Remaja Berdaya Mencegah HIV, Bergerak dari Mereka untuk Mereka
Remaja perlu diberdayakan dengan informasi dan edukasi yang menyeluruh mengenai HIV/AIDS. Dengan bekal pemahaman yang tepat, mereka bisa melindungi dirinya sendiri dan mencegah perilaku yang berisiko.
Oleh
DEONISIA ARLINTA
·4 menit baca
Remaja perlu mendapat Informasi menyeluruh mengenai HIV. Jangan ada lagi anggapan tabu mengenai hal itu. Pemahaman yang baik dan tepat justru dapat menjadi bekal bagi mereka untuk mencegah dan melindungi diri dari risiko tertular HIV.
Remaja merupakan salah satu kelompok berisiko penularan HIV. Tingginya rasa ingin tahu serta mulai timbulnya ketertarikan pada lawan jenis membuat risiko penularan HIV menjadi tinggi. Potensi penularan HIV bisa terjadi apabila remaja mulai berhubungan seksual dan berganti-ganti pasangan.
Bagi sebagian masyarakat, hal tersebut mungkin menjadi hal yang tabu. Namun, kita tidak bisa menutup mata terhadap risiko tersebut. Sekalipun angkanya kecil, jika tidak dicegah dan diantisipasi, dampak buruk yang terjadi tetap menjadi persoalan.
Ni Kadek Dita Dwi Astika Sari (21) menyampaikan, informasi mengenai HIV tidak banyak ia dapatkan di sekolah. Orangtuanya juga tidak pernah menjelaskan secara lengkap mengenai HIV. Sebelumnya, Dita hanya tahu ada penyakit HIV-AIDS yang bisa menular melalui hubungan seksual.
”Tapi sekarang saya sudah bisa dengan percaya diri menjelaskan mengenai HIV, bagaimana mencegahnya juga bagaimana penularannya. Selain untuk diri sendiri, pemahaman yang saya punya soal HIV juga bermanfaat buat orang di sekitar saya,” katanya saat ditemui di Bali, Rabu (14/6/2023).
Pemahaman yang lebih baik itu ia dapatkan setelah bergabung dalam gerakan Girls Act, sebuah inisiatif Yayasan Kerti Praja untuk meningkatkan kesadaran dan pemahaman remaja putri mengenai HIV/AIDS.
Dalam gerakan ini, remaja putri dibekali informasi tentang cara penyebaran HIV/AIDS, cara pencegahannya, penanganannya, stigma dan diskriminasi, serta isu lain yang terkait dengan remaja. Setidaknya sudah ada sekitar 30 remaja putri yang tergabung dalam Girls Act.
Selain diberi pemahaman soal HIV/AIDS, para remaja juga dibentuk untuk mampu memimpin dan berbicara di depan publik. Tujuannya agar remaja tersebut bisa turut memperluas kampanye pencegahan dan penanganan HIV yang tepat di masyarakat, terutama kepada teman sebayanya.
Dita mengatakan, pemahaman yang tepat mengenai HIV juga membuat dirinya dapat merespons lebih baik saat ada temannya yang bercerita mengenai perilaku seksualnya. ”Suatu ketika ada teman yang cerita kalau dia sudah berhubungan seksual dengan pacarnya. Karena tahu saya sering bicara soal HIV, dia jadi cerita ke saya. Tentu saya kaget, cuma saya coba untuk tidak menyalahkan. Saya sampaikan agar tidak lagi melakukannya dan mencegah agar tidak tertular HIV,” tuturnya.
Koordinator Program Girls Act Pharto Muliawan menyampaikan, edukasi mengenai HIV pada remaja sangat penting dalam upaya pencegahan HIV/AIDS sejak dini. Remaja merupakan usia yang krusial dalam pengendalian HIV.
Dengan pemahaman yang baik dan tepat, remaja bisa mengambil sikap yang tepat untuk dirinya sendiri, khususnya dalam menghindari perilaku yang berisiko tertular HIV. Pemahaman yang baik juga bisa membantu menghilangkan stigma dan diskriminasi yang selama ini menghambat penanganan HIV/AIDS di masyarakat.
Menurut dia, pemahaman yang diberikan antarteman sebaya lebih efektif dibandingkan pemahaman yang diberikan oleh guru atau orang yang lebih tua. Remaja akan lebih leluasa menyampaikan kondisinya kepada teman sebayanya. ”Jadi, gerakan Girls Act ini adalah gerakan dari remaja untuk remaja dalam pengendalian HIV/AIDS,” katanya.
Pemahaman yang baik juga bisa membantu menghilangkan stigma dan diskriminasi yang selama ini menghambat penanganan HIV/AIDS di masyarakat.
Pemahaman soal HIV/AIDS juga perlu disampaikan secara berkelanjutan. Kerja sama berbagai pihak sangat penting untuk memperluas edukasi dan informasi yang disampaikan. Itu sebabnya, edukasi mengenai HIV/AIDS oleh Girls Act tidak sekadar dilakukan di sekolah, tetapi juga pada kegiatan di luar sekolah seperti di banjar (desa) ataupun dalam berbagai kegiatan lain yang melibatkan banyak remaja.
Berdasarkan data Sistem Informasi HIV AIDS dan IMS (SIHA), umur 25-49 tahun atau usia produktif merupakan kelompok umur dengan jumlah penderita infeksi HIV terbanyak setiap tahunnya sepanjang 2010-2019. Setelah itu, jumlah tertinggi berikutnya disusul kelompok usia 20-24 tahun, di atas 50 tahun, dan 15-19 tahun.
Target belum tercapai
Upaya pengendalian HIV/AIDS perlu lebih gencar dilakukan di masyarakat untuk memastikan upaya penanggulangan HIV/AIDS bisa mencapai target yang ditentukan. Pemerintah telah menargetkan eliminasi HIV bisa dicapai pada 2030, melalui pencapaian 95-95-95. Artinya, 95 persen orang dengan HIV mengetahui status HIV-nya, 95 persen orang dengan HIV diobati, dan 95 persen orang dengan HIV yang diobati memiliki virus yang tersupresi (virus sangat rendah) di tubuhnya.
Namun, capaian saat ini masih jauh dari harapan. Berdasarkan data Kementerian Kesehatan per 2022, baru 76 persen orang dengan HIV mengetahui statusnya, 41 persen orang dengan HIV mendapatkan pengobatan, serta baru 16 persen orang dengan HIV yang mendapatkan pengobatan, virusnya tersupresi.
Perwakilan Badan Perserikatan Bangsa-Bangsa untuk Pendanaan Kependudukan (UNFPA) untuk Indonesia, Anjali Sen, yang ditemui dalam kunjungannya ke klinik WM Medika Yayasan Kerti Praja di Bali, Rabu (14/6/2023), menuturkan, anak muda memiliki peran yang penting dalam penanganan HIV/AIDS di masyarakat. Anak muda pun harus diberdayakan dengan informasi serta pendidikan dan layanan yang baik agar mereka bisa memiliki pilihan yang tepat untuk dirinya sendiri.
Bekal informasi yang komprehensif bagi remaja putri pun dapat membantu mereka untuk melindungi diri dan menyadari perilaku serta konsekuensi atas perilakunya tersebut. Para remaja juga bisa lebih bertanggung jawab atas pilihannya. ”Dan itu hanya mungkin jika mereka mendapatkan pendidikan dan informasi yang benar,” ujarnya.