Perempuan Punya Kesempatan Setara dalam Berbagai Pekerjaan
Peringatan Hari Perempuan Internasional 2021 menjadi momen untuk merefleksikan kembali pencapaian perempuan dalam memperoleh kesempatan dan hak kerja yang layak.
Oleh
Mediana
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Di berbagai bidang pekerjaan, perempuan hingga sekarang masih kerap kali mendapatkan diskriminasi hak bekerja. Norma sosial dan budaya patriarki menjadi penyebab.
Director of Origin Artistic Brunei Darussalam, Siti Kamaruddin, mengatakan, sebelum berkecimpung sebagai sutradara, dia aktif sebagai penulis skenario untuk seri televisi. Kebanyakan orang di sekitarnya menyayangkan profesi itu sebab perempuan dinilai lebih cocok tampil di layar, misalnya sebagai pembawa acara.
Kejadian itu berlangsung ketika dia berusia 20-an tahun. Desakan itu berkali-kali muncul dan membuat Siti akhirnya terjun menjadi presenter. Hingga akhirnya, dia merasa pilihannya itu tidak sesuai dengan hasrat. Memasuki usia 30, Siti memutuskan berhenti dan mengikuti kata hatinya.
"Saya tidak mempunyai latar pendidikan perfilman sama sekali, tetapi saya mencintai film sejak kecil. Orangtua menyekolahkan saya ke Inggris untuk studi Ilmu Kimia dan sempat mengajar bidang ilmu itu. Meski ditentang, kecintaan saya terhadap film tetap besar," ujar dia saat menjadi salah satu pembicara dalam webinar "International Women Day Mentoring" yang diselenggarakan oleh Mission of Canada to ASEAN, Senin (8/3/2021), di Jakarta.
Siti mengaku belajar perfilman ke beberapa negara tetangga. Hingga akhirnya, dia mendapat sebutan sutradara perempuan pertama asal Brunei Darussalam sampai sekarang. Dia bekerja keras mulai dari pra produksi, seperti mencari pendanaan, sampai ikut mempromosikan. Tidak ada penyesalan darinya, meskipun masyarakat sekitar merasa perempuan lebih cocok tampil di layar dan dilihat banyak orang, dibanding di belakang layar.
Di tengah pandemi Covid-19, Siti mengatakan, banyak pekerja di industri perfilman terdampak. Bioskop pun masih tutup. Sementara aplikasi internet untuk pemutar konten film secara langsung belum marak di Brunei Darussalam.
"Banyak pekerja tergantung dengan saya. Saya tetap harus bekerja agar mereka tetap hidup apapun caranya. Saya beradaptasi dengan mengembangkan dan memonetisasi kanal YouTube. Saya produksi serial televisi dan konten kreatif lainnya," ujar dia.
Staf Kantor Kerja Sama Luar Negeri Lembaga Ketahanan Nasional RI, Letkol Sus Ratih Pusparini, menceritakan, di lingkungan militer, dia pernah merasa harus bekerja lebih keras dibanding rekan laki-laki. Dalam beberapa kesempatan berbincang lintas divisi, beberapa rekan sejawat perempuan menyampaikan hal yang sama.
Tantangan terbesar ketika saya memutuskan menjadi tentara datang dari orangtua. Budaya agama di lingkungan masyarakat saya juga memandang sebelah mata profesi ini.(Ratih Pusparini)
"Tantangan terbesar ketika saya memutuskan menjadi tentara datang dari orangtua. Budaya agama di lingkungan masyarakat saya juga memandang sebelah mata profesi ini," ujar dia yang pernah menjadi TNI perempuan pertama dalam misi perdamaian PBB di Kongo tahun 2008.
Namun, Ratih pernah memiliki atasan yang selalu mendorong untuk terus mewujudkan impiannya. Dia bekerja keras, tetapi selalu berusaha tetap berpikiran terbuka.
Penugasan militer di daerah rawan perang pernah dia jalani. Misalnya, pada 2012 dia diberangkatkan ke misi perdamaian PBB di Lebanon. Pada saat itu, dia membuktikan bahwa perempuan bisa berperan di garis terdepan.
Charge dÀffaires, a.i. of US Mission to ASEAN, Melissa A Brown, mengatakan, pencapaiannya seperti sekarang tidak mudah dilalui. Sebagai diplomat, dia dihadapkan ke serangkaian jenjang dan struktur karir yang mesti dilalui.
Diantara sesama diplomat perempuan, dia mengamati sering terjadi persaingan tidak sehat. Sistem komando penugasan juga terkesan kaku untuk pekerja perempuan.
"Atasan saya hampir selalu laki-laki. Baru lima tahun terakhir, saya baru mempunyai atasan seorang perempuan," kata dia yang telah menjadi diplomat belasan tahun.
Di tengah kondisi seperti itu, Melissa percaya harus terus maju. Dia mengasah keterampilan dan memperluas wawasan. Sebagai contoh, dia memperbanyak waktu membaca aneka genre buku yang berseberangan dari karirnya.
Associate of Professor of Journalism University of Philipphines, Yvone Chua, mengaku sudah 40 tahun menjalani profesi sebagai jurnalis. Di awal karirnya, dia pernah berhadapan dengan pandangan misoginis masyarakat dan lingkungan kantor tempatnya bekerja.
"Jumlah wartawan perempuan masih sedikit. Mungkin hanya sepertiga dari total. Apalagi, jurnalis perempuan menduduki jabatan struktural," ujar dia.
Namun, situasi itu bukan berarti membuat kerja-kerja jurnalisme menurun. Menurut dia, dalam setiap rapat redaksi, dia berusaha agar isu kesetaraan jender tetap punya ruang. Dia juga melatih keterampilan dan keahliannya.
"Perempuan tidak bisa semata-mata hanya mengandalkan penampilan dalam bekerja. Bagi saya, apapun bidang pekerjaannya, baik jurnalisme maupun bukan, perempuan mesti tetap jadi diri sendiri. Perempuan harus punya keterampilan," tutur Yvone.
Executive Director of Indonesia Business Coalition for Women Empowerment (IBCWE) Maya Juwita menceritakan, di korporasi, masih ada manajemen perusahaan yang tidak ramah terhadap perempuan. Misalnya, karyawan perempuan tidak diberikan peluang duduk di struktural. Mereka tidak diberi kesempatan mengikuti pelatihan kepemimpinan.
"Padahal, perempuan berhak menjadi pemimpin. Kalaupun jadi pemimpin, mereka tetap bisa menampilkan sisi feminin dan kehangatan untuk organisasi. Mereka tidak harus bersikap dan berpenampilan seperti laki-laki," tutur dia.
Berdasarkan pengalamannya, terdapat sejumlah profesional laki-laki yang mau menjadi mentor bagi perempuan untuk meniti karirnya. Pekerja perempuan juga harus berpikiran terbuka dengan berani aktif berjejaring.