Perempuan perlu sistem pendukung yang sehat untuk membantu mereka memenuhi perannya di luar rumah.
Oleh
SEKAR GANDHAWANGI
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Ruang partisipasi perempuan kian terbuka, tetapi belum semua orang dapat memanfaatkannya karena terhalang restu keluarga, stigma sosial, hingga pekerjaan rumah tangga. Sistem pendukung yang sehat dibutuhkan agar perempuan dapat memaksimalkan perannya di luar rumah.
Sistem pendukung (support system) dapat berupa orangtua, suami, anak, saudara, tempat kerja, hingga lingkungan tempat tinggal. Mereka dimaknai sebagai orang yang mendukung dan membantu perempuan mencapai cita-citanya. Misalnya, suami memberi izin istrinya untuk berorganisasi. Selama istrinya berorganisasi, sang suami membantu mengerjakan pekerjaan rumah tangga dan mengasuh anak.
Menurut Direktur Yayasan Hutan Alam Lingkungan Aceh (HAkA) Farwiza Farhan, Minggu (18/6/2023), perannya sebagai aktivis lingkungan tak lepas dari dukungan orangtua dan suami. Ayahnya mendukung ia untuk mengenyam pendidikan setinggi mungkin, sedangkan suaminya mendukung kegiatan-kegiatannya.
Konservasi Kawasan Ekosistem Leuser, Aceh, yang dilakukan Farwiza lantas mendapat pengakuan. Farwiza terpilih sebagai World Rising Star Time 100 Next 2022 atau salah satu orang berpengaruh di dunia menurut majalah Time.
”Jika ingin perempuan mengambil peran lebih, para laki-laki butuh step in (maju). Peran laki-laki penting agar perempuan bisa meraih mimpi dan memenuhi perannya,” kata Farwiza dalam gelar wicara berjudul ”The Future is Female: Womanhood as Power of Creation” dalam Kompasfest 2023: Creation.
Dukungan laki-laki penting karena perempuan kerap menjalani peran ganda, yakni sebagai ibu rumah tangga dan pencari nafkah.
Riset Jurnal Perempuan pada 2018 menunjukkan ibu rumah tangga di Indonesia menghabiskan 13,5 jam per hari untuk melakukan pekerjaan domestik. Durasi kerja ini lebih tinggi dibandingkan dengan waktu kerja rata-rata di Asia Pasifik, yaitu 7,7 jam per hari.
Walakin, belum semua perempuan diizinkan keluarganya untuk berkarya, termasuk dalam hal konservasi lingkungan. Padahal, keterlibatan perempuan pada konservasi lingkungan penting.
Jika ingin perempuan mengambil peran lebih, para laki-laki butuh step in (maju). Peran laki-laki penting agar perempuan bisa meraih mimpi dan memenuhi perannya.
Ada satu kelompok pelindung Kawasan Ekosistem Leuser yang dipimpin perempuan. Kelompok itu menghadapi perambah hutan dengan pendekatan persuasif. Mereka tidak menghukum perambah, tetapi mengajak perambah minum kopi dan makan, lalu diberi pengertian mengenai dampak negatif perambahan hutan.
”Biasanya perambah akan luluh hatinya dan menjadi ikut merestorasi (hutan). Pendekatan kelompok ini sangat efektif sampai deforestasi (di wilayah mereka) turun hingga nol persen per tahun,” ucap Farwiza.
Tantangan
Di sisi lain, perempuan yang berkarya di luar rumah masih rawan terhadap seksisme, stigma negatif, dan intimidasi. Ada pula yang kemampuannya disangsikan orang lain. Perempuan juga rawan mengalami kekerasan seksual.
Inisiator Kolektif Advokat untuk Keadilan Gender (KAKG) Justitia Avila Veda menambahkan, perempuan kerap dipandang sebagai obyek. Sebagian warga juga menganggap mereka punya kuasa atas perempuan, baik tubuh maupun pikirannya. Itu sebabnya perempuan menanggung berbagai tuntutan sosial, serta rawan kekerasan.
Saat pandemi Covid-19, ia menawarkan diri jadi teman diskusi bagi korban kekerasan seksual. Tawaran yang disampaikan lewat cuitan di Twitter itu viral. Justitia menerima 200 pesan di Twitter. Pesan itu berisi berbagai kejadian kekerasan seksual yang dialami di sekolah, tempat kerja, serta yang dialami pengirim ataupun temannya.
”Ini seperti membuka kotak pandora. (Inisiatif) ini bermanfaat karena reaksi masyarakat positif. Di sisi lain, saya overwhelmed (kewalahan) dan sedih karena kasusnya banyak,” ucap Justitia yang juga penerima SATU Indonesia Awards.
Inisiatif Justitia di Twitter lantas berkembang menjadi KAKG. Jumlah pengacara yang terlibat dalam KAKG pun bertambah menjadi 45 orang.
Menurut penulis buku The Over Qualified Leftover, Margareta Astaman, perempuan menerima stigma negatif ketika dirinya sukses atau berpendidikan. Sebagian publik menilai, perempuan yang terlalu pintar atau sukses akan membuat lelaki ”enggan tertarik”. Stigma itu kerap disematkan ke perempuan 30-an tahun yang belum menikah.
”Susah jadi perempuan di Indonesia. Pinter, disebut kepinteran. Sukses, disebut terlalu sukses. Kata sifat yang biasa saja bisa menjadi negatif ketika diletakkan ke perempuan,” ucap Margareta.