Melawan Kebiadaban Predator Seksual
Indonesia saat ini berada dalam darurat kekerasan seksual. Hampir setiap hari ada anak yang menjadi korban.
Kekerasan seksual merupakan kejahatan kemanusiaan yang meninggalkan trauma sepanjang hidup korban. Sejumlah korban memilih mengakhiri hidupnya karena tak sanggup menjalani hidup pasca-mengalami kekerasan seksual. Kalaupun melanjutkan hidup, itu bukan hal mudah bagi korban karena terus dihantui ketakutan.
Saking trauma atas pemerkosaan yang dialaminya, pekan lalu seorang anak perempuan berusia sembilan tahun di Cipayung, Jakarta Timur, yang jadi korban pemerkosaan laki-laki lanjut usia, minta kepada ibunya agar dia dioperasi kelamin menjadi pria. Korban tak ingin lagi menjadi anak perempuan setelah mengalami pemerkosaan lima kali oleh pelaku UH (65) di kawasan Lubang Buaya, Cipayung, pada Maret 2023.
Kasus di Cipayung hanyalah salah satu kasus dari sekian banyak kasus kekerasan seksual yang dialami anak-anak di Tanah Air. Saat ini, kejahatan seksual menjadi ancaman terbesar bagi anak-anak di Tanah Air. Korbannya bukan hanya anak perempuan, melainkan juga anak laki-laki.
Di media massa, hampir setiap hari kasus kekerasan seksual muncul dalam pemberitaan. Kasus demi kasus terus terjadi, mulai dari lingkup rumah tangga, pendidikan, pekerjaan, hingga ke ruang publik. Publik terus dikejutkan oleh terungkapnya kasus kekerasan seksual di beberapa lembaga pendidikan, terutama yang berbasis keagamaan dan tinggal di asrama.
Pada awal April 2023, belasan santriwati (mayoritas berusia anak) di sebuah pondok pesantren (ponpes) di Kecamatan Bandar, Kabupaten Batang, Jawa Tengah, menjadi korban kekerasan seksual.
Pelakunya adalah WM (58), pengasuh ponpes tempat mereka belajar sekaligus pengajar di sekolah menengah pertama (SMP) dan sekolah menengah kejuruan (SMK) di bawah naungan ponpes itu.
Perbuatan ini dilakukan sejak 2019. Modus operasinya, santriwati dibangunkan pada dini hari, lalu diajak ke kantin atau tempat lain di lingkungan ponpes ataupun kediaman pelaku untuk diajak bersetubuh. Para korban dimanipulasi, dijanjikan akan mendapat karamah, serta diminta tidak melaporkan perbuatan pelaku kepada siapa pun.
Perbuatan bejat itu akhirnya terungkap setelah kabar terkait pencabulan yang dilakukannya menyebar di kalangan santri. Kasus ini bisa sampai kepada kepolisian setelah HL, mantan pekerja di ponpes, mencari tahu kebenaran kabar itu dan menanyai seorang korban serta menemukan informasi ada banyak korban lain.
Baca juga: Kekerasan Seksual Membungkam Anak Perempuan
Pada akhir Mei, publik juga dikejutkan dengan kasus dugaan pemerkosaan yang diduga dilakukan oleh LMI (43) dan HSN (50) terhadap 41 santriwati di Pondok Pesantren di Kecamatan Sikur, Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat. Diduga, korban mengalami kekerasan seksual selama rentang waktu tujuh tahun (2016-2023).
Pelaku melancarkan kejahatannya kepada korban yang mayoritas berusia 16-17 tahun dengan modus janji masuk surga melalui ”pengajian seks”. Beberapa korban kemudian melapor ke Kepolisian Resor Lombok Timur dan diproses hukum.
Pada waktu yang sama di Wonogiri, Jateng, juga terungkap 12 murid perempuan sebuah madrasah di Kecamatan Baturetno menjadi korban pencabulan yang dilakukan M (47), kepala sekolah, dan Y (51), guru agama di madrasah tersebut.
Bahkan, orang terdekat sekalipun yang seharusnya menjadi pelindung (ayah, kakak, keponakan, paman, kakek) menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Perbuatan cabul saat jam pelajaran dilakukan M sejak awal 2023 hingga pertengahan 2023. Sementara Y mencabuli muridnya sejak 2021. Para korban diam karena menerima ancaman dari para pelaku, yakni pelajarannya akan mendapat nilai jelek jika memberitahukan kepada orangtua mereka tentang kejadian tersebut.
Kasus pencabulan itu akhirnya terkuak saat seorang anak korban mengadu ke orangtuanya gara-gara dirundung teman-teman sekelasnya setelah mengalami tindakan tak senonoh dari Y saat pelajaran berlangsung. Awal Juni 2023, dua tersangka ditangkap aparat Kepolisian Resor Wonogiri dan kini diproses hukum.
Ruang publik
Di ruang publik pun, anak-anak perempuan menjadi incaran penjahat seksual. Akhir Mei 2023, Kepolisian Daerah DI Yogyakarta mengungkap kasus kekerasan seksual yang dilakukan BM (54), warga Kabupaten Bantul, terhadap 17 anak perempuan. Tindakan bejat tersebut dilakukan di sebuah apartemen di Sleman pada Juli 2022 hingga Januari 2023.
Sebagian anak yang menjadi korban itu masih berstatus pelajar, sedangkan sebagian lainnya diketahui putus sekolah. Para korban yang berusia 13-17 tahun tersebut diiming-imingi uang ratusan ribu rupiah.
Dunia olahraga pun tak luput dari kekerasan seksual. Awal Mei 2023, publik pun dikejutkan dengan kasus pencabulan oleh DS (44), pelatih taekwondo di Kota Solo, Jawa Tengah, terhadap murid taekwondo. Semua korban berjenis kelamin laki-laki berusia belasan tahun.
Kekerasan seksual tersebut dialami para korban di tempat latihan dan hotel sewaktu mengikuti kejuaraan taekwondo di luar kota. Perbuatan tersebut dilakukan DS dalam kurun waktu dua tahun terakhir. Sebelum melakukan pelecehan seksual, DS memberi iming-iming untuk mengikuti kejuaraan tingkat nasional hingga diberi hadiah berupa perlengkapan olahraga.
Di ruang pelayanan publik pun, kekerasan seksual juga terjadi. Awal Juni lalu, terbongkar kasus pemerkosaan di Parigi Mountong, Sulawesi Tengah, dialami seorang anak perempuan pada tahun 2022, saat dia berusia 15 tahun.
Kekerasan seksual tersebut berawal saat korban mendatangi posko bencana banjir di Parigi Mountong. Pelakunya berjumlah 11 orang, termasuk kepala desa yang bertugas di Parimo, guru, dan anggota Brimob.
Modusnya, korban dijanjikan pekerjaan oleh para pelaku. Namun, ternyata korban diperkosa setelah dia ditawari narkoba jenis sabu dan diancam pelaku dengan senjata tajam.
Kasus-kasus yang terjadi menunjukkan betapa tidak ada lagi tempat dan ruang yang aman lagi bagi anak-anak, baik yang tinggal di wilayah di perkotaan maupun perdesaan. Hampir setiap hari anak-anak mengalami kekerasan seksual. Sejumlah kasus akhirnya terkuak setelah ada korban yang berani bicara.
Di atas kertas, hasil berbagai survei menyebutkan, angka atau jumlah kasus kekerasan seksual menurun—karena makin tingginya laporan kasus—seiring meningkatnya kesadaran masyarakat untuk melapor kasus yang terjadi.
Namun, kejahatannya terus terjadi dengan modus makin canggih. Demikian juga pelakunya makin beragam baik usia, status, pekerjaan, maupun relasi dengan korban. Bahkan, orang terdekat sekalipun yang seharusnya menjadi pelindung (ayah, kakak, keponakan, paman, kakek) menjadi pelaku kekerasan seksual terhadap anak-anak.
Bagai virus yang tidak ada penangkalnya, begitulah gambaran lingkaran pemerkosaan dan berbagai kekerasan seksual terhadap anak-anak di Tanah Air. Pelaku kekerasan seksual terus bermunculan, bagaikan binatang buas yang setiap saat siap memangsa korbannya dengan berbagai tipu daya.
Kecaman publik, bahkan sampai ”kutukan” yang dilayangkan kepada para pelaku, tak membuat pelaku-pelaku kekerasan seksual berhenti atau jera. Hingga kini Indonesia memiliki sejumlah peraturan perundang-undangan terkait kejahatan seksual dengan ancaman pidana sampai seumur hidup dan hukuman mati.
Bahkan, Undang-Undang Perlindungan Anak mengatur secara khusus pidana kebiri kimia, termasuk pidana tambahan berupa pemasangan alat pendeteksi elektronik (chip) dan pengumuman identitas pelaku kekerasan seksual terhadap anak. Akan tetapi, sejauh ini regulasi tersebut belum berdampak signifikan di masyarakat.
Belum bertaring
Setahun lalu juga hadir Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (UU TPKS) yang dianggap sebagai terobosan hukum dalam mencegah dan menangani kasus-kasus kekerasan seksual. Namun, hingga kini UU tersebut belum ”bertaring”.
Meskipun sudah ada UU, di lapangan aparat penegak hukum masih enggan menerapkan UU TPKS dengan alasan peraturan pelaksana (aturan turunan) sampai saat ini belum ada. Kementerian PPPA terus berupaya agar akhir Juni 2023 semua pembahasan aturan turunan sudah selesai.
Baca juga: UU TPKS Disahkan, Tonggak Awal Penghapusan Kekerasan Seksual
Sementara itu, kekerasan seksual bagaikan virus yang sudah menyebar tubuh, dan anak-anak terus jadi korban. Jangankan efek jera, sejumlah pelaku bahkan tak menunjukkan rasa takut dan malu. Penegakan hukum pun masih menjadi tantangan. Mayoritas korban harus melalui jalan panjang dan perjuangan berat untuk kasusnya sampai ke proses hukum.
Di sisi lain, para korban berhadapan dengan pelaku yang memiliki relasi kuasa yang kuat dan menghadapi berbagai ancaman. Ketika korban dan keluarga berbicara dan melawan, mereka harus berhadapan dengan ancaman-ancaman. Kasus di Wonogiri, misalnya. Saat orangtua melaporkan, pelaku kejahatan malah mengancam akan menuntut balik atas kasus pencemaran nama baik.
Dalam sejumlah kasus, proses kasus kekerasan seksual baru bergerak dan mengalami kemajuan berarti setelah ada tekanan publik, pemberitaan yang viral di media sosial, dan diangkat di media arus utama. Dalam beberapa kasus, pemimpin pemerintah daerah ataupun pemerintah pusat harus turun ke lapangan untuk mendorong penegakan hukum.
Bahkan, setahun terakhir, Menteri PPPA I Gusti Ayu Bintang Darmawati hampir setiap pekan harus turun ke daerah-daerah, menemui para anak-anak yang menjadi korban. Menteri mendorong aparat kepolisian bergerak cepat memproses hukum kasus-kasus kekerasan seksual yang terjadi.
”Kekerasan seksual merupakan fenomena gunung es. Diduga, banyak kasus belum terlaporkan dan korban terpaksa harus menanggung sendiri dampaknya,” ujar Deputi Perlindungan Khusus Anak, Kementerian PPPA, Nahar.
Disahkannya UU TPKS seharusnya semakin menekan kejahatan seksual. Selain ancaman hukuman diperberat bagi pelaku, saluran pengaduan diperbanyak dan mudah diakses, sistem penanganan korban diatur dalam UU TPKS yang semakin baik dan mudah diakses menjadikan orang banyak yang berani melapor.
Jalan melaporkan kasus menjadi pintu untuk mengungkap dan membongkar kasus kekerasan seksual. Harapannya, pelaporan tersebut memenuhi aspek penegakan hukum ataupun pemulihan korban.
Menurut Data Sistem Informasi Online Perempuan dan Anak (SIMFONI PPA) di Kementerian PPPA sejak tahun 2019, jumlah pengaduan kasus kekerasan seksual pada anak terus meningkat. Pada 2019 (11.057 kasus), 2020 (11.278 kasus), 2021 (14.517 kasus), dan 2022 (16.106 kasus). Korban terbesar adalah perempuan, tertinggi pada tahun 2021 (11.424 orang) dan 2022 (13.515 orang). Adapun korban laki-laki jumlahnya di bawah 4.000 orang.
”Peningkatan data pelaporan menandakan masyarakat, khususnya korban dan keluarga korban, memiliki kesadaran hukum dan merasa penting mendapatkan layanan pascakejadian,” kata Nahar.
Selain kesadaran untuk melapor, pada tahap preventif, dukungan keluarga dan semua pihak menjadi kekuatan besar bagi anak-anak untuk melawan berbagai kekerasan seksual yang mengancam setiap saat.
Karena itulah, kesediaan orangtua dan semua pihak untuk mendengarkan suara anak korban kekerasan seksual menjadi penting sehingga para korban merasa mendapat dukungan kuat dan kemudian berani berbicara atas kasus yang menimpanya.