Mengelola Sampah Plastik, Menyelamatkan Keanekaragaman Hayati
Sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik hingga mencemari lautan masih menjadi persoalan global. Upaya mengatasi dan mengelola sampah plastik akan turut menyelamatkan keanekaragaman hayati.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2018%2F12%2F03%2Fd9eb18a1-1bc8-43f8-ab7d-3d8df007e934_jpg.jpg)
Warga melintasi timbunan sampah yang didominasi sampah plastik di pesisir Desa Dadap, Kecamatan Juntinuyat, Kabupaten Indramayu, Jawa Barat, awal Desember 2018.
Isu persampahan, khususnya sampah plastik, masih menjadi persoalan di banyak negara. Menurut laporan dari Program Lingkungan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNEP) pada 2021, lebih dari 400 juta metrik ton plastik diproduksisetiap tahun di seluruh dunia dan sebagian di antaranya dirancang untuk digunakan sekali pakai.
Meski demikian, dari jumlah tersebut, diperkirakan hanya 12 persen plastik yang diproduksi dapat dimusnahkan dengan cara dibakar dan hanya sekitar 9 persenyang telah didaur ulang. Selain itu, diperkirakan setiap tahun sebanyak 19 juta-23 juta metrik tonsampah plastik yang tidak didaur ulang berakhir di tempat pembuangan, danau, sungai, hingga laut.
Tanpa tindakan yang berarti dari sejumlah negara, UNEP memperkirakan aliran sampah plastik ke ekosistem perairan akan terus meningkat hampir tiga kali lipat dari 11 juta metrik ton pada 2016 menjadi sekitar 29 juta metrik ton pada tahun 2040.
Selain terancam oleh krisis iklim dan beban pembangunan, laut Indonesia juga terancam oleh masifnya sampah yang dibuang dari daratan.
Semakin meningkatnya jumlah sampah laut yang mencemari laut juga telah diprediksi dalam hasil riset berjudul ”Predicted Growth in Plastic Waste Exceeds Efforts to Mitigate Plastic Pollution” yang terbit di jurnal Science pada 2020. Penulis utama studi ini merupakan peneliti dari University of Toronto Kanada dan University of Georgia Amerika Serikat.
Hasil riset memperkirakan, 53 juta metrik ton sampah plastik akan masuk ke ekosistem perairan dunia pada 2030 jika tidak ada upaya serius dari setiap negara dalam mengatasi masalah ini. Hasil riset dengan model penghitungan di 173 negara, salah satunya Indonesia, itu juga menyebut 19 juta metrik hingga 23 juta metrik ton atau 11 persen sampah plastik yang dihasilkan secara global masuk ke ekosistem perairan pada 2016.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2020%2F02%2F07%2F5f1f71b6-61b4-41d1-8348-e19d90d438ad_jpg.jpg)
Sampah botol plastik bekas minuman asal Vietnam di pantai Desa Pengadah, Kecamatan Bung Timur Laut, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, awal Februari 2020.
Berkaca dari kondisi tersebut, tahun ini UNEP menetapkan tema ”Solusi untuk Polusi Plastik” dalam peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia pada hari ini, 5 Juni 2023. Tema ini diambil sebagai upaya untuk terus mendorong setiap negara, perusahaan, dan pemangku pihak lain turut menanggulangi sampah plastik dan mempercepat transisi ke ekonomi sirkular.
Penetapan tema terkait penanganan sampah plastik dalam Hari Lingkungan Hidup Sedunia juga tidak terlepas dari hasil sidang Majelis Lingkungan PBB (UNEA) pada Maret 2022 di Nairobi, Kenya. Dalam pertemuan tersebut, setiap negara sepakat untuk mengakhiri polusi plastik dan merundingkan perjanjian internasional yang mengikat secara hukum pada 2024.
Saat ini, delegasi dari 175 negara dan lebih dari 1.500 ilmuwanserta perwakilan masyarakat sipil dan industri juga tengah berkumpul di Paris, Perancis, untuk mendiskusikan dokumen penguatan undang-undang internasional guna membatasi produksi plastik.Aturan tersebut termasuk untukmengatur pelarangan produksi jenis plastik tertentu, memperkuat pengolahan limbah, dan meningkatkan aspek daur ulang sampah.
Baca juga: Beragam Langkah Perubahan dalam Pengelolaan Sampah
Direktur Eksekutif UNEP Inger Andersen menekankan bahwa semua pihak perlu memanfaatkan peluang dan melibatkan setiap pemangku kepentingan untuk menangani masalah plastik secara menyeluruh. Upaya menangani sampah plastik hanya bisa dilakukan melalui penghapusan, pengurangan, dan proses transisi serta transparansi yang berkeadilan.
”Kita harus menghilangkan dan mengganti barang-barang plastik yang bermasalah dan tidak diperlukan. Kita juga perlu memastikan bahwa produk plastik dirancang untuk dapat digunakankembali atau didaur ulang,” ujar Andersen dikutip dari situs resmi UNEP.

Andersen pun menekankan tiga upaya perubahan yang perlu dilakukan semua pihak untuk mengatasi persoalan sampah plastik ini. Upaya tersebut yaknimeningkatkan pasar untuk produk yang dapat digunakan kembali, mempercepat pasar daur ulang, serta mendiversifikasi pasar untuk alternatif plastik yang aman dan berkelanjutan.
Mengancam biodiversitas
Persoalan sampah, khususnya plastik, harus benar-benar ditangani dengan baik. Sebab, sampah plastik yang tidak terkelola dengan baik akan terlepas ke sungai ataupun lautan. Bahkan, hal ini juga dapat memicu kontaminasi atau pencemaran mikroplastik di lingkungan.
Mikroplastik merupakan partikel plastik kecil berdiameter hingga 5 milimeter yang dapat masuk ke dalam makanan, air, dan udara. Plastik sekali pakai yang dibuang atau dibakarmembahayakan kesehatan manusia dan keanekaragaman hayati atau biodiversitas serta mencemari setiap ekosistem dari puncak gunung hingga dasar laut.
Baca juga: Perangi Sampah Plastik, Praktik di Negara Lain Bisa Ditiru
Hasil studi para peneliti dari California State University (CSU) pada 2017 menunjukkan bahwa sampah laut, termasuk mikroplastik, akan berdampak terhadap flora dan fauna. Seluruh organisme ataupun ekologi lautan juga diperkirakan akan menghadapi ancaman kerusakan dan kematian jika mereka mengonsumsi mikroplastik.
Dalam studi tersebut, para peneliti mengamati sistem pencernaan beberapa spesies kepiting di sepanjang pantai California. Hasilnya, sebagian besar spesies kepiting ditemukan telah menelan fragmen mikroplastik. Bahkan, meski berukuran kecil, satu organisme yang dipelajari oleh kelompok tersebut memiliki hampir 100 fragmen mikroplastik.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F05%2F29%2F546dd453-433e-494e-83de-da06e43dd8db_jpg.jpg)
Foto udara petugas Suku Dinas Lingkungan Hidup Kabupaten Administrasi Kepulauan Seribu membersihkan sampah laut di muara Kanal Banjir Timur di Marunda Kepu, Cilincing, Jakarta Utara, Senin (29/5/2023). Sampah berasal dari Sungai Blencong, Kanal Banjir Timur, dan Teluk Jakarta yang terbawa angin.
Peneliti mencatat, mikroplastik yang terlepas ke lautan dapat seolah tampak seperti makanan sehingga menyumbat saluran cerna mereka. Organisme laut juga memerlukan makanan dan habitat yang bebas dari kontaminasi bahan kimia, termasuk mikroplastik, untuk menjaga kesehatan ekosistem laut.
Selain itu, hasil penelitian dari Konvensi tentang Keanekaragaman Hayati PBB (UNCBD) pada 2016 juga menyebutkan, sampah termasuk plastik di lautan telah membahayakan lebih dari 800 spesies.Dari 800 spesies tersebut, 40 persen di antaranya merupakan mamalia laut dan 44 persen lainnya adalah spesies burung laut.
Data tersebut kemudian kembali diperbarui pada Konferensi Laut PBB di New York, AS, pada 2017. Hasil konferensi menyatakan, limbah plastik di lautan telah membunuh 1 juta burung laut serta 100.000 mamalia laut, kura-kura laut, dan ikan dalam jumlah besar setiap tahun.
Kondisi di Indonesia
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut Walhi Nasional Parid Ridwanuddin dalam webinar tentang urgensi penanganan sampah laut dan pesisir, Selasa (30/5/2023), mengatakan, selain terancam oleh krisis iklim dan beban pembangunan, laut Indonesia juga terancam oleh masifnya sampah yang dibuang dari daratan.
Data Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi pada 2018 menyebut, 80 persen sampah laut Indonesia saat ini berasal dari daratan dan 30 persen di antaranya dikategorikan sebagai sampah plastik. Setiap tahun, 1,29 juta ton sampah plastik yang turut dipengaruhi pasang surut ombak juga masuk ke perairan Indonesia dan berkontribusi terhadap akumulasi sampah lokal.
Tahun lalu, Walhi bersama sejumlah organisasi lingkungan melakukan audit di 11 titik pantai yang tersebar di 10 provinsi di Indonesia. Hasilnya, setiap titik ditemukan sampah plastik dan 79,7 persen sampah tersebut merupakan kemasan plastik sekali pakai berupa saset. Ditemukan pula sampah kemasan plastik sekali pakai terbesar berasal dari tiga korporasi.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2022%2F09%2F01%2F2b50e41d-0fc9-4a7c-bdce-5032061e20ff_jpg.jpg)
Tim Ekspedisi Sungai Nusantara mengukur kualitas air Sungai Kuin di kawasan Masjid Bersejarah Sultan Suriansyah, Banjarmasin, Kalimantan Selatan, Kamis (1/9/2022). Dari hasil pengukuran, air sungai di lokasi tersebut juga sudah terkontaminasi mikroplastik.
”Temuan ini seharusnya menjadi dasar dari kebijakan Pemerintah Indonesia. Jadi, kebijakan ini orientasi ke depan bukan hanya mengubah kebiasaan masyarakat, melainkan harus ada upaya penegakan hukum lingkungan dalam menuntut tanggung jawab korporasi,” kata Parid.
Dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2008 tentang Pengelolaan Sampah telah jelas menyebut bahwa pelaku usaha wajib menggunakan bahan produksi yang minim timbunan sampah, dapat didaur ulang, dan mudah diuraikan oleh proses alam. Aturan lainnya untuk mengelola sampah dari pelaku usaha juga tertuang dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen.
Meski belum memiliki undang-undang khusus, Parid mengusulkan agar sampah plastik dimasukkan ke dalam kategori limbah bahan berbahaya dan beracun (B3). Sebab, sampah plastik menimbulkan bahaya yang besar, khususnya untuk keanekaragaman hayati. Di sisi lain, pemerintah perlu terus mendorong pihak korporasi untuk lebih bertanggung jawab dalam mengelola sampah dari produknya masing-masing.
Baca juga: 13 Juta Sukarelawan Diajak Bersih-bersih Sampah
Komitmen Indonesia untuk mengatasi persoalan sampah plastik ditegaskan Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah, dan B3 (PSLB3) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Rosa Vivien Ratnawati dalam sidang pleno keempat the Second Session of the Intergovernmental Negotiating Committee (INC-2) di Paris, Rabu (31/5/2023).
”Kami berkomitmen kuat untuk bergabung dengan gerakan global mengakhiri polusi plastik melalui pembentukan instrumen yang mengikat secara hukum internasional,” ucapnya.
/https%3A%2F%2Fasset.kgnewsroom.com%2Fphoto%2Fpre%2F2023%2F03%2F08%2Fbcb75ecc-2611-4e43-b642-5769f76bce7a_jpg.jpg)
Pekerja memilah sampah organik dan anorganik dari korporat di bengkel produksi penyedia jasa pengolahan sampah Rumah Pemulihan Material (RPM) Waste4Change Bekasi 2.0 di kawasan Padurenan, Mustika Jaya, Bekasi, Jawa Barat, Selasa (8/3/2023).
Dalam beberapa kesempatan, Vivien selalu menekankan bahwa upaya mengatasi persoalan ini memerlukan dukungan dari semua pihak, termasuk korporasi. Pemerintah pun terus menerapkan berbagai pendekatan dalam pengelolaan sampah, seperti ekonomi sirkular.
Baca juga: Pelibatan Produsen dalam Penanganan Sampah Terus Ditingkatkan
Ekonomi sirkular pada tingkatan produsen atau badan usaha telah dimulai dengan menerapkan tanggung jawab produsen yang diperluas atau extended producer responsibility (EPR). Tercatat 15 badan usaha telah menerapkan EPR dengan jumlah sampah terkurangi sebesar 1.145,5 ton. Pemerintah juga tengah melakukan pendampingan teknis peta jalan pengurangan sampah pada 353 badan usaha.
Dalam momen Hari Lingkungan Hidup Sedunia tahun ini, semua pihak perlu menerapkan upaya yang lebih serius dan ambisius dalam mengatasi persoalan sampah plastik. Mengelola sampah plastik pada akhirnya akan turut menyelamatkan keanekaragaman hayati kita.