tanpa rokok.
Pihaknya juga akan bekerja sama dengan kementerian atau lembaga terkait untuk melarang iklan rokok di media digital. Peran forum anak dan forum keluarga sebagai pelopor kebijakan antirokok juga diperkuat.