Pilihan Sadar Mendidik Anak lewat Sekolah Rumah
Jalur pendidikan informal lewat sekolah rumah atau ”homeschooling” di Indonesia semakin berkembang. Penguatan pendidikan keluarga ini juga mendukung pendidikan karakter sesuai Pancasila.
JAKARTA, KOMPAS — Pendidikan sekolah rumah atau homeschooling mulai secara sadar dipilih banyak orangtua untuk anak-anak mereka. Meski memiliki kemerdekaan dan fleksibilitas pembelajaran, keluarga tetap dituntut untuk menguatkan pendidikan karakter dalam pendidikan di rumah dengan acuan pada profil pelajar Pancasila.
Pelaku sekolah rumah dan mitra juga menyepakati bahwa peran orangtua sangat penting. Pelibatan keluarga meliputi penumbuhan nilai-nilai karakter anak di dalam lingkungan keluarga, memotivasi semangat belajar anak, mendorong budaya literasi serta memfasilitasi kebutuhan belajar anak. Selain orangtua, perlu ada pula sinergi antara tri sentra pendidikan, yaitu satuan pendidikan, keluarga dan masyarakat.
Hal tersebut mengemuka dalam Konferensi Sekolahrumah II yang digelar Asosiasi Sekolahrumah dan Pendidikan Alternatif (Asah Pena) pada Sabtu (10/6/2023) hingga Minggu (11/6/2023). Tampil sebagai pembicara kunci, antara lain Pelaksana Tugas Direktur Pendidikan Masyarakat dan Pendidikan Khusus Kemendikbudristek Aswin Wihdiyanto, Kepala Pusat Penguatan Karakter Kemendikbudristek Rusprita Putri Utami, pengamat, dan pegiat sekolah rumah.
Pada saat menyampaikan deklarasi, Sekretaris Jenderal Asah Pena Anastasia Rima H mengatakan, sekolah rumah dan mitra menyepakati konsep pendidikan yang dipaparkan oleh Ki Hadjar Dewantara, yaitu sebuah upaya untuk memajukan bertumbuhnya pendidikan budi pekerti (kekuatan batin dan karakter), pikiran, serta tubuh anak. “Maka pertumbuhan karakter menjadi bagian yang sangat penting dan tak terpisahkan dari proses pendidikan di sekolah rumah, yaitu karakter yang berporos pada Profil Pelajar Pancasila,” kata Anastasia yang akrab disapa Lovely.
Baca juga : Sekolah Rumah Belum Terpantau Menyeluruh
Lovely menambahkan, sekolah rumah meneguhkan posisi orangtua atau keluarga sebagai pendidik pertama dan utama. Karena itu, sekolah rumah memegang teguh prinsip-prinsip hak anak, dan menjalankan asas-asas pemikiran pendidikan Ki Hadjar Dewantara yang memerdekakan anak secara lahir, batin pikiran dan tenaga.
“Sekolah rumah juga menyelenggarakan pendidikan sebagai wahana untuk menyemai benih-benih budaya inklusif. Berkomitmen penuh memperkuat tri sentra pendidikan untuk mendidik anak menjadi pelajar pancasila dengan menerapkan pendidikan anak merdeka, aman, inklusif, ramah anak, bermutu, tanpa kekerasan di sekolah rumah,” kata Lovely.
Sementara itu, Aswin mengatakan, pendidikan formal, non-formal, dan informal (keluarga), merupakan jalur pendidikan yang semestinya saling melengkapi. Regulasi pemerintah juga mencoba mendukung konektivitas ketiga jalur pendidikan tersebut, yang saat ini masih dalam proses transisi.
“Kami berharap pilihan menjalankan pendidikan sekolah rumah bukan karena anak-anak menjadi korban bullying di sekolah, yang saat ini memang masih ditemui sehingga mereka memilih menjalankan sekolah rumah. Kesadaran memilih jalur sekolah rumah semestinya karena ada kondisi yang harus dijembatani untuk kepentingan terbaik anak. Apalagi, peran orangtua memang penting untuk mendukung anak-anak meraih cita-cita masa depan mereka,” ujar Aswin.
Aswin mencontohkan, kekuatan dan peran orangtua yang dapat mendorong anak-anak tumbuh dan berkembang sesuai potensi, bakat, dan minat anak. Seperti Putri Ariani yang meskipun penyandang disabilitas tunanetra, namun dengan dukungan dari orangtua dapat meraih prestasi gemilang di dunia seni, yang viral karena mendapatkan golden buzzer di America’s Got Talent 2023.
Ada lagi sosok aktris Dewi Yull yang membesarkan dua anak dengan disabilitas tuli dan bisu. Namun, salah seorang anaknya Surya Sahetapy yang merupakan penyandang tunarungu , baru-baru ini lulus S2 di Amerika Serikat dan menjadi lulusan berprestasi. “Kami yakin masih banyak orangtua hebat seperti ini,” kata Aswin.
Rusprita meyakini, keluarga sebagai titik awal pembentukan karakter anak. Apalagi terbentuknya karakter anak bukanlah tiba-tiba anak menjadi baik, namun harus melalui proses yang diajarkan, dilatih secara konsisten, lalu dibiasakan oleh orangtua di dalam keluarga.
“Peran pendampingan orangtua untuk pendidikan karakter anak sehingga menjadi budaya sungguh penting. Kita ingin membentuk semua anak Indonesia memiliki karakter Profil Pelajar Pancasila,” kata Rusprita.
Profil Pelajar Pancasila meliputi beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berakhlak mulia: mandiri; bernalar kritis; kreatif, bergotong royong; dan berkebinekaan global. Di sinilah, pendidikan keluarga dengan peran sentral orangtua dapat membantu anak-anak muda memahami nilai-nilai Pancasila.
“Seperti bernalar kritis, di zaman sekarang ini penting sekali. Sejak di rumah, orangtua bisa mendampingi anak-anak untuk mulai kritis menyaring informasi dari media sosial atau internet yang belum tentu semua informasinya benar,” kata Rusprita.
Pendidikan informal sudah sejak dulu merdeka dalam belajar dan mengevaluasi. Metodologi pembelajaran untuk peserta sekolah rumah baik yang bergabung dengan mitra/asosiasi, sekarang makin berkembang dan unik.
Helen Ongko, Pendiri Vickery Christian Academy, mengatakan, dalam menjalankan sekola rumah, ayah dan ibu menjadi teladan. Sekolah rumah juga mendukung pendidikan karakter, baik yang dilakukan secara tunggal, majemuk, dan komunitas. Tujuannya agar potensi anak yang unik dapat berkembang maksimal.
“Orangtua menjadi penyaring dan penyaji yang menarik sehingga anak-anak punya kemampuan belajar sendiri,” ujar Helen.
Menurut Helen, sekolah rumah sudah dikenal lama, salah satunya dilakukan tokoh nasional Agus Salim untuk anak-anaknya. Dengan mempraktikkan sekolah rumah, orangtua atau keluarga berfokus untuk membantu anak lebih mengenali diri mereka sendiri, sehingga tahu kekuatan dan kelemahan atau aspirasi hidup mereka. Lalu, disiplin pribadi agar dapat mengatur waktu dan memaksimalkan waktu yang digunakan sehingga termotivasi belajar dan tidak berhenti untuk belajar.
Pengakuan
Upaya memperjuangkan hak-hak anak dan keluarga pelaku sekolah rumah dan mitra sekolah rumah, kata Lovely, terus dilakukan Asah Pena. Sebagai lembaga independen yang beranggotakan para penyelenggara sekolah rumah, Asah Pena siap berkolaborasi bersama Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan masyarakat guna memenuhi, menghormati, dan melindungi anak bangsa yang mengikuti sekolah rumah.
Lovely menegaskan, Asah Pena Indonesia berkomitmen untuk mendukung sosialisasi, pelatihan dan pelaksanaan Kurikulum Merdeka yang benar-benar mengakui dan menghormati keunikan peserta didik serta bertujuan untuk mengembangkan potensi dirinya agar memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.“Kami mendukung terwujudnya pendidikan bermartabat dengan membentuk lembaga penjaminan mutu bagi anggota,” ujar Lovely.
Hasil Konferensi Sekolahrumah II tahun ini juga mendorong Pemerintah agar menerbitkan peraturan terkait sekolah rumah guna meneguhkan posisi pendidikan informal sesuai amanat Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional Nomor 20 tahun 2003. Pemerintah diminta untuk memastikan kualitas penjaminan mutu melalui proses akreditasi dan menjadikannya sebagai mekanisme penyetaraan bagi pendidikan non-formal serta memastikan ijazah yang dihasilkan benar-benar diterima baik oleh lembaga pendidikan dalam dan luar negeri.
Baca juga : Menghadirkan Belajar yang Bermakna untuk Anak di Sekolah dan Rumah
Ketua Yayasan Kazeto Putra Perkasa, Budi Kurnia Budi mengatakan, peserta didik di luar jalur formal harus menjalani uji kesetaraan. Hal ini juga menjadi perhatian dari pegiat sekolah rumah. Mereka mempertanyakan apakah hanya lewat uji kesetaraan yang menguji asesmen komptensi minimum (AKM) literasi dan numerasi, anak-anak sekolah rumah diakui setara capaian pendidikannya?
“Agak bingung juga bagaimana kedudukan uji kesetaraan bagi yang ikut dan tidak. Sebab, di sekolah formal ujian nasional dihapus, namun yang non-formal ada uji kesetaraan ,” kata Budi.
Supriyono, Guru Besar Universitas Negeri Malang mengatakan, pendidikan informal sudah sejak dulu merdeka dalam belajar dan mengevaluasi. Metodologi pembelajaran untuk peserta sekolah rumah baik yang bergabung dengan mitra/asosiasi, sekarang makin berkembang dan unik. Karena itu, tetap harus dipastikan bahwa pendidikan yang dijalankan tidak mengajarkan anti keberagaman yang bertentangan dengan Pancasila.
Supriyono menegaskan, para orangtua dan mitra yang menjalankan sekolah rumah harus sadar ujung dari pendidikan sekolah rumah ini. Ada dua titik sasar dari pelaksanaan sekolah rumah yakni memperoleh jenjang pendidikan tertentu yang setara sekolah umum maupun peningkatan kompetensi sesuai bakat-minat.
“Yang perlu terus diperjuangkan bagaimana sekolah rumah bisa menjadi subsistem dari sistem pendidikan nasional. Karena pendidikan informal/keluarga ini diakui jika mengikuti pendidikan non-formal/kesetaraan. Ini problematika yang perlu diperjuangkan terus-menerus,” ujarnya.
Untuk penyetaraan, menurut Supriyono, perlu dipikirkan penyelenggaraan ujian seperti halnya mendapatkan nilai TOEFL. Kemendikbudristek ke depan bisa memfasilitasi ujian semacam ini, sehingga kapan pun anak mau dan siap, bisa ikut ujian penyetaraan.