Emisi Metana dari Limbah Peternakan Bisa Dikurangi Signifikan
Penambahan kalsium sianamida pada kotoran sapi membuat produksi gas metana hampir berhenti total. Secara keseluruhan, emisi turun hingga 99 persen.
Oleh
ICHWAN SUSANTO
·3 menit baca
KOMPAS/PRIYOMBODO
Katon mempersiapkan ampas dari pengolahan sawit untuk pakan di usaha penggemukan dan pembiakan sapi di Selagai Lingga, Kabupaten Lampung Tengah, Senin (26/12/2022).
Kontribusi sektor peternakan pada mitigasi perubahan iklim relatif kurang terdengar gaungnya di Indonesia. Meski angkanya sangat kecil dibandingkan dengan sektor lahan dan hutan serta sektor energi, kontribusi penurunan emisi gas rumah kaca dari peternakan akan membantu upaya penyelamatan bumi.
Kegiatan peternakan, khususnya ternak ruminansia, seperti sapi potong ataupun sapi perah, dapat menghasilkan emisi gas rumah kaca (GRK) berupa gas metana (CH4). Gas ini memiliki faktor emisi 20-30 kali lipat dari karbon dioksida (CO2). Karena itu, apabila emisi gas metana bisa dikurangi, hasilnya akan cukup baik bagi upaya pengendalian iklim.
Berdasarkan buku Emisi Gas Rumah Kaca dari Peternakan di Indonesia dengan Tier 2 IPCC (2021) yang ditulis Edvin Aldrian dan kawan-kawan dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), sapi potong berkontribusi 56,25 persen atau 19,729 gigagram setara CO2 (Gg CO2e) dari total emisi GRK dari peternakan yang sebesar 35,076 Gg CO2e. Hal ini diikuti unggas yang terdiri dari ayam dan itik sebesar 14,48 persen.
Sebagai informasi, besarnya kontribusi unggas bersumber dari emisi gas N2O yang berasal dari feses/kotorannya. Emisi terbesar dari sapi potong berasal dari gas metana yang dikeluarkan dari enterik/sistem pencernaannya.
Selain dari sistem pencernaan, emisi CH4 juga dihasilkan dari limbah bubur kotoran hewan (slurry). Pembusukan kotoran ini mengeluarkan gas metana yang di sebagian peternakan di Indonesia dimanfaatkan sebagai bahan bakar terbarukan.
Bahan tambahan
Cara lain untuk mengolah CH4 ditawarkan para peneliti dari University of Bonn di Jerman dengan metode yang diklaim sederhana dan murah. Proses penurunan emisi metana ini hasilnya bisa sangat signifikan, yaitu 99 persen. Riset ini dipublikasikan dalam jurnal Waste Management. Harapan mereka, metode ini dapat memberikan kontribusi penting untuk memerangi perubahan iklim.
Dalam situs internet kampus tersebut yang dipublikasikan pada Jumat (3/3/2023), Felix Holtkamp, peneliti dari studi ini yang menyelesaikan gelar doktornya di INRES Institute of Crop Science and Resource Conservation di University of Bonn, mengatakan, sepertiga metana buatan manusia di dunia berasal dari peternakan. ”Diperkirakan hingga 50 persennya berasal dari proses fermentasi dalam bubur limbah cair kotoran ternak,” ujarnya.
Hal ini yang mendorongnya bersama tim peneliti untuk mencari solusi atas dampak emisi dari peternakan sapi. Holtkamp, pengawas ilmiah Manfred Trimborn dari Institut Teknik Pertanian di Universitas Bonn, dan Joachim Clemens dari produsen pupuk SF-Soepenberg GmbH mencoba menemukan solusi yang menjanjikan untuk masalah tersebut.
”Kami menggabungkan limbah cair kotoran dengan kalsium sianamida di laboratorium. Kalsium sianamida ini bahan kimia yang telah digunakan sebagai pupuk di bidang pertanian selama lebih dari 100 tahun,” kata Holtkamp.
Kalsium sianamida memutus rantai transformasi kimia ini dan melakukannya secara bersamaan di titik yang berbeda.
Penambahan kalsium sianamida pada kotoran sapi itu membuat produksi gas metana hampir berhenti total. Secara keseluruhan, emisi gas metana bisa turun hingga 99 persen.
Penurunan emisi ini dimulai hampir satu jam setelah penambahan aditif itu dan bertahan hingga akhir percobaan yang mencapai setengah tahun kemudian. Efektivitas yang lama itu penting karena ”bubur” tidak dibuang begitu saja. Pada praktiknya, bubur disimpan sampai awal musim tanam berikutnya dan kemudian disebarkan di ladang sebagai pupuk pada pertanian. Oleh karena itu, penyimpanan selama berbulan-bulan cukup umum dipraktikkan para peternak.
Selama waktu penyimpanan konvensional, bubur diproses oleh bakteri dan jamur dengan memecah bahan organik yang tidak tercerna menjadi molekul yang semakin kecil. Metana diproduksi pada akhir proses ini.
KOMPAS/ABDULLAH FIKRI ASHRI
Suasana kandang sapi perah di Kelurahan Cipari, Kecamatan Cigugur, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat, pertengahan Juni 2022.
”Kalsium sianamida memutus rantai transformasi kimia ini dan melakukannya secara bersamaan di titik yang berbeda, seperti yang dapat kami lihat dalam analisis kimia dari bubur,” kata Holtkamp.
Aditif tersebut menekan degradasi mikroba dari asam lemak dan konversinya menjadi metana. Namun, proses persisnya masih belum diketahui.
Di sisi lain, proses tersebut memiliki kelebihan, yaitu memperkaya ”bubur kotoran” dengan unsur nitrogen sehingga meningkatkan manfaat pada pupuk yang dihasilkan. Terkait biayanya sendiri, kampus tersebut menyebut sangat terjangkau, yaitu 0,3-0,5 sen per liter susu untuk peternakan sapi.