Punan Batu, Pemburu dan Peramu Terakhir di Kalimantan, Akhirnya Diakui sebagai Masyarakat Hukum Adat
Suku pemburu dan peramu yang masih tinggal secara nomaden di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, akhirnya diakui sebagai masyarakat hukum adat.
Oleh
AHMAD ARIF
·4 menit baca
KOMPAS/AHMAD ARIF
Bupati Bulungan Syarwani (duduk kedua dari kiri) berdialog dengan warga Punan Batu di Hutan Banau-Sajau, Bulungan, Kalimantan Utara, Jumat (2/6/2023).
BULUNGAN, KOMPAS — Punan Batu yang tinggal di dalam Hutan Benau Sajau, Kabupaten Bulungan, Kalimantan Utara, akhirnya diakui sebagai masyarakat hukum adat. Pengakuan dari Pemerintah Kabupaten Bulungan ini menjadi landasan untuk melindungi ruang hidup dan budaya masyarakat pemburu dan peramu aktif terakhir di Kalimantan ini.
Keputusan Bupati Bulungan Nomor 188.45/319 Tahun 2023 menyebutkan tentang Pengakuan dan Perlindungan Masyarakat Hukum Adat (MHA) Punan Batu Benau Sajau. Bupati Bulungan Syarwani menyampaikan secara langsung surat keputusan yang ditandatanganinya ini pada 3 April 2023 kepada perwakilan masyarakat Punan Batu yang tinggal di sekitar Goa Benau Sajau, Jumat (2/6/2023).
”Perda (Peraturan Daerah) untuk mengakui keberadaan masyarakat hukum adat telah kami inisiasi saat saya masih jadi ketua DPRD (Bulungan). SK MHA untuk Punan Batu ini merupakan yang pertama kami eksekusi dan merupakan yang tercepat prosesnya karena datanya paling lengkap. Penetapan ini untuk melindungi hutan dan budaya Punan Batu yang memang terancam,” katanya.
Kita perlu pikirkan cara yang lebih tepat agar tidak mengganggu budaya Punan Batu.
Asut, tetua Punan Batu berharap, penetapan sebagai MHA ini bisa melindungi hutan yang menjadi ruang hidup komunitasnya. Saat ini, hutan semakin menyusut karena penebangan kayu dan tekanan dari masyarakat lain yang merambah hutan untuk perkebunan sawit.
AHMAD ARIF
Masyarakat Punan Batu tengah makan umbi-umbian keriting yang didapatkan dari hutan Benau Sajau yang menjadi ruang hidup mereka, Jumat (2/6/2023).
Situasi ini menyebabkan warga Punan Batu yang tergantung dari ketersediaan pangan di hutan kesulitan memenuhi kebutuhan pangan. ”Hewan buruan semakin sulit didapatkan. Ubi-ubi hutan juga berkurang,” katanya.
Hutan adat
Senior Manager Provincial Government Yayasan Konservasi Alam Nusantara (YKAN) Niel Makinuddin mengatakan, ”Pengakuan ini merupakan dasar legalitas untuk perlindungan masyarakat dan hutan.”
Usulan MHA untuk Punan Batu ini sendiri diinisiasi Datuk Abdul Karim, tokoh masyarakat Bulungan, yang secara turun-temurun telah menjalin relasi sosial-ekonomi dengan komunitas Punan Batu. YKAN mendampingi proses pengusulan MHA ini secara teknis.
”Kami akan terus mendampingi agar ruang hidup Punan Batu di hutan sekitar Goa Benau dengan luas sekitar 18. 497 hektar ini bisa diakui sebagai hutan adat,” kata Niel.
Selain usulan hutan adat, menurut Niel, pihaknya juga akan mendorong penetapan taman bumi (geopark) mengingat kawasan ini berupa bentang alam karst dan memiliki banyak goa serta sungai bawah tanah. ”Intinya, kita akan mendorong perlindungan hutan dan lingkungan yang menjadi ruang hidup Punan Batu,” katanya.
AHMAD ARIF
A. Lokasi tempat tinggal Punan Batu di pedalaman hutan Kalimantan. B. Pergerakan Punan Batu yang berpindah-pindah untuk mengumpulkan makanan di dalam hutan.
Saat ini, areal hutan yang dihuni masyarakat Punan Batu ini merupakan bagian dari konsesi HPH (hak pengusahaan hutan) Inhutani. ”Kami sudah berkoordinasi dengan Inhutani Kaltim dan mereka menyatakan tidak memiliki RKU (rencana karya usaha) penebangan setidaknya hingga 10 tahun mendatang di area yang kami usulkan untuk perlindungan Punan Batu,” katanya.
Niel mengatakan, usulan mengenai luasan hutan untuk menopang kehidupan Punan Batu ini didukung bukti saintifik terkait genetika, antropologi, dan pergerakan untuk mengumpulkan makanan yang dilakukan Pradiptajati Kusuma dan tim.
Dukungan data sains
Pradiptajati merupakan peneliti genetika populasi dari Mochtar Riady Institute for Nanotechnology (MRIN) yang melakukan serangkaian riset terkait Punan Batu sejak 2018 saat masih bekerja untuk Lembaga Biologi Molekuler Eijkman. ”Punan Batu memiliki genetik yang berbeda dengan etnis Dayak di Kalimantan. Dari aspek budaya juga berbeda. Masyarakat Dayak memiliki budaya bercocok tanam, Punan Batu merupakan pemburu dan peramu hasil hutan,” katanya.
Pradiptajati tim telah memetakan pergerakan Punan Batu untuk mengumpulkan makanan di hutan. Salah satu kajiannya bersama tim internasional ini ditulis di jurnal Evolutionary Human Science-Cambridge University Press edisi Februari 2022.
Pemetaan dilakukan dengan memberikan alat GPS portabel kepada 27 orang Punan Batu untuk memahami pola dan pergerakan mereka di hutan. Secara total, dia berhasil mengumpulkan 713 hari data pergerakan selama Oktober 2018 dan Maret-Juni 2019.
Hasilnya, orang Punan Batu rata-rata pindah tempat tinggal setiap 8-9 hari untuk berburu binatang, mengumpulkan makanan, madu, dan berbagai produk hutan lain. Beberapa gerakan adalah gerakan jangka pendek individu, yang lain adalah seluruh keluarga. Ketika mereka pindah, mereka melakukan perjalanan sekitar 5 kilometer antarkamp.
Taufik Hidayat, Community Engagement and Protected Area Manager YKAN, mengatakan, selain pengakuan ruang hidup, Punan Batu juga berhak mendapatkan layaran dasar, terutama kesehatan dan pendidikan anak.
Meski demikian, pelayanan kesehatan dan pendidikan ini tidak bisa disamakan dengan populasi lain yang sudah hidup menetap. ”Kita perlu pikirkan cara yang lebih tepat agar tidak mengganggu budaya Punan Batu, misalnya dengan mendatangkan layanan pendidikan dan kesehatan ke hutan, bukan sebaliknya memaksa mereka ke luar hutan,” katanya.
Populasi Punan Batu yang masih aktif berburu-meramu di sekitar Hutan Banau sekitar 35 keluarga atau 103 individu. Di luar kelompok ini diduga masih ada yang hidup terpisah di kawasan hutan lain di sekitar Bulungan, tetapi sejauh ini belum terdata. Sebagian lagi sudah mulai menetap dan tinggal di Desa Wonomulyo, desa transmigran.