Menghadirkan Belajar yang Bermakna untuk Anak di Sekolah dan Rumah
Pembelajaran yang menyenangkan, bermakna, dan relevan membuat anak-anak menikmati proses belajar. Pendampingan belajar di sekolah oleh guru dan orangtua yang sesuai kebutuhan anak membuat anak-anak semangat belajar.
Belajar dengan menyenangkan, bermakna, dan relevan, kini terus digaungkan di sekolah demi mencapai pembelajaran berkualitas bagi anak. Para guru pun ditantang untuk terus mengeksplorasi kemampuan diri agar bisa menerapkan berbagai metode pembelajaran yang menarik sehingga peserta didik menikmati proses belajar dan paham maknanya. Tak hanya di sekolah, membangun minat belajar anak juga butuh dukungan para orangtua di rumah.
Proses belajar yang menyenangkan, bermakna, dan relevan, memberikan kegembiraan di hati anak-anak. Belajar tanpa rasa tertekan dan memahami tujuan belajar membuat siswa antusias dan tidak mudah menyerah untuk menguasai suatu topik pembelajaran.
Di sejumlah sekolah di Kabupaten Sumba Barat Daya, Nusa Tenggara Timur, misalnya, metode inkuiri ABCDE (Amati, Bertanya, Cair, Diskusi, dan Evaluasi) serta konkret gambar abstrak (KGA) mampu meningkatkan antusiasme anak-anak untuk belajar. Banyak siswa yang tadinya membolos karena merasa sulit memahami pembelajaran kini lebih menikmati pembelajaran. Belajar matematika yang awalnya menakutkan pun sekarang terasa asyik.
Para guru di SD Negeri Waikelo dan SD Negeri Watu Takula yang didampingi Kelas Lentera Kuark dan William & Lily Foundation sejak 2019 membagi berbagai praktik baik pembelajaran yang menyenangkan, bermakna, dan relevan dengan metode inkuiri ABCDE dan KGA dalam sebuah buku berjudul #Berbagi Praktik Baik Literasi, Numerasi, dan Inkuiri: Menyalakan Lentera Pendidikan Melalui Ide Kreatif Pembelajaran Kontekstual di Sumba Barat Daya. Tujuannya, untuk bisa menginspirasi para guru di Sumba Barat Daya yang masih kesulitan menghadirkan pembelajaran literasi, numerasi, dan karakter yang membuat siswa bahagia. Selama ini, capaian literasi dan numerasi siswa juga masih rendah.
Belajar hal konkret
Di pengujung Mei 2022, Maryam Imma, guru SDN Waikelo yang sudah hampir 26 tahun mengajar siswa kelas rendah berbagi kisah tentang implementasi metode inkuiri ABCDE dan inkuiri. Meksipun sudah lama jadi guru, ia mengakui caranya mengajar literasi dan numerasi kepada siswa tidak mudah dimengerti. Pembelajaran selalu langsung fokus untuk mengenalkan huruf, membaca, dan menulis. Namun, masih banyak siswa yang belum lancar dan paham.
”Saya kemudian paham masalah dalam pengajaran saya yang membuat siswa sulit untuk memahami pembelajaran. Saya langsung ke tahap abstrak dengan langsung menjelaskan materi dan contoh soal lalu minta anak-anak mengerjakannya. Padahal, untuk anak-anak, perlu dimulai dari hal yang konkret dulu yang ada di sekitar mereka,” ujar Maryam.
Melihat anak-anak yang antusias belajar tentu membawa kebanggaan bagi saya. Saya juga merasa senang karena tidak perlu marah-marah dalam mengajar. Tanpa harus bersikap keras, anak-anak secara mandiri aktif belajar di kelas
Maryam pun mencoba menerapkan KGA saat mengajar pembagian dalam pelajaran Matematika. Cara belajarnya mulai berbeda, tidak langsung menerangkan secara abstrak dengan menulis angka dan simbol perkalian.
Maryam mengajarkan konsep perkalian dengan batu kerikil. Saat mencontohkan soal 10 : 2, Maryam meminta dua siswa maju ke kelas, lalu masing-masing diberi lima batu. Pembagian dijelaskan dengan sederhana, yakni membagi semua yang dimiliki sama banyak. Siswa pun jadi paham ketika ada sepuluh batu harus dibagikan kepada dua teman, untuk mendapat sama banyak, setiap teman harus mendapat lima batu.
Setelah siswa paham hal konkret, tahap selanjutnya ke gambar. Siswa diminta untuk membuat gambar 10 batu lalu dibagi dalam dua kotak yang masing-masing digambar dengan lima batu. Barulah, guru beranjak ke tahap abstrak, yakni menuliskan lambang bilangannya menjadi 10 : 2 = 5.
”Melihat anak-anak yang antusias belajar tentu membawa kebanggan bagi saya. Saya juga merasa senang karena tidak perlu marah-marah dalam mengajar. Tanpa harus bersikap keras, anak-anak secara mandiri aktif belajar di kelas,” kata Maryam.
Baca Juga: Siswa Indonesia Belum Mencapai Kompetensi Minimum Literasi dan Numerasi
Belajar literasi juga dibuat tak lagi monoton dengan menulis di buku tulis atau membaca buku teks. Hal ini dilakukan Natalina Maria Poetry, guru SDN Watu Takula yang menemukan siswa tidak lancar bicara bahasa Indonesia, padahal mereka sudah kelas V SD. Jika diminta bercerita, secara umum, siswa masih terbata-bata mengungkapkan pikirannya.
Natalina membuat sesi khusus setiap hari bernama Literasi Bercerita. Dia sering mengajak anak-anak tanya jawab untuk melatih kemampuan bicara. Agar semakin seru, Natalina membuat permainan kucing-kucingan. Siswa yang tertangkap diminta memilih salah satu benda yang ada di dalam kelas lalu menceritakan tentang benda tersebut. Setelah itu, siswa lain diminta untuk bertanya. Tak lupa guru memberi apresiasi, demikian pula teman-teman lain memberi tepuk tangan.
Seusai semua siswa mendapat giliran bercerita, Natalina meminta siswa menuliskan informasi yang diperoleh dari hasil bercerita dan berdiskusi di buku tulis. Tujuannya, untuk semakin menguatkan pemahaman siswa.
Baca Juga: Kebun Sekolah dan Wajah Bahagia Anak-anak Belajar
”Meskipun awalnya malu-malu, mereka semakin terbiasa becerita dengan bahasa Indonesia. Saya merasa terharu dengan perubahan yang terjadi. Saya menjadi tersadar bahwa sebagai guru kita harus bersemangat pantang menyerah membantu anak-anak untuk berkembang dengan maksimal,” ujar Natalina.
Gairah para guru untuk terus mengembangkan kreativitas dalam pembelajaran pun bermunculan. Di SD Negeri Waikelo, penguatan metode inkuiri ABCDE dan KGA untuk literasi, numerasi, dan karakter dikembangkan lewat kebun pangan sekolah.
Semua siswa terlibat untuk menanam, merawat, dan memanen tanaman kangkung selama tiga minggu di kebun sekolah berukuran 10 m x 10 m. Belajar di ruang kelas dan belajar di kebun pangan sekolah terintegrasi. Setelah tiga kali panen kangkung guru pun memikirkan tanaman lain yang bisa dipakai untuk proses belajar yang bermakan bagi siswa yang kelak dapat menginspirasi siswa untuk tak hanya belajar pelajaran sekolah, tetapi juga memenuhi kebutuhan pangan secara mandiri.
Dukungan orangtua
Ketika sekolah kini mulai berbenah untuk memperbaiki kualitas pembelajaran dengan menghadirkan belajar yang bermakna, dukungan juga perlu diberikan orangtua. Proses belajar yang menyenangkan dan bermakna dapat dihadirkan orangtua saat mendampingi anak-anak belajar di rumah agar semakin cakap belajar dan mampu menjadi pembelajar sepanjang hayat.
Psikolog anak Samanta Elsener dalam webinar yang digelar platform belajar untuk anak, ZeniusLand, memaparkan, pembelajaran bermakna atau mindful learning merupakan keadaan ketika kita memiliki kesadaran mental mengenai apa yang sedang terjadi, fokus terhadap hal yang sedang dipelajari, dan menerima apa yang sedang diajarkan, termasuk perbedaan pendapat di dalamnya.
Orangtua perlu memastikan aspek segitiga atau triangle of mindfulness, yakni acceptance, awareness, dan attention bisa dihadirkan dalam pendampingan belajar anak di rumah. Acceptance dalam belajar adalah situasi di mana anak sudah mampu menerima berbagai pandangan dan pendapat orang lain. Cara melatihnya dapat dilakukan melalui diskusi secara terbuka.
Hal yang mampu membuat anak merasakan belajar bermakna adalah ketika mereka menyadari (awarness) kegunaan dari ilmu yang dipelajarinya dalam mencapai cita-cita. Misalnya, agar bisa menakar dosis obat dengan benar, anak-anak harus menguasai Matematika. Dengan kesadaran akan manfaat yang bisa mereka miliki, anak akan terpacu untuk terus belajar.
Sementara itu, attention bermakna mengondisikan anak agar bisa fokus belajar sesuai dengan gaya belajar mereka. ”Jika anak memiliki gaya belajar auditori (memahami materi melalui suara dan instruksi), misalnya, orangtua dapat sering-sering mengajaknya berdiskusi untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis yang dimiliki anak,” kata Samantha.
Head of Academics Primary Zenius Yuujisensei menyampaikan langkah-langkah agar orangtua dapat menciptakan pembelajaran bermakna bagi anak. ”Tanamkan bahwa belajar adalah hak, bukan kewajiban. Jika konsep kewajiban ini kita aplikasikan ke kegiatan belajar, maka anak pun hanya belajar karena keharusan. Posisikan belajar sebagai hak agar anak tahu bahwa mereka berkesempatan,” ujar Yuujisensei.
Orangtua diajak untuk mendampingi anak saat belajar. Hal ini dapat dilakukan orangtua melalui kegiatan sederhana, seperti mengajak mereka menonton video pembelajaran, lalu berikan beberapa pertanyaan untuk melatih problem solving. Jika anak belum mampu memahami materi dari video, ajak mereka untuk mempelajarinya kembali bersama-sama.
”Jangan paksa anak belajar. Metode pembelajaran konvensional berupa punishment and reward sudah tidak relevan lagi. Carilah apa yang menjadi ketertarikan untuk anak dan adaptif pada hal tersebut,” kata Yuujisensei.
Jika anak suka bermain gim, berikan dia kesempatan bermain gim, misalnya, satu jam per hari. Jika anak sulit berhenti bermain, orangtua dapat menggunakan alat kontrol orangtua yang biasanya dapat diunduh dengan mudah. Aplikasi ini akan menonaktifkan telepon pintar secara otomatis ketika waktu bermain sudah melebihi durasi yang kita tentukan.
Tak kalah penting, ujar Yuujisensi, yakni mengondisikan lingkungan dan waktu belajar. Dengan meminta anggota keluarga lain, misalnya, menurunkan volume suara televisi ketika anak-anak sedang belajar agar situasi belajar tetap kondusif.