Buruh Perempuan di Kebun Sawit Masih Rentan Alami Kekerasan Seksual
Perempuan pekerja di perkebunan sawit masih belum terlindungi dengan baik. Mereka masih rentan mengalami upah yang tidak setara dengan beban kerja dan ancaman kekerasan seksual.
Oleh
Atiek Ishlahiyah Al Hamasy
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Buruh perempuan di perkebunan sawit di Indonesia masih rentan mengalami kekerasan, upah minim dengan beban kerja tinggi, dan kekerasan seksual. Pemerintah agar lebih agresif menangani hal tersebut dan memastikan pelaksanaan instrumen hukum bagi perlindungan perempuan pekerja di sektor rentan.
Buruh perempuan di perkebunan sawit Sumatera Selatan, Siti Roaini, dalam diskusi tematik Menuju Kongres Perempuan Bangkit: Perempuan di Sektor Perkebunan Sawit, Jumat (16/6/2023), menuturkan, respons pemerintah masih minim terhadap berbagai permasalahan buruh perempuan tersebut. Ia menyebut persoalan itu juga terjadi pada buruh perempuan di perkebunan sawit di Sumatera Selatan.
Ia berharap ada solusi serius untuk mengatasi berbagai persoalan buruh perempuan tersebut. Terkait kekerasan seksual, ia menyebutkan tidak ada penanganan trauma bagi korban.
Selain rentan mengalami kekerasan seksual di perkebunan, para buruh juga mendapat gaji minim (Rp 3,5 juta per bulan) dengan beban kerja yang berat. Misalnya, mereka diberi target menyemprot 4 hektar perkebunan sawit per hari.
Sebelumnya, mereka mendapat iming-iming dari perusahaan yang masuk ke daerahnya agar mau menjual lahannya. Jika masyarakat menjual lahannya, mereka akan mendapatkan uang yang sesuai, juga dijadikan pegawai. Namun, nyatanya, mereka hanya dijadikan penyemprot sawit dengan gaji yang minim.
Akademisi Universitas Indonesia Hariati Sinaga mengatakan, hingga saat ini buruh perempuan di perkebunan sawit masih kurang akses terhadap perlindungan kesehatan dan keselamatan kerja. Banyak dari mereka juga ditempatkan di bagian perawatan. Adapun upah rata-rata yang diterima buruh perempuan ialah Rp 110.000 per hektar. Sebulan, buruh perempuan menerima Rp 2,2 juta.
Pelecehan seksual tidak dapat ditoleransi. Oleh karena itu, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja membutuhkan pemahaman, perhatian, dan dukungan dari semua pihak.
Terdapat beberapa faktor penyebab buruh perempuan di perkebunan sawit masih dihadapkan dengan kondisi memprihatinkan, mulai dari relasi kuasa yang timpang, iming-iming kehidupan yang lebih baik, hingga rendahnya tingkat pendidikan dan ekonomi.
Pekerja pada industri sawit, terutama kaum perempuan, memiliki risiko tinggi ancaman penyakit kronis ataupun penyakit pada sistem reproduksi. Hal ini disebabkan efek dari paparan pupuk atau zat kimia dalam waktu lama.
Terkait kasus kekerasan terhadap pekerja atau buruh, terutama perempuan di sektor perkebunan sawit, Direktur Hubungan Kerja dan Pengupahan Kementerian Tenaga Kerja Dinar Titus Jogaswitani, menuturkan Menteri Ketenagakerjaan pada 1 Juni 2023 telah membuat keputusan Menaker Nomor 88 Tahun 2023 tentang Pedoman Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual di Tempat Kerja.
Tujuan keputusan tersebut untuk memberikan acuan dalam upaya pencegahan, penanganan, dan perlindungan dari segala bentuk kekerasan seksual di tempat kerja. Selanjutnya, mewujudkan lingkungan kerja yang kondusif, harmonis, aman, nyaman, dan bebas dari tindakan kekerasan seksual di tempat kerja.
Menurut Dinar, pelecehan seksual tidak dapat ditoleransi. Oleh sebab itu, pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja membutuhkan pemahaman, perhatian, dan dukungan dari semua pihak.
Untuk mengurangi angka kekerasan seksual, Kemnaker mewajibkan ada satuan gugus tugas (satgas) pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di tempat kerja. Korban, keluarga korban, rekan kerja korban, dan pihak terkait dapat melaporkan tindakan kekerasan seksual secara daring dan luring kepada Satgas yang dibentuk di perusahaan, dinas ketenagakerjaan setempat, Kemnaker, ataupun kepolisian.
”Selanjutnya, upaya yang dapat dilakukan para pimpinan, bahkan karyawan, ialah melaksanakan edukasi kepada para pihak di tempat kerja, meningkatkan kesadaran diri, menyediakan sarana yang memadai, serta mempublikasikan gerakan anti kekerasan seksual,” tutur Dinar.
Pemerintah juga mendorong perusahaan menyediakan fasilitas kesejahteraan dengan memperhatikan kebutuhan pekerja atau buruh, seperti tempat penitipan anak, koperasi, dan tempat ibadah. Keikutsertaan pekerja atau buruh dalam Badan Penyelenggara Jaminan Sosial juga bersifat wajib, sesuai Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2011 tentang Badan Penyelenggara Jaminan Sosial.
Kesetaraan jender
Koordinator Subkomisi Pemajuan Hak Asasi Manusia Komnas HAM Anis Hidayah mengatakan, perempuan yang bekerja di perkebunan sawit sering dianggap tidak ada. Padahal, proses produksi sangat dipengaruhi oleh keberadaan perempuan yang bertugas menyemprot atau membantu panen.
Fenomena perekrutan keluarga buruh untuk mengurus perkebunan dengan paradigma hetero patriarkis juga semakin melanggengkan subordinasi. Buruh perempuan dianggap sebagai asisten dari suaminya yang merupakan buruh laki-laki untuk perkebunan.
”Status buruh perempuan di perkebunan sawit adalah buruh harian lepas (BHL). Direkrut tanpa kontrak kerja dan tidak mendapat akses BPJS di lingkungan kerja yang sangat berbahaya,” tutur Anis.
Menurut Anis, pemerintah perlu mengintegrasikan perspektif adil jender dan kesetaraan jender, disabilitas, serta inklusi sosial (gedsi) dalam instrumen pengawasan ketenagakerjaan. Ia pun mendorong pemerintah melakukan investigasi terkait kondisi perempuan di perkebunan sawit.
Hasil investigasi itu mesti ditindaklanjuti serius. Ia pun merekomendasikan sejumlah upaya terkait yaitu membangun desk, call center, dan layanan cepat untuk kasus kekerasan seksual dan kekerasan berbasis jender di sektor kerja yang rentan bagi perempuan pekerja.
Sementara itu, berdasarkan data Komnas Perempuan tahun 2021, terdapat 389 kasus kekerasan seksual di tempat kerja dengan 411 korban. Pada 2022 terdapat 324 kasus dengan 384 korban dan hingga Mei 2023 terdapat 123 kasus dengan 135 korban.