Sindrom Hutan Kosong dan Masa Depan Punan Batu
Sindrom hutan kosong telah melanda hutan Indonesia, terutama di Kalimantan. Tak hanya mengganggu rantai kehidupan liar, hal ini juga berdampak bagi pemburu dan peramu Punan Batu.
Hampir tiga tahun terakhir, pepohonan di Hutan Banau Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, tak lagi berbunga. Tiadanya bunga berarti tiada buah-buahan, lebah, dan madu. Hutan juga semakin kosong karena banyak binatang menghilang, terutama babi liar yang terserang wabah mematikan sejak beberapa tahun terakhir.
Sepanjang hidupnya, Akim (Paman) Asut, tetua Punan Batu, tinggal di dalam Hutan Banau Sajau. Dia lahir dan besar di hutan primer. Punan Batu merupakan pemburu dan peramu terakhir di Kalimantan, yang hidup seminomaden di hutan. Mereka menggantungkan hidup dari berburu dan meramu hasil hutan.
Umur Asut saat ini kira-kira 60 tahun dengan tubuh yang langsing. ”Sepanjang hidup belum pernah mengalami seperti sekarang. Dulu memang pernah satu tahun tidak ada buah dan madu, tapi ini sudah tiga tahun kosong,” kata Asut, yang ditemui pada Kamis (1/6/2023).
Ratusan camera trap sudah kita pasang dan kita bisa melihat setiap waktu terjadi penurunan berbagai populasi fauna liar, terutama mamalia besar.
Akim Bodon, yang sedikit lebih tua, mengatakan, baru sekali mengalami tidak adanya buah hutan hingga tiga tahun berturut-turut sebagaimana yang terjadi saat ini. ”Dulu waktu saya masih kecil pernah sekali. Sama seperti sekarang, saat itu juga karena tidak ada kemarau karena sepanjang tahun ada hujan,” katanya.
Tiadanya buah-buahan dan madu hutan ini sangat memukul masyarakat Punan Batu, yang tergantung hidupnya pada hasil hutan. Laporan peneliti genetika populasi, Pradiptajati Kusuma dan tim, di jurnal Evolutionary Human Science (2022) menunjukkan, Punan Batu merupakan pemburu dan peramu terakhir yang masih aktif di hutan Kalimantan.
Berbeda dengan komunitas Dayak yang memiliki budaya bertani, Punan Batu tidak memiliki budaya bercocok tanam. Mereka hidup sehari-hari mengandalkan hewan buruan, serta umbi-umbian dan buah hutan.
Punan Batu juga mengumpulkan hasil hutan tradisional untuk diperdagangkan, seperti sarang burung walet, gaharu, dan madu. Seabad lalu, Kesultanan Bulungan mendapat hak eksklusif atas sarang burung walet di kawasan yang dihuni Punan Batu ini dari Belanda.
Hingga saat ini, Punan Batu masih berhubungan dengan para datuk keturunan Kesultanan Bulungan, yang menjadi penghubung mereka dengan dunia luar. Dari para datuk ini, Punan Batu mendapatkan berbagai peralatan, pakaian, hingga gula, garam, serta beras.
Baca Juga: Punan Batu, Pemburu Terakhir Kalimantan yang Kian Terdesak
Datuk Abdul Karim (72), salah satu pemegang waris Kesultanan Bulungan yang telah berdagang dengan Punan Batu sejak 1970-an, mengatakan, madu sudah lama kosong. Kalaupun ada madu, hasilnya jauh berkurang. Hingga sebelum tahun 2000-an, di saat musim panen madu, masyarakat Punan Batu bisa menghasilkan lebih dari 1.000 liter. Namun, saat ini hanya dalam kisaran 100 liter.
”Tahun ini hasil panen madu lebih sedikit lagi karena tidak ada bunga, tidak ada kemarau,” katanya.
Panen sarang burung walet juga merosot. ”Dulu, zaman nenek saya, sekali panen di Goa Benau bisa dapat 25 kilogram sarang walet putih. Padahal, dalam setahun bisa tiga kali panen. Sekarang tidak ada hasil. Burung waletnya banyak yang pergi,” tuturnya.
Selain hutan yang semakin menyempit karena penebangan oleh perusahaan konsesi kehutanan dan perkebunan sawit warga di luar Punan Batu, menurut Karim, penurunan produksi hasil hutan ini disebabkan oleh cuaca dan iklim yang telah berubah.
Flu babi Afrika
Bagi Punan Batu, yang baru-baru ini mendapatkan pengakuan sebagai masyarakat hukum adat oleh Pemerintah Kabupaten Bulungan, tantangan hidup ke depan untuk mempertahankan budaya berburu dan meramu memang tak lagi mudah. Selain kosongnya buah-buahan dan hasil hutan lain, hewan buruan juga semakin berkurang.
Apalagi, sejak lima tahun terakhir, bersamaan dengan kemunculan pandemi Covid-19, babi-babi liar juga turut menghilang, ”Awalnya banyak babi yang mati, sepertinya kena penyakit. Tapi, kami tidak tahu penyakit apa. Sekarang sangat sulit mendapatkan babi. Sudah berbulan-bulan kami tidak mendapatkan babi,” kata Maruf, warga Punan Batu.
Babi liar merupakan sumber utama protein Punan Batu, sedangkan untuk karbohidrat terutama dari umbi-umbian hutan, seperti keriting, tobung, dan jarangan. ”Kalau hewan-hewan kecil seperti kancil dan ayam hutan masih ada, tapi juga semakin jarang karena semua orang berburu itu,” ujarnya.
Baca Juga: Punan Batu, Pemburu dan Peramu Terakhir di Kalimantan, Akhirnya Diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat
Samsul, warga Punan Batu lainnya, mengatakan, warga Punan Batu sekarang lebih mengandalkan ikan sungai dan kerang-kerangan. Namun, ikan sungai juga semakin kurang. Apalagi, belakangan banyak buaya berkeliaran di Sungai Sajau. ”Dulu di sungai ini jarang muncul buaya,” ucapnya.
Kepala Balai Veteriner Banjarbaru Putut Eko Wibowo mengatakan, kematian babi liar di hutan-hutan Kalimantan kemungkinan besar disebabkan oleh wabah flu babi Afrika (African swine fever). ”Kami sudah melakukan beberapa surveilans di wilayah hutan, termasuk juga menerima sampel-sampel yang dikirim beberapa taman nasional di Kalimantan, memang indikasinya disebabkan virus flu babi Afrika,” tuturnya.
Putut mengatakan, wabah flu babi Afrika ini sulit diatasi. Selain ketiadaan vaksin, pengendalian wabah yang menyerang satwa liar sulit dilakukan. ”Beberapa indikasi menunjukkan telah terjadi penularan bolak-balik dari babi ternak dan babi liar. Kalau babi ternak mungkin masih bisa ditangani, tetapi babi liar akan sangat sulit,” ujarnya.
Tak hanya di Kalimantan, wabah virus ini juga telah membunuh banyak babi liar di hutan Sumatera. Penyakit ini juga telah mewabah di banyak negara Asia lain, termasuk Malaysia.
”Dampaknya pasti mengganggu rantai makanan di hutan. Kalau di Sumatera, hal ini juga mengancam kelangsungan hidup harimau sumatera yang selama ini tergantung pada babi hutan. Di Kalimantan, predator utamanya buaya. Tak mengherankan mulai banyak laporan kemunculan buaya kelaparan,” kata Putut.
Baca Juga: Rantai Makanan Terganggu, Buaya Mentaya Serang Dua Warga
Dampak virus flu babi Afrika di hutan Indonesia sejauh ini belum diketahui. Namun,laporanpenelitian biolog Matthew Scott Luskin dari University of Queensland, Australia, dan tim di jurnal Wildlife Letter pada April 2023 menyebutkan, virus flu babi Afrika ini menyebabkan kematian massal babi liar di Semenanjung Malaysia.
Pemantauan Luskin dan tim pada Februari 2022 hingga Juni 2022 menunjukkan adanya peningkatan bangkai babi hutan di atas 100 kali lipat dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Survei juga mengungkap aktivitas babi hutan menurun hingga 87 persen pada 2022 dibandingkan dengan lima survei sebelumnya.
Pandemi flu babi Afrika di wilayah Asia awalnya dipicu oleh perdagangan internasional sejak tahun 2018 saat virus ini mulai menyerang industri daging babi China. Pada 2019 dan 2020, wabah ini menyebabkan kerugian melebihi 100 miliar dollar AS di China. Namun, wabah ini cenderung tenggelam oleh pandemi Covid-19 yang juga dimulai dari China pada Desember 2019.
Rantai makanan
Laporan Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) pada 2021 menyebutkan, virus flu babi Afrika ini menyebabkan hampir 100 persen kematian pada babi domestik Asia (Sus scrofa domesticus), tetapi tidak berbahaya bagi manusia dan hewan lain. Sekalipun demikian, penularannya yang meluas terbukti bisa berdampak serius bagi rantai pangan di hutan, termasuk bagi pemenuhan pangan Punan Batu, yang tergantung hidupnya pada hutan.
Fenomena hilangnya babi hutan dan buah-buahan hutan ini mengingatkan pada sindrom hutan kosong, istilah yang diciptakan oleh Kent H Redford dalam papernya di BioScience pada 1992. Hutan kosong dicirikan oleh habitat yang terlihat baik dan sering kali memiliki pohon besar, tetapi tidak lagi memiliki mamalia besar lagi akibat dari pengaruh manusia.
Ahli biologi konservasi Universitas Indonesia, Jatna Supriatna, mengatakan, selain ancaman perubahan iklim, hutan-hutan di Indonesia, terutama di Sumatera dan Kalimantan, telah mengalami sindrom hutan kosong. ”Ratusan camera trap sudah kita pasang dan kita bisa melihat setiap waktu terjadi penurunan berbagai populasi fauna liar, terutama mamalia besar. Kita sedang mengarah defaunization yang jelas disebabkan ulah manusia,” tuturnya.
Dengan penyusutan hutan, berbagai spesies akan mengalami efek pemadatan pada satu kantong hutan. ”Kalau di satu kantong hutan, spesies berkumpul sehingga mudah diburu, selain juga rentan mengalami lompatan berbagai virus dan parasit yang mematikan,” paparnya.
Masyarakat Punan Batu, yang hidup tergantung dari berburu dan meramu hasil hutan berada di garis terdepan yang bakal terdampak oleh sindrom hutan kosong ini.