Kita bisa berkontribusi mengurangi emisi gas rumah kaca dengan mengubah selera makan. Hal itu, di antaranya, mengganti konsumsi daging merah dengan sumber protein lain, seperti ikan, yang lebih kecil jejak emisinya.
Oleh
AHMAD ARIF
·6 menit baca
Sektor pangan telah menyumbang sepertiga dari emisi gas rumah kaca, dengan lima negara, yaitu China, India, Indonesia, Brasil, dan Amerika Serikat, bertanggung jawab atas lebih dari 40 persen emisi rantai pasokan makanan global. Upaya untuk melindungi planet ini dari dampak perubahan iklim hanya bisa dilakukan jika kita bisa mengurangi emisi gas rumah kaca dari sistem pangan global, di antaranya dengan mengubah selera makan.
Laporan terbaru yang ditulis kelompok ilmuwan internasional yang dipimpin para peneliti Universitas Groningen, Belanda, di jurnal Nature Food pada Kamis (15/6/2023), menunjukkan, pada 2019 konsumsi makanan di lima negara penghasil emisi tertinggi, masing-masing adalah China (2 gigaton setara CO2), India (1,3 Gt), Indonesia (1,1 Gt), Brasil (1 Gt), dan AS (1 Gt). Kelima negara ini bertanggung jawab atas lebih dari 40 persen emisi rantai pasokan makanan global.
”Pada tahun 2019, emisi di seluruh rantai pasokan pangan global mencapai 30±9 persen emisi gas rumah kaca yang dihasilkan manusia, sebagian besar dipicu oleh konsumsi daging sapi dan susu,” tulis Yanxian Li, mahasiswa di University of Groningen, penulis pertama kajian ini.
Perbedaan emisi antara produksi daging dan tanaman sangat mencolok.
Negara dengan tingkat emisi makanan per kapita yang tinggi dari produksi dan konsumsi daging merah ini secara berurutan adalah Amerika Utara, Australia, Amerika Latin, dan Karibia. Sejumlah negara maju dengan konsumsi daging merah tinggi saat ini juga sangat bergantung pada impor dan mengalihdayakan sejumlah besar emisi terkait makanan ke negara lain, terutama adalah Jepang dan Eropa.
Di sisi lain, sejumlah negara berkembang saat ini juga mengalami lonjakan konsumsi daging dan susu sapi karena didorong oleh pertumbuhan populasi yang cepat atau standar hidup yang lebih baik. Negara itu, antara lain, China, Asia Selatan, Timur Tengah, dan Afrika Utara. Sementara negara-negara dengan produksi intensif emisi, terutama dengan aktivitas perubahan penggunaan lahan yang ekstensif adalah Brasil, Indonesia, dan wilayah Afrika Selatan dan Tengah.
Kajian ini juga menemukan, emisi gas rumah kaca global tahunan yang terkait dengan makanan meningkat sebesar 14 persen (2 Gt setara CO2) selama periode 20 tahun. Peningkatan substansial dalam mengonsumsi produk hewani berkontribusi pada sekitar 95 persen kenaikan emisi global, terhitung hampir setengah dari total emisi makanan. Daging sapi dan susu menyumbang 32 persen dan 46 persen dari peningkatan emisi berbasis hewani global.
Konsumsi biji-bijian dan tanaman penghasil minyak masing-masing bertanggung jawab atas 43 persen (3,4 Gt setara CO2 pada 2019) dan 23 persen (1,9 Gt setara CO2) dari emisi nabati global, sementara beras berkontribusi terhadap lebih dari setengah dari emisi global terkait biji-bijian (1,7 Gt setara CO2), dengan Indonesia (20 persen), China (18 persen), dan India (10 persen) menjadi tiga kontributor teratas.
Kedelai (0,6 Gt setara CO2) dan minyak sawit (0,9 Gt setara CO2) memiliki andil terbesar dalam emisi global dari tanaman minyak masing-masing sebesar 30 persen dan 46 persen. Indonesia, sebagai konsumen minyak sawit terbesar di dunia, memiliki emisi terbesar dari minyak sawit (35 persen dari total global pada tahun 2019), diikuti oleh negara-negara lain di Asia Tenggara (13 persen), Eropa Barat (10 persen), dan China (9 persen).
Ubah selera makan
Dengan tren saat ini, Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) Perserikatan Bangsa-Bangsa memproyeksikan tambahan 70 persen dari permintaan pangan untuk memberi makan populasi dunia yang diperkirakan berjumlah 9,1 miliar pada 2050. Hal ini bakal menjadi tantangan besar mengingat produksi pangan juga terganggu oleh tren pemanasan global.
Oleh karena itu, para peneliti mendorong pentingnya penduduk Bumi beralih ke sumber makanan yang memiliki jejak emisi rendah. Para peneliti mengkhawatirkan pertumbuhan populasi global dan meningkatnya permintaan makanan tinggi emisi akan meningkatkan emisi lebih lanjut.
”Pergeseran global dalam pola makan, termasuk mengurangi asupan daging merah yang berlebihan dan meningkatkan porsi protein nabati, tidak hanya akan mengurangi emisi, tetapi juga menghindari risiko kesehatan seperti obesitas dan penyakit kardiovaskular,” kata Klaus Hubacek dari Energy and Sustainability Research Institute Groningen, penulis senior kajian ini.
Penulis lainnya, Yuli Shan dari University of Birmingham, mengatakan, ”Sistem pertanian pangan mendorong penggunaan lahan global dan aktivitas pertanian—menyumbang sekitar sepertiga dari gas rumah kaca antropogenik global. Pertumbuhan populasi, perluasan produksi pangan, dan peningkatan pola makan hewani kemungkinan besar akan semakin meningkatkan emisi dan menekan anggaran karbon global.”
Yanxian Li menambahkan, ”Mitigasi emisi pada setiap tahap rantai pasokan makanan dari produksi hingga konsumsi sangat penting jika kita ingin membatasi pemanasan global.”
Namun, menurut Li, perubahan pola makan yang meluas dan bertahan lama akan sangat sulit dicapai dengan cepat. Oleh karena itu, perlu adanya insentif yang mendorong konsumen untuk mengurangi daging merah atau membeli produk dengan keuntungan lingkungan yang lebih tinggi dapat membantu mengurangi emisi dari makanan.
Protein biru
Temuan Yanxian Li dan tim ini menguatkan laporan-laporan sebelumnya tentang pentingnya mengurangi konsumsi daging merah dan lebih banyak makanan nabati. Kajian Xiamoming Xu dari University of Illinois dan tim Nature Food edisi September 2021 lalu menguraikan, hewan ternak membutuhkan banyak lahan, yang umumnya didapatkan melalui penebangan hutan, serta area tambahan yang luas untuk menanam pakan.
Bahkan, sebagian besar lahan pertanian dunia digunakan untuk memberi makan ternak, bukan manusia. Ternak juga menghasilkan metana—gas rumah kaca yang kuat—dalam jumlah besar.
Xu dan tim telah menghitung, perbedaan emisi antara produksi daging dan tanaman sangat mencolok. Misalnya, untuk menghasilkan 1 kg gandum, dikeluarkan 2,5 kg gas rumah kaca. Sementara untuk memproduksi 1 kg daging sapi, mengeluarkan 70 kg emisi. Pengemisi terbesar di antara produk hewani setelah daging sapi adalah susu sapi, daging babi, dan berikutnya daging ayam.
Dengan alasan ini, baru-baru ini, kota Haarlem di Belanda menjadi kota pertama yang mengumumkan bakal melarang iklan daging di area publik. Larangan yang akan diberlakukan mulai 2024 ini disebut sebagai bagian dari upaya yang lebih luas untuk mengurangi konsumsi daging dan emisi gas rumah kaca.
Namun, solusi ini sulit untuk diterapkan di banyak wilayah lain di dunia, termasuk Indonesia yang hingga saat ini masih defisit protein. Bahkan, menurut ahli gizi IPB University, Drajat Martianto, dalam orasi pengukuhannya sebagai guru besar pada Sabtu (17/9/2022), konsumsi pangan hewani di Indonesia sangat kurang.
Data Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menunjukkan, konsumsi daging masyarakat Indonesia pada 2017 rata-rata 1,8 kg daging sapi, 7 kg daging ayam, 2,3 kg daging babi, dan 0,4 kg daging kambing. Jika dibandingkan dengan negara-negara ASEAN lainnya, jumlah itu jauh tertinggal.
Meski demikian, protein sebenarnya tidak hanya berasal dari daging. Kacang-kacangan juga kaya protein nabati yang baik bagi kesehatan. Bahkan, sebagai negara kepulauan, Indonesia memiliki keberlimpahan protein hewani berbasis makanan laut atau ”makanan biru”. Tak hanya bisa menjadi alternatif sumber protein sehat, makanan laut juga lebih ramah bagi iklim.
Studi di Communications Earth and Environment pada 8 September 2022 menunjukkan, banyak sumber makanan laut yang menghasilkan lebih sedikit emisi gas rumah kaca dan lebih padat nutrisi daripada daging sapi, babi, atau ayam. Penelitian yang dilakukan Peter Tyedmers, ekonom ekologi di Universitas Dalhousie di Halifax, Kanada, dan tim ini menunjukkan bahwa kebijakan untuk mempromosikan makanan laut sebagai pengganti protein hewani lainnya dapat meningkatkan ketahanan pangan di masa depan dan membantu mengatasi perubahan iklim.
Perubahan pola makan memang bukan satu-satunya jalan untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Namun, kita juga bisa berkontribusi dengan mengubah selera makan dengan mengganti daging merah dengan sumber protein lain, seperti ikan, yang lebih kecil jejak emisinya. Bonusnya, makan lebih banyak ikan juga terbukti lebih menyehatkan.