Pembentukan Koperasi Perhutanan Sosial Terkendala Kurangnya Pendamping
Kelembagaan kelompok usaha perhutanan sosial akan dikembangkan menjadi koperasi. Namun, pembentukan koperasi ini masih menemui kendala.
Oleh
PRADIPTA PANDU
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Kelembagaan kelompok usaha perhutanan sosial ke depan akan dikembangkan menjadi koperasi atau badan usaha milik desa. Namun, pembentukan koperasi dalam skema perhutanan sosial masih menemui kendala karena kurangnya pemahaman masyarakat dan pendamping di berbagai daerah.
Direktur Kemitraan Lingkungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) Jo Kumala Dewi menyampaikan, masyarakat lokal atau masyarakat tradisional di sekitar kawasan hutan menjadi pelaku utama dalam skema perhutanan sosial. Namun, dalam skema ini masyarakat tidak diberikan lahan, tetapi akses pengelolaan hutan selama 35 tahun.
”Sampai saat ini, perhutanan sosial telah mencapai 50 persen dari target seluas 12,7 juta hektar. Oleh karena itu, ada strategi dari KLHK untuk percepatan perhutanan sosial melalui beberapa langkah, baik distribusi maupun yang sudah menerima akses,” ujarnya dalam diskusi acara Festival Perhutanan Sosial Nasional (Pesona) 2023 di KLHK, Rabu (7/6/22023).
Baru sekitar 30 persen kelompok perhutanan sosial yang bisa didampingi.
KLHK mencatat, hingga Maret 2023 luas perhutanan sosial mencapai 5,3 juta hektar dengan total 8.968 unit surat keputusan. Dalam program ini terbentuk 9.985 kelompok usaha perhutanan sosial (KUPS) dengan lima komoditas unggulan agroforestri, yakni kopi, madu, aren, kayu putih, dan tanaman pangan.
Menurut Jo, saat ini terdapat kelompok izin pemanfaatan hutan perhutanan sosial (IPHPS)yang belum berbentuk badan hukum. Ke depan, beberapa KUPS akan dikembangkan menjadi koperasi atau badan usaha milik desa (BUMDes). Hal ini untuk meningkatkan kelembagaan, keberlanjutan usaha, dan keterkaitan dengan mitra kerja.
Meski demikian, Jo mengakui pembentukan koperasi dalam skema perhutanan sosial masih menemui kendala. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman masyarakat terkait dengan pembentukan koperasi. Di sisi lain, minimnya informasi ini juga memerlukan pendampingan.
”Pemerintah memiliki kewajiban memberikan pendampingan kepada kelompok perhutanan sosial. Sayangnya baru sekitar 30 persen kelompok perhutanan sosial yang bisa didampingi. Sebab, sekarang kita baru bisa menyebarkan 1.510 pendamping dari alokasi tahun 2023. Namun, nantinya diharapkan akan ada pendamping dari kementerian lain,” ucapnya.
Jo menekankan, pengelolaan perhutanan sosial oleh masyarakat harus berorientasi bisnis. Maka dari itu, KLHK terus memfasilitasi pengembangan usaha perhutanan sosial melalui penguatan kelembagaan, optimalisasi pemanfaatan hutan, pengembangan kewirausahaan, kerja sama pengembangan usaha, dan pengembangan area terintegerasi (IAD).
Asisten Deputi Bidang Pengembangan dan Pembaruan Perkoperasian Kementerian Koperasi dan UsahaKecil Menengah (UKM) Bagus Rachman mengatakan, koperasi dibentuk untuk memperkuat ekonomi dari kelompok masyarakat yang berkumpul. Hal ini juga berlaku pada pembentukan koperasi dalam program perhutanan sosial.
Kementerian Koperasi dan UKM terus mendukung ketersediaan pendamping khususnya untuk petugas penyuluh koperasi lapangan (PPKL). Sampai saat ini, PPKL di Indonesia telah mencapai 1.235 orang yang tersebar di 33 provinsi dan 341 kabupaten/kota. Edukasi terkait perkoperasian dari pendamping kepada masyarakat ini juga dilakukan melalui media sosial.
Budidaya kopi
Ilham Faturohman dari Paguyuban Tani Sunda Hejo Jawa Barat mengatakan, pada 2009 sekelompok pemuda dari Garut mendirikan koperasi Klasik Beans dengan fokus produksi kopi spesialti yang berbasis pada konservasi alam. Kopi dipilih sebagai komoditas karena pada tingkat makro harga kopi didukung oleh pasar global. Sementara pada tingkat mikro, masyarakat selalu konsisten melakukan budidaya kopi yang sehat dan berkualitas.
Pada Desember 2017, Klasik Beans memutuskan mengajukan program perhutanan sosial atas kesamaan visi konservasi, pemberdayaan ekonomi, dan kepastian izin status lahan dari negara. Kemudian pada 2018, surat keputusan perhutanan sosial terbit dan diserahkan langsung Presiden Joko Widodo di Bandung, Jawa Barat.
”Setiap tahun, kami selalu melakukan penanaman dan reforestrasi. Terakhir tahun 2022 sudah ada 34 jenis pohon, baik kayu, buah-buahan, maupun kopi, dan total sebanyak 171.276 pohon telah tertanam di sembilan titik area di Garut dan Kabupaten Bandung,” tuturnya.
Ilham menyatakan, sebagai koperasi, Klasik Beans terus berjuang mempertahankan nilai ekonomi lokal. Klasik Benas juga mengikutsertakan pelanggan, penduduk perkotaan, dan pencinta kopi untuk belajar segala hal tentang kopi dan konservasi alam.
”KUPS dalam perhutanan sosial sangat cocok untuk dijadikan koperasi, tetapi harus mensyaratkan skala ekonomi. Jadi, satu KUPS tidak bisa dibuat satu koperasi karena akan membuat bisnis tidak berkelanjutan,” katanya.