Ledakan HIV/AIDS Kian Meresahkan
Penyebaran kasus HIV/ AIDS di Indonesia seperti fenomena gunung es. Kasus yang tidak muncul di permukaan lebih besar dari kasus yang ada. Dan kini kian meresahkan. Seks bebas merupakan faktor risiko utama penularan.
Penyebaran kasus HIV/ AIDS di Indonesia kian meresahkan. Berita terakhir, seorang anak perempuan berusia 12 tahun mengidap HIV/ AIDS karena tertular dari orang-orang yang melakukan hubungan seksual dengannya.
Saat ini kasus itu sedang dalam penanganan polisi. Sejatinya, yang membuat kita miris adalah ketika anak tersebut sudah positif, berarti orang-orang yang melakukan hubungan seksual dengan anak ini juga mempunyai peluang sudah tertular lebih besar lagi.
Kondisi remaja tersebut masih sehat, dan ketika ia melakukan hubungan seksual, ia akan menjadi sumber penularan untuk yang lain. Pantauan saya melalui media di beberapa kabupaten menunjukkan, kondisi di daerahnya, yakni Kabupaten Cianjur, pada Juli 2022, kasus baru HIV/AIDS memang meningkat dua kali lipat dari tahun sebelumnya.
Satu bulan lalu, kita juga mendengar ratusan anak remaja di Bandung terdeteksi mengidap HIV.
Pada risetnya Nia menemukan bahwa semakin terlambat kasus ditangani, semakin tinggi angka kegagalan terapinya.
Awal September 2022, Dinas Kesehatan Gunungkidul juga melaporkan puluhan anak di Gunungkidul terinfeksi HIV/AIDS dan tertular dari orangtuanya. Unit Donor Darah PMI Kota Surabaya juga melaporkan, pada periode Januari-Juni 2022, sebanyak 514 kantong darah dari 66.274 kantong darah yang ada harus dibuang karena terdeteksi mengandung infeksi virus menular, antara lain HIV/AIDS dan sifilis.
Penyebaran HIV/AIDS sendiri memang seperti fenomena gunung es. Kasus yang tidak muncul di permukaan lebih besar daripada kasus yang ada.
Nia Kurniati, pengajar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia yang meneliti HIV pada anak, saat promosi doktor bulan Juli 2022, memperkirakan pada 2020 terdapat 540.000 kasus HIV/AIDS di Indonesia. Dari jumlah itu, sebanyak 3,3 persen adalah anak di bawah umur 14 tahun.
Nia mengungkapkan, UNAIDS pada 2020 secara global sebenarnya menargetkan 90 persen penderita HIV/AIDS mengetahui dirinya menderita HIV/ AIDS, tetapi faktanya di Indonesia angka itu baru mencapai 66 persen. Adapun untuk target 90 persen pasien yang sudah diketahui mengidap HIV mendapat obat antivirus, di Indonesia baru tercapai 26 persen. Pada risetnya Nia menemukan bahwa semakin terlambat kasus ditangani, semakin tinggi angka kegagalan terapinya. Ini jadi pekerjaan rumah yang besar untuk kita semua.
Faktor risiko HIV
Penyakit infeksi human immuodeficiency virus (HIV) disebabkan oleh virus RNA. Ini merupakan penyakit yang penularan utamanya melalui kontak seksual, baik lewat hubungan sesama jenis maupun berbeda lawan jenis. HIV akan menyerang sistem kekebalan tubuh manusia sehingga pasien yang terinfeksi oleh kuman HIV ini akan mengalami berbagai infeksi oportunistik yang bisa mematikan penderitanya jika tidak diobati. Pasien yang mengandung HIV dalam perjalanan penyakitnya bisa jatuh dalam kondisi acquired immunodeficiency syndrome (AIDS).
Kondisi pergaulan bebas, baik dengan sesama jenis maupun lawan jenis, juga lebih kurang sama dengan di kota-kota besar lain. Artinya, bisa diprediksi kasus HIV pada remaja juga akan ditemukan di kota-kota besar lain di Indonesia.
Penularan pada anak muda terutama adalah melalui hubungan seksual per vagina ataupun melalui anus. Berganti-ganti pasangan juga menjadi risiko tertular infeksi HIV. Pasien dengan infeksi menular seksual lain, seperti sifilis, herpes, gonore (kencing nanah), juga berisiko terinfeksi HIV karena mereka umumnya sudah mempunyai luka terbuka pada kelamin atau duburnya.
Penggunaan narkoba melalui jarum suntik juga menjadi risiko penularan walau saat ini penggunaan jarum suntik sudah semakin rendah, karena saat ini narkoba umumnya dikonsumsi dengan cara diminum, diisap, atau dihirup.
Masalah utama dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia adalah deteksi kasus baru yang rendah
Masalah utama dalam penanggulangan HIV/AIDS di Indonesia adalah deteksi kasus baru yang rendah. Siaran pers Kemenkes awal Agustus 2022 menyebutkan, dari target 97.000 kasus terdeteksi, baru 13.000 yang ditemukan. Artinya, masih ada kasus-kasus baru yang belum ditemukan dan ini akan berdampak pada penularan yang terus terjadi di tengah masyarakat jika kasus yang belum terdeteksi itu melakukan kontak seksual dengan siapa pun.
Terus terang, bagi saya sebagai akademisi dan klinisi yang turut menangani kasus HIV terkait gejala gastrointestinal, temuan ratusan remaja terinfeksi ini cukup merisaukan. Edukasi harus terus- menerus dilakukan. Bisa saja karena ketidaktahuan tentang cara penularan, mereka menjadi terpapar dengan infeksi HIV yang pengobatannya harus seumur hidup ini. Pasien dengan HIV biasanya datang dengan gejala yang tidak khas dan berlangsung kronis, sampai pasien tersebut masuk pada periode AIDS.
Sebagian besar pasien HIV ini sudah berobat ke dokter, tetapi diagnosis HIV belum terpikirkan oleh dokter-dokter sebelumnya. Oleh karena itu, perlu ada kejujuran dari pasien saat berobat ke dokter, menyampaikan bahwa ia memang memiliki risiko terinfeksi HIV.
Kaskade dalam Pengobatan HIV Infografik
Sampai sejauh ini saya melihat bahwa umur pasien juga bervariasi. Ada yang baru 25 tahun, dan ada yang 65 tahun. Profesinya juga bermacam-macam, mulai dari penjaja seks sampai ibu rumah tangga. Bahkan, dari pemberitaan media akhir-akhir ini, HIV terjadi pada remaja dan anak. Jadi, boleh dibilang bahwa HIV dapat diderita oleh siapa saja dan dari semua kalangan.
Gejala HIV/AIDS
Gejala pertama yang muncul bisa bermacam-macam. Ada pasien yang terdiagnosis setelah dari tindakan endoskopi ditemukan jamur pada kerongkongannya (esofagus). Lidah yang putih akibat jamur disertai berat badan turun juga perlu diduga disebabkan HIV. TBC paru pada pasien dengan risiko tinggi menderita HIV/AIDS harus dievaluasi kemungkinan terinfeksi HIV.
Pasien dengan HIV bisa juga diawali dengan mengalami kelainan pada kulit, berupa kulit berwarna kehitaman. Pasien juga bisa datang dengan kejang-kejang akibat HIV sudah mengenai otak.
Saat ini, ketika pasien berusia 20-30 tahun mengalami diare kronis, dokter harus memikirkan HIV sebagai penyebabnya. Agar kita tak terlambat mendeteksi adanya HIV pada pasien, harus selalu diingat bahwa pasien dengan HIV bisa seperti orang sehat lain, sampai ia mengalami AIDS dengan kondisi pasien kurus dengan berbagai macam gejala klinis, seperti batuk-batuk kronis, diare, timbul benjolan di leher dan kulit kehitaman.
Baca juga : Keadaan HIV/AIDS di Indonesia
Baca juga : Cegah Penularan Vertikal HIV dari Ibu ke Anak
Dengan semakin banyak kasus HIV di tengah masyarakat, mestinya kemampuan dokter mendeteksi juga semakin tinggi. Semakin cepat diobati semakin cepat kita mencegah komplikasi yang terjadi. Saat ini pasien-pasien saya, yang diobati dan harus minum obat seumur hidup—obat gratis dari pemerintah—bisa hidup normal tanpa keluhan, bahkan berat badan sudah kembali seperti sebelum sakit. Saya selalu mengingatkan untuk hati-hati dalam berhubungan seksual karena infeksi ini bisa menular ke orang lain melalui kontak seksual.
Seks bebas merupakan faktor risiko utama bagaimana virus tersebut berpindah dari satu orang ke orang lain.
Suami atau istri yang menderita HIV akan menularkan kepada istri atau suaminya. Ibu penderita HIV bisa menularkan kepada anak-anak yang dilahirkan. Orang serumah atau orang satu kantor atau teman sekolah dengan penderita HIV tak akan tertular kalau hanya sekadar mengobrol atau bekerja dalam satu tim, makan bersama, berenang bersama, atau duduk di ruangan yang sama. Stigma yang menakutkan bahwa penderita HIV harus dikucilkan sebenarnya tidak perlu terjadi lagi saat ini.
Penderita pun mestinya tak perlu bersedih hati mengenai masa depannya karena dengan minum obat antiretroviral (ARV) yang tersedia saat ini, secara teratur dan tidak terputus, kualitas hidup penderita akan lebih baik dan tak berbeda dengan orang tanpa HIV.
Kasus HIV/AIDS bisa dicegah dan angka kejadiannya bisa ditekan dengan kesungguhan kita semua untuk mengendalikan agar jumlah kasus ini tidak meningkat. Siapa pun yang berisiko silakan periksa status HIV untuk mengetahui apakah Anda mempunyai HIV atau tidak. Semakin cepat dideteksi, semakin cepat juga diobati, dan semakin rendah menularkan ke orang lain.
(Ari Fahrial SyamGuru Besar Ilmu Penyakit Dalam FKUI, Dekan FKUI)