Penanganan Sampah Plastik di Hulu Dinilai Masih Kurang Menyeluruh
Indonesia menargetkan pengurangan sampah plastik laut sebesar 70 persen antara tahun 2018 dan 2025.
—
Juru Kampanye Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abdul Ghofar berpendapat, kendati menjadi tanggung jawab bersama, kebijakan dari pemerintah menjadi kunci dalam menangani persoalan sampah plastik. ”Perlu ada langkah strategi pendekatan hulu dari pemerintah untuk mencegah sampah plastik tidak mencemari lautan. Bukan saja mengatasi dan mengurangi sampah yang mencemari tersebut,” kata Ghofar saat dihubungi, Minggu (18/6/2023).
Baca Juga: Mengelola Sampah Plastik, Menyelamatkan Keanekaragaman Hayati
Ghofar mengakui, pemerintah telah menjalankan sejumlah komitmen nasional dan internasional dalam penanganan sampah plastik. Komitmen tersebut dijalankan dalam berbagai regulasi. Akan tetapi, Ghofar merasa kurang puas dengan kebijakan selama ini yang dianggap tidak tegas dalam penanganan serta terkesan fokus pada pendekatan di hilir.
Pemerintah Indonesia sendiri menunjukkan komitmen dalam menangani persoalan sampah. Pada awal Juni 2023, dalam forum internasional Program Lingkungan PBB (UNEP) di Paris, Perancis, bersama 170 lebih negara menyepakati penanganan serius masalah plastik. Adapun pada Kamis (15/6/2023), Pemerintah Indonesia kembali menunjukkan komitmen penanganan sampah plastik di sebuah lokakarya bertajuk ”ASEAN-Indo Pacific Workshop on Marine Plastic Debris”.
Direktur Pengelolaan Sampah Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan Novrizal Tahar menyatakan, saat forum UNEP di Paris, Indonesia menyepakati masalah plastik sebagai persoalan global yang harus ditangani dengan serius dan bersama-sama, seperti perubahan iklim. Komitmen pemerintah dijalankan dengan regulasi, ekonomi sirkular, kebijakan reduce, reuse, recycle (3R), pemberdayaan masyarakat, serta penggunaan data saintifik.
”Kita sudah menjalankan regulasi extended producer responsibility/EPR (tanggung jawab produsen yang diperluas). Industri-industri yang kemungkinan menghasilkan plastik diwajibkan bertanggung jawab mengelola sampahnya,” tutur Novrizal.
Kebijakan pelibatan masyarakat dilakukan dengan berbagai edukasi. Selain itu, masyarakat terlibat langsung dalam ekonomi sirkular mengolah sampah, seperti dalam aktivitas bank sampah dan tempat pengelolaan sampah 3R.
Perlu ada langkah strategi pendekatan hulu dari pemerintah untuk mencegah sampah plastik tidak mencemari lautan. Bukan saja mengatasi dan mengurangi sampah yang mencemari tersebut.
Tim Koordinasi Nasional Penanganan Sampah (TKN PSL) juga terlihat berhasil menurunkan potensi volume sampah mencemari laut. Pada 2020, besaran sampah darat yang dibuang ke perairan turun 34,4 persen dari tahun 2017. Penurunan terjadi secara stabil dari tahun ke tahun. Secara lebih rinci, sampah yang dibuang ke perairan pada 2020 turun 8,3 persen dari tahun sebelumnya. Pada 2019 turun sebesar 8,7 persen dan pada 2018 turun sebesar 15,6 persen.
Baca Juga: Beragam Langkah Perubahan dalam Pengelolaan Sampah
Komitmen lebih
Meskipun telah menunjukkan arah pengelolaan yang lebih baik, Walhi menganggap pemerintah seharusnya berfokus dengan pendekatan hulu. Menurut Ghofar, perlu ada komitmen yang lebih dari pemerintah untuk mencegah kemunculan sampah plastik dari sumbernya.
Ghofar mengungkapkan, selama ini regulasi yang dibuat, seperti EPR, hanya berfokus agar produsen bisa mengelola sampahnya secara mandiri. Padahal, seharusnya, pembatasan bisa dilakukan dengan mengarahkan industri beralih dengan penggunaan bahan yang lebih ramah lingkungan.
”EPR juga belum sepenuhnya maksimal. Tidak ada keterbukaan data dari perusahaan atau produsen yang menjalankan. Di sisi lain, sampah dari produk yang telah sampai ke masyarakat sulit bisa dikelola maksimal oleh produsen. Sisanya tetap ada yang terbuang dan mencemari lingkungan,” ucap Ghofar.
Sementara itu, gugus TKN PSL perlu diperkuat dan diberi kewenangan yang lebih luas, apalagi jika dilihat dari pencapaian yang menunjukkan kenaikan kinerja dalam menangani masuknya sampah ke laut. ”Jika dilihat dari mandatory-nya, gugus tugas akan berakhir 2025. Namun, ini seharusnya menjadi momentum dan refleksi untuk diperkuat sehingga dampaknya bisa semakin besar,” ucapnya.
Peneliti Oseanografi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Zainal Arifin, mengungkapkan, kebijakan juga mengungkapkan perlunya penguatan untuk menangani sampah plastik serta mencapai target nasional. Dalam hasil risetnya yang ditulisnya di jurnal Marine Policy, awal 2023, Zainal menyoroti beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian.
Salah satunya, perlu ada ketegasan agar semua wilayah di Indonesia menetapkan regulasi plastik. Selama ini, wilayah Indonesia sisi barat dan timur masih sedikit yang menjalankan regulasi penggunaan plastik dalam Peraturan Presiden Nomor 83 Tahun 2018.
Dalam jurnalnya Zainal memaparkan, sejak 2018-2022 tercatat baru 99 pemerintah daerah yang membuat regulasi tentang penggunaan kantong plastik. Itu artinya hanya 19 persen yang menjalankan regulasi dari total 514 pemerintah daerah di Indonesia.
”Adapun yang lain menggunakan pendekatan ekonomi, misalnya dengan pungutan pajak plastik,” kata Zainal.
Hal lainnya, lanjut Zainal, perlu ada penguatan di bidang riset untuk menghasilkan data yang lebih komprehensif. Selama ini riset hanya dilakukan di wilayah laut dan pesisir saja. Padahal, sebagian besar sampah dari darat yang mencemari laut berawal dari sungai.
Baca Juga: 13 Juta Sukarelawan Diajak Bersih-bersih Sampah
Selain itu, menurut Zainal, pemerintah pusat harus mampu mendorong industri menghindari plastik yang tidak dapat didaur ulang. Industri harus bersinergi dengan lembaga penelitian mengembangkan plastik yang mudah terurai dan punya masa guna yang panjang.
Kami telah melihat banyak tindakan positif, tetapi sebenarnya kita semua perlu berbuat lebih banyak dan mematikan keran polusi plastik di sumbernya.
Dalam catatan UNEP, sejak tahun 1970-an, laju produksi plastik tumbuh lebih cepat daripada bahan lainnya. Jika tren pertumbuhan berlanjut, produksi plastik global diperkirakan akan mencapai 1.100 juta ton pada 2050.
Adapun dari 7 miliar ton sampah plastik yang dihasilkan secara global sejauh ini, kurang dari 10 persen yang didaur ulang. Jutaan ton sampah plastik masuk ke lingkungan dan terkadang terkirim ribuan kilometer melalui perairan. Perkiraan kerugian tahunan nilai sampah kemasan plastik selama pemilahan dan pengolahan bisa mencapai 80-120 juta dollar AS.
Dalam forum internasional pada akhir Mei 2023, Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen memaparkan misi untuk menyepakati pedoman hukum guna mengakhiri masalah plastik. Perjanjian global tersebut diharapkan bisa diterapkan untuk semua negara sebelum akhir tahun 2024.
Andersen mengungkapkan, pemerintah merupakan aktor kunci dalam rantai penggunaan plastik. Pemerintah bisa membuat aturan sehingga penggunaan plastik semakin terbatas dan beralih pada bahan baku yang lebih ramah lingkungan. Selain itu, aturan juga diperlukan untuk mengatasi plastik yang terpaksa harus terpakai.
”Kami telah melihat banyak tindakan positif, tetapi sebenarnya kita semua perlu berbuat lebih banyak dan mematikan keran polusi plastik di sumbernya,” kata Andersen.